November 21, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #2


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Jum’at, 06 Ramadhan 1433 H (27 Juli 2012)
Menurut orang-orang, keadaan umi pada hari itu jauh lebih baik dari hari sebelumnya karena umi sudah dapat berbicara dan mau makan dan minum. Sebelumnya, kata mereka umi tidak bisa berbicara dan tidak mau makan dan minum. Akan tetapi, untuk aktivitas lain beliau sama sekali tidak bisa melakukannya. Butuh bantuan orang untuk menopang berbagai aktivitasnya, mulai dari mandi, buang air (mengganti pampers), bahkan untuk membalikan badan pun harus dibantu.

Masyaallah… Semoga Allah memuliakanmu Umi, setelah Dia mengujimu dengan ujian yang sangat berat.

Meskipun orang-orang bilang bahwa umi sudah mengalami kemajuan, tapi bagi saya, melihat kondisi umi seperti itu sungguh sangat menyayat hati. Sungguh tidak tega melihat wanita mulia ini hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Kondisi itu benar-benar menguji keimanan, tidak hanya iman umi, tapi juga iman kami, orang-orang terdekatnya.

Pada hari itu, umi sudah mulai banyak bicara. Suaranya sudah terdengar jelas, tidak seperti tadi malam yang hanya sayup-sayup. Hari itu umi meminta maaf kepada saya karena menurut beliau, akibat “ulahnya” lah saya harus pulang lebih awal.

Rabbana…Rabbana…Rabbana… Semoga Allah memuliakan engkau, wahai Umi. Di saat seperti itu, engkau masih saja membela anakmu ini. Demi Allah yang menggenggam langit dan bumi, engkau sama sekali tidak salah, justru anakmu inilah yang harus sering beristighfar karena lalai merawatmu.

Hari itu umi minta dipindahkan ke ruang tamu karena beliau bosan terus-terusan berada di kamar. Sampai waktu berbuka puasa hampir tiba, umi masih berbaring di sofa ruang tamu. Saya mengajak bapak dan adek-adek agar berbuka puasa di ruang tamu. Untuk pertama kalinya di bulan Ramadhan itu, kami berbuka puasa bersama. Ternyata saat itu pula yang menjadi saat terakhir kami berbuka puasa bersama beliau karena pada Sabtu malam beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Sabtu, 07 Ramadhan 1433 H (28 Juli 2012 M)
Memasuki hari Sabtu, pembicaraan umi sudah mulai banyak melantur. Umi menjadi sering mengigau. Nafasnya kembali sesak. Sedihnya, umi tidak mau memakai masker untuk menyuplai oksigennya. Walaupun kami bujuk, umi tetap tidak mau.

Sejak kemarin, umi terus berwasiat kepada saya agar menjaga adek-adek. Sungguh pilu rasanya mendengar hal itu. Saya mulai memikirkan yang tidak-tidak.

Hari itu beberapa saudara umi datang menjenguk. Mereka memang setiap hari bergantian menjenguk. Pada saat itu, kepada salah satu saudaranya, umi minta dibuatkan minuman kesukaannya, yaitu es coffeemix. Dengan kondisinya yang seperti itu, mereka melarang umi memakan makanan yang macam-macam.

Kemudian beliau minta dibuatkan es nutrisari. Kali ini mereka membuatkannya. Saya sendiri baru tau kejadian itu setelah mereka cerita karena pada saat itu saya sedang tidak di kamar umi. Saya sendiri sebenarnya agak bingung kalau ditanya tentang itu, mau melarang atau mengiyakan permintaan umi karena saya tidak tau dampaknya bagi kesehatan beliau dengan meminum minuman itu. Akan tetapi, satu hal yang menjadi perhatian saya saat itu adalah mengapa beliau tiba-tiba meminta minuman itu? Sungguh tidak biasa.

Malam harinya (08 Ramadhan 1433 H), saya sholat tarawih di rumah. Saya tidak mau meninggalkan umi jauh-jauh mengingat kondisinya yang kembali menurun. Kemarin malam pun saya mengajak adek saya, Fahrul, sholat tarawih di rumah.

Kira-kira jam delapan malam, teman-teman sekolah beserta guru Fahrul datang menjenguk umi. Ada salah satu teman Fahrul yang bertabiat aneh. Dia berperilaku seperti dukun dan mengajak saya mengobrol empat mata. Sebelum mengajak ngobrol, dia seperti melakukan ritual aneh. Dalam obrolan empat mata itu, dia bilang umi sangat kangen dengan saya. Saya juga diminta bersabar. Entah maksudnya bersabar karena apa.

Jam sembilan malam, giliran teman-teman rumah saya berkunjung ke rumah. Mereka bermaksud menghibur saya, sekaligus menjenguk umi. Cukup lama mereka bertamu. Sekitar jam setengah sebelas malam mereka baru pulang.

Sepulangnya mereka, suhu badan umi naik drastis. Saya ukur menggunakan thermometer, suhu badan beliau mencapai 40 derajat celcius! Anehnya, bagian tubuh yang panas hanya kepala dan sekitar perut, sedangkan bagian lengan dan perut ke bawah dingin. Beliau juga mulai mengigau lagi. Beliau selalu mengatakan agar beliau diantarkan pulang ke rumah karena di situ gelap, seperti di gua, padahal beliau saat itu berada di kamar dengan lampu menyala. Kami menjadi semakin bingung.

Akhirnya bapak menelepon dokter dan memintanya datang ke rumah. Dokter mengatakan bahwa itu hanya panas biasa, cukup dikompres saja. Kami pun mengompresnya. Saya dan Fahrul duduk di samping umi, membersamai beliau sambil mengompresnya.

Pukul setengah dua belas malam, nafas umi semakin terlihat sesak. Beliau bernafas dengan tersengal-sengal. Beliau pun sudah tidak bisa diajak berbicara. Saya terus memanggil-manggilnya, mencoba mengajak bicara, tapi tidak ada respon darinya. Nafasnya justru semakin terputus-putus. Saya panik, saya panggil bapak saya yang sedang makan. Bapak langsung terperanjat ketika melihat umi dalam kondisi seperti itu. Beliau mengucapkan innalillahi wa inna’ilaihi ro’jiun dan menutup mata umi. Umi meninggal di hadapan kami. Bersambung.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment