November 24, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #3 - End


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Ahad, 08 Ramadhan 1433 H (29 Juli 2012)
Malam itu menjadi malam yang paling sendu dalam hidup saya. Saya menangis dan berduka ditinggal pergi oleh umi. Para tetangga berdatangan. Saudara-saudara juga mulai berdatangan. Encing (bibi) saya berusaha menenangkan saya. Saya tenang, tapi tetap menangis. Walaupun sudah berusaha saya menahan air mata, tapi nyatanya tetap keluar juga.

Beberapa saat setelah meninggal, umi dipindahkan dari kamarnya menuju ruang tamu. Orang-orang mulai membaca al-qur’an di sebelah jasad umi. Saya masih tetap menangis di kamar. Kaki saya lemas untuk diajak berdiri. Saya hanya bisa duduk sambil memegang kepala. Satu jam setelahnya, saya mulai tenang tanpa tangisan.

Sekitar jam dua dini hari, saya keluar kamar, tapi masih belum mampu melihat dan mendampingi jasad umi. Saudara-saudara sudah banyak yang datang. Melihat saya duduk termenung di depan ruang tv, mereka kembali mendekati saya. Kata “sabar” menjadi kata yang paling populer pada hari itu.

Beberapa saat setelah itu, saya menghampiri jasad umi. Jasad umi seluruhnya ditutupi kain sehingga saya tidak bisa melihatnya langsung. Saya pun tidak ingin air mata saya meledak lagi ketika melihat jasad beliau. Saya duduk di sebelahnya dan mulai membaca al-qur’an.

Memasuki waktu subuh, kami sholat subuh berjamaah di rumah. Setelah sholat, banyak tetangga berdatangan. Kerabat-kerabat umi banyak yang menyalami saya sambil menangis. Saya sendiri tidak mau terprovokasi untuk kembali menangis. Saya tahan kuat-kuat mata saya agar tidak merembes lagi.

Sejak sholat subuh saya masih berada di dalam rumah. Tidak kemana-mana. Akan tetapi, karena semakin banyak pelayat wanita di dalam rumah saya memutuskan keluar, bergabung bersama pelayat pria. Di luar ternyata banyak teman-teman saya yang berdatangan. Mereka berbela sungkawa kepada saya.

Sampai saat jenazah umi akan dimandikan, tidak ada lagi tetesan air mata yang keluar dari mata saya. Walaupun para pelayat banyak yang menangis, saya tidak menangis. Akan tetapi, ketika umi dimandikan, sontak air mata itu meleleh lagi. Air mata itu meleleh ketika saya membantu memandikan jenazah umi. Sosok yang dulu selalu memandikan saya ketika kecil, kini saya mandikan, tapi dengan kondisi kaku. Kaki saya kembali lemas. Saya tidak kuat berlama-lama di situ. Akhirnya, saya kembali ke kamar.

Setelah beberapa saat di kamar, saudara saya mengabari bahwa umi akan dikafani. Saya diajak keluar agar bisa melihat umi untuk terakhir kalinya. Saya pun keluar, menyaksikan proses pengkafanan umi. Lagi-lagi air mata tumpah tanpa diperintah. Di hadapan saya, umi yang dulu selalu memakaikan saya pakaian ketika saya kecil, kini sedang dikafani oleh petugas pengurus jenazah. Tangisan membuat saya tidak berdaya memakaikan pakaian terakhir untuk umi.

Jam sembilan pagi, seusai dikafani, beliau dibawa ke mushala dekat rumah untuk disholati. Lalu di bawa ke pemakaman.

Ya Allah… begitu cepatnya Engkau memanggil beliau.

Di pemakaman, liang lahat sudah dipersiapkan. Saya dengar, liang itu sudah digali sejak tadi malam sebelum sahur. Mereka yang menggali adalah warga sekitar rumah. Teman-teman saya juga banyak yang ikut membantu. Mereka sengaja mempersiapkan liang sebelum sahur karena khawatir kelelahan dan berdampak pada puasa mereka jika dilakukan pagi hari, mengingat saat itu adalah bulan puasa.

Qodarullah, jenazah umi mendapat liang persis di sebelah liang lahat (almh) ibunya (nenek saya). Hal ini sangat jarang terjadi, karena: pertama, pemakaman itu adalah pemakaman umum. Kedua, nenek saya sudah meninggal sejak satu setengah tahun yang lalu. Dalam waktu satu setengah tahun itu, pasti sudah ada puluhan atau mungkin ratusan orang yang meninggal, tapi nyatanya tidak ada yang menggali liang di situ sehingga kini ditempati jasad umi.

Detik-detik menjelang dimakamkannya umi, saya menjadi semakin lemas. Saya berharap bisa menjadi salah satu orang yang menanggapi jenazah umi ketika akan dimasukkan ke dalam liang lahat. Saya juga berharap bisa mengadzani beliau. Akan tetapi, karena tangis kembali meleleh, dua tugas itu diwakilkan oleh saudara saya.

Jenazah umi dibaringkan di permukaan tanah yang sudah dipersiapkan. Permukaan itu mirip dengan lekuk tubuh manusia. Sekepal demi sekepal, tanah menutupi rongga-rongga yang tersisa dari tempat itu. Kemudian, jenazahnya dihimpit dengan papan-papan sampai tertutupi semua bagiannya. Lalu, tanah mulai dijatuhkan. Perlahan-lahan, tanah memenuhi liang, bersamaan dengan penuhnya hati ini oleh duka. Duka ditinggal oleh orang yang tercinta.

Tak lama kemudian, makam umi telah padat dengan tanah. Umi benar-benar telah tiada. 

#pojok kamar, wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment