Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami
sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami.
Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh
tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena
wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada
hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.
Ahad, 08
Ramadhan 1433 H (29 Juli 2012)
Malam itu menjadi malam yang paling sendu
dalam hidup saya. Saya menangis dan berduka ditinggal pergi oleh umi. Para
tetangga berdatangan. Saudara-saudara juga mulai berdatangan. Encing (bibi)
saya berusaha menenangkan saya. Saya tenang, tapi tetap menangis. Walaupun
sudah berusaha saya menahan air mata, tapi nyatanya tetap keluar juga.
Beberapa saat setelah meninggal, umi
dipindahkan dari kamarnya menuju ruang tamu. Orang-orang mulai membaca
al-qur’an di sebelah jasad umi. Saya masih tetap menangis di kamar. Kaki saya
lemas untuk diajak berdiri. Saya hanya bisa duduk sambil memegang kepala. Satu
jam setelahnya, saya mulai tenang tanpa tangisan.
Sekitar jam dua dini hari, saya keluar kamar,
tapi masih belum mampu melihat dan mendampingi jasad umi. Saudara-saudara sudah
banyak yang datang. Melihat saya duduk termenung di depan ruang tv, mereka
kembali mendekati saya. Kata “sabar” menjadi kata yang paling populer pada hari
itu.
Beberapa saat setelah itu, saya menghampiri
jasad umi. Jasad umi seluruhnya ditutupi kain sehingga saya tidak bisa
melihatnya langsung. Saya pun tidak ingin air mata saya meledak lagi ketika
melihat jasad beliau. Saya duduk di sebelahnya dan mulai membaca al-qur’an.
Memasuki waktu subuh, kami sholat subuh
berjamaah di rumah. Setelah sholat, banyak tetangga berdatangan.
Kerabat-kerabat umi banyak yang menyalami saya sambil menangis. Saya sendiri
tidak mau terprovokasi untuk kembali menangis. Saya tahan kuat-kuat mata saya
agar tidak merembes lagi.
Sejak sholat subuh saya masih berada di dalam
rumah. Tidak kemana-mana. Akan tetapi, karena semakin banyak pelayat wanita di
dalam rumah saya memutuskan keluar, bergabung bersama pelayat pria. Di luar
ternyata banyak teman-teman saya yang berdatangan. Mereka berbela sungkawa
kepada saya.
Sampai saat jenazah umi akan dimandikan,
tidak ada lagi tetesan air mata yang keluar dari mata saya. Walaupun para
pelayat banyak yang menangis, saya tidak menangis. Akan tetapi, ketika umi
dimandikan, sontak air mata itu meleleh lagi. Air mata itu meleleh ketika saya
membantu memandikan jenazah umi. Sosok yang dulu selalu memandikan saya ketika
kecil, kini saya mandikan, tapi dengan kondisi kaku. Kaki saya kembali lemas.
Saya tidak kuat berlama-lama di situ. Akhirnya, saya kembali ke kamar.
Setelah beberapa saat di kamar, saudara saya
mengabari bahwa umi akan dikafani. Saya diajak keluar agar bisa melihat umi
untuk terakhir kalinya. Saya pun keluar, menyaksikan proses pengkafanan umi.
Lagi-lagi air mata tumpah tanpa diperintah. Di hadapan saya, umi yang dulu
selalu memakaikan saya pakaian ketika saya kecil, kini sedang dikafani oleh
petugas pengurus jenazah. Tangisan membuat saya tidak berdaya memakaikan
pakaian terakhir untuk umi.
Jam sembilan pagi, seusai dikafani, beliau
dibawa ke mushala dekat rumah untuk disholati. Lalu di bawa ke pemakaman.
Ya Allah…
begitu cepatnya Engkau memanggil beliau.
Di pemakaman, liang lahat sudah dipersiapkan.
Saya dengar, liang itu sudah digali sejak tadi malam sebelum sahur. Mereka yang
menggali adalah warga sekitar rumah. Teman-teman saya juga banyak yang ikut
membantu. Mereka sengaja mempersiapkan liang sebelum sahur karena khawatir kelelahan
dan berdampak pada puasa mereka jika dilakukan pagi hari, mengingat saat itu
adalah bulan puasa.
Qodarullah, jenazah umi mendapat liang persis
di sebelah liang lahat (almh) ibunya (nenek saya). Hal ini sangat jarang
terjadi, karena: pertama, pemakaman itu adalah pemakaman umum. Kedua, nenek
saya sudah meninggal sejak satu setengah tahun yang lalu. Dalam waktu satu
setengah tahun itu, pasti sudah ada puluhan atau mungkin ratusan orang yang
meninggal, tapi nyatanya tidak ada yang menggali liang di situ sehingga kini
ditempati jasad umi.
Detik-detik menjelang dimakamkannya umi, saya
menjadi semakin lemas. Saya berharap bisa menjadi salah satu orang yang
menanggapi jenazah umi ketika akan dimasukkan ke dalam liang lahat. Saya juga
berharap bisa mengadzani beliau. Akan tetapi, karena tangis kembali meleleh,
dua tugas itu diwakilkan oleh saudara saya.
Jenazah umi dibaringkan di permukaan tanah
yang sudah dipersiapkan. Permukaan itu mirip dengan lekuk tubuh manusia.
Sekepal demi sekepal, tanah menutupi rongga-rongga yang tersisa dari tempat
itu. Kemudian, jenazahnya dihimpit dengan papan-papan sampai tertutupi semua
bagiannya. Lalu, tanah mulai dijatuhkan. Perlahan-lahan, tanah memenuhi liang,
bersamaan dengan penuhnya hati ini oleh duka. Duka ditinggal oleh orang yang
tercinta.
Tak lama kemudian, makam umi telah padat
dengan tanah. Umi benar-benar telah tiada.
#pojok kamar, wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment