December 22, 2019

Padahal Cuma Air


Hari Jumat lalu (20/12/19) saya sholat Jumat di masjid kampus (King Saud University) seperti biasa. Sebelum mengambil tempat, saya mendatangi freezer yang ada di shaf paling belakang untuk mengambil air mineral.

Disini dan kebanyakan masjid di Arab Saudi tradisinya memang begitu, selalu menyediakan air mineral untuk para jamaah. Tapi jumlahnya terbatas, apalagi untuk jamaah sholat jumat yang jumlahnya selalu lebih banyak dari sholat lima waktu. Jamaah yang datang belakangan pasti tidak kebagian.

Setelah air didapat, saya mengambil tempat terbaik lalu sholat sunnah. Botol air sengaja saya letakkan di depan tempat sujud, maksudnya ingin saya fungsikan sebagai sutrah (pembatas) sholat. Airnya belum saya buka dan tidak saya buka sampai khotib selesai naik mimbar.
Ilustrasi air mineral (sumber: pexels.com)
Ketika iqomat dikumandangkan, saya harus bergeser sedikit dari posisi saya sebelumnya untuk merapatkan shaf, sehingga botol air tadi tidak berada di depan saya lagi. Tadinya mau ikut saya pindahkan juga botolnya, tapi tidak jadi. Dan pada akhirnya di titik inilah saya merasa gelisah.

Pasalnya di beberapa masjid di Saudi, botol air sengaja ditaruh di shaf depan oleh pengurus masjid sebagai pelayanan mereka kepada jamaah. Saya khawatir botol air yang belum saya buka itu disangka tidak ada pemiliknya lalu diambil orang. Padahal itu air saya.

Dan celah ini dimanfaatkan betul oleh setan untuk mengganggu konsentrasi saya. Selagi sholat, pikiran saya bising dengan reka adegan tentang kemungkinan yang akan terjadi pada air saya.

Adegan pertama
Duh, kenapa tadi airnya gak dibuka dan diminum dulu ya, biar orang tau kalau itu air saya. Atau minimal tadi semestinya dipindahin dulu airnya, jadi ada di depan saya. Kalau gini bisa diambil orang nih airnya.

Adegan kedua
Biar ajalah kalau diambil. Toh cuma air. Harganya juga cuma setengah riyal. Kalau haus masih bisa minum di kamar

Adegan ketiga, dan ini yang paling konyol
Nanti kalau ada orang ambil air saya, terus orang di samping saya mencegahnya karena dia tau air itu milik saya, saya akan bilang ke orang di samping itu ‘biarin aja, gak apa-apa air itu untuk dia’. Sambil ngerasa udah berbuat baik.

Ketiga adegan itu silih berganti memenuhi pikiran saya selama sholat. Padahal cuma air sebotol yang harganya cuma setengah riyal. Masa saya menggadaikan agungnya sholat Jumat dengan sebotol air?

Dan anda tau adegan mana yang akhirnya jadi kenyataan? Kalau jawaban anda adegan yang ketiga, anda hampir benar. Nyatanya air saya memang diambil orang, tapi orang di samping saya tidak mencegahnya sama sekali. Orang yang mengambil air pun berlalu begitu saja. Meninggalkan saya yang menatapnya dengan perasaan kosong.

Padahal cuma air. Harganya setengah riyal. Jumat itu saya dikerjai setan habis-habisan.

#Tunggul Hitam – Padang

December 18, 2019

Dongeng dan Penjara Zimbardo


Berikut tulisan saya yang dimuat di detik.com tanggal 12 November 2019. Untuk melihat halaman aslinya, bisa klik disini.

***
Alkisah di suatu negeri terdapat dua jago yang saling beradu menjadi raja. Jago pertama, sebutlah Si Kurus, berwatak kalem dengan perawakan yang sangat mewakili rakyat. Banyak rakyat simpati dengan Si Kurus dan menaruh harapan yang tinggi bahwa kelak setelah terpilih, dia akan bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib wong cilik.

Lawannya adalah Si Gemuk yang berkepribadian tegas lagi pandai dalam urusan perang. Pendukungnya juga tidak kalah banyak. Ciri, sifat, dan pengetahuan Si Gemuk sangat mewakili karakter pemimpin ideal. Negeri akan maju dan aman jika dipimpin orang seperti dia. Begitu kira-kira pendukungnya berlogika.

Dengan basis massa yang hampir imbang, negeri itu terbelah sempurna menjadi dua kutub. Keduanya sama-sama militan dengan kadar melebihi apapun. Masing-masing pendukung haqqul yaqin bahwa jago merekalah yang akan memenangkan pertarungan. Negeri panas membara. Tidak pernah sebelumnya perebutan kursi raja sepanas itu.

Singkat cerita, Si Kurus keluar sebagai pemenang pertarungan. Si Gemuk beserta pendukungnya tidak percaya, merasa dicurangi oleh Si Kurus dan kroninya. Didatanginya hakim untuk menggugat kemenangan Si Kurus. Tapi upaya Si Gemuk menemui jalan buntu; hakim membenarkan kemenangan Si Kurus.

Pendukung Si Kurus bersorak. Massa Si Gemuk bukan main kecewanya. Tapi sorak sorai serta kekecewaan tersebut seketika ambyar saat kisah perseteruan dua orang itu menemui ujungnya. Si Kurus menjadikan Si Gemuk hulubalang. Ini adalah akhir yang absurd, yang membuat masing-masing pendukung kecewa mengkerut. Tak dinyana, perseteruan dua orang yang menjalar hingga pelosok desa rupanya dagelan semata.

***

Ketika sejarawan Inggris, Lord Acton mendalilkan power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, mungkin dia tidak menduga kalau kemudian dalilnya itu akan menyejarah. Kalimat itu adalah kutipan surat Acton kepada seorang uskup berdasarkan keresahannya terhadap kekuasaan pemimpin politik dan agama.

Kata orang, resah adalah perkara hati dan hati pantang berbohong. Hampir seabad setelah surat menyurat dua sejawat itu, dalil Acton menemukan muara ilmiahnya. Seorang psikolog sosial bernama Philip Zimbardo menyegel validitas dalil tersebut, meski sebenarnya penelitian Zimbardo tidak ada kaitan langsungnya dengan Acton.

Eksperimen Penjara Stanford, demikian proyek itu diberi nama. Zimbardo ingin cari tahu, bagaimana rupa hidup orang-orang yang ditempatkan dalam penjara buatan. Subjeknya mahasiswanya sendiri, yang lurus tiada cacat kriminal, juga sehat fisik dan psikologis.
Ilustrasi penjara (sumber: pixabay.com)

Dengan mengacu pada sistem bermain peran (role play), Zimbardo membagi subjeknya menjadi dua, kubu sipir dan narapidana. Kemudian meminta mereka untuk menginap selama 14 hari di kampus yang telah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai penjara. Gelap, pengap, tanpa jendela.

Meski direncanakan 14 hari, tapi eksperimen tersebut terpaksa harus disudahi pada hari keenam karena perilaku para mahasiswa yang berperan sebagai sipir berubah menjadi semakin bengis. Mereka semakin berani melakukan tindak kekerasan, baik fisik maupun verbal, kepada lawan mainnya yakni para mahasiswa yang menjadi narapidana. Seolah-olah lupa bahwa itu hanya permainan peran belaka, antarteman sesama mahasiswa pula.

Zimbardo memberi simpulan: tempat dengan ketimpangan kekuasaan yang tinggi cenderung menjadi tempat yang brutal lagi kasar, kecuali ada agen pengontrol yang mengendalikan impulsivitas penguasa. Dia menambahkan, "Bukannya kita menempatkan apel yang buruk dalam keranjang yang baik. Kami menaruh apel yang baik di keranjang yang buruk. Lalu keranjang merusak apa pun yang disentuhnya."

***

Rakyat di negeri antah berantah tadi boleh jadi kecewa dengan akhir kisah perseteruan dua jago mereka. Tapi meski demikian, sebenarnya bukan kekecewaan itu sendiri yang paling dicemaskan. Toh mereka sudah berkali-kali melalui kontestasi pemilihan raja seperti itu; kalah-menang urusan biasa. Mereka gelisah karena adanya persekutuan dua kekuatan besar yang dapat menghasilkan kekuasaan absolut. Itu yang membuat mereka panas-dingin.

Kekhawatiran rakyat sejatinya sangat beralasan, terlebih mereka memiliki sejarah otoritarianisme yang panjang dan kelam di negeri tersebut. Dulu mereka pernah dipimpin para diktator sebelum akhirnya perlawanan rakyat menumbangkan si rezim kotor. Meski telah tumbang, tapi luka traumatik telanjur menumpuk dalam memori kolektif mereka.

Rakyat juga wajar curiga. Ketika koalisi terbentuk secara bulat, akan mudah bagi penguasa untuk menggalang kekuatan demi melakukan amandemen. Jangan-jangan ada upaya mengubah masa jabatan raja menjadi lebih panjang? Begitu kira-kira salah satu keresahan yang menjalar di ruang publik negeri tersebut. Kalau benar demikian, berarti mereka akan kembali ke zaman otoriter dulu. Padahal sudah banyak martir yang berkorban demi menumbangkan rezim itu.

Memang narasi yang disampaikan penguasa atas pembentukan koalisi mereka isinya indah, tentang persatuan. Kalian rakyat jangan ribut-ribut melulu. Sudah terlalu banyak energi kita terbuang dengan keributan saat kontestasi. Sekarang mari kita bersatu memajukan negeri. Contohlah kami, tidak ada lagi permusuhan. Jangan dikira akurnya kami adalah kompromi pembagian kue ya. Oh, harum betul logika penguasa!

Tetapi Zimbardo telah mengajarkan kita bahwa kekuasaan tanpa pengawas akan sama tragisnya dengan kisah sipir dan narapidana. Karena kekuasaan absolut bersifat merusak. Jika dalam bermain peran saja orang bisa hanyut menjadi kejam ketika diberi kuasa, apalah jadinya kalau itu memang kehidupan nyata?

Ingat, yang buruk bukan apelnya, tapi keranjang yang dapat membusukkan apapun yang disentuhnya. Kita tidak sedang menuduh penguasa bermental korup, tapi kekuasaan absolut itulah yang mengkorupsi moral sesiapa yang bersinggungan dengannya.

Tulisan ini dimulai dengan kata pembuka "alkisah" agar pembaca percaya bahwa ini hanyalah dongeng pengantar tidur. Tapi rasanya pembaca juga telah tahu bahwa dongeng zaman sekarang juga seringkali dibuka dengan kalimat, "Kalau saya terpilih nanti...."

November 22, 2019

Entah Apa yang Merasukimu


Berikut adalah tulisan saya yang dimuat di thecolumnist.id

Apa yang anda lakukan jika khawatir rumah anda kemalingan?

Membuat kunci keamanan yang berlapis bisa jadi salah satu solusi. Atau kalau anda termasuk golongan beruang, mempekerjakan penjaga keamanan menjadi pilihan terbaik. Bukan hanya satu dua, kalau perlu 6 orang sekaligus. Agar nyenyak tidur anda.

Mungkin begitu juga yang ada di benak Presiden Jokowi ketika memilih 6 jenderal dari kalangan TNI dan Polri sekaligus untuk mendampingi beliau di pemerintahan. Samar-samar kita mengendus aroma ketidakamanan (insecurity) yang dirasakan presiden ketika memilih kabinet Indonesia Maju.
Pertemuan Prabowo dan Jokowi (sumber : wikimedia.com)

Tak apalah kita maklumi kalau kalangan aparat mengisi pos yang memang linier dengan keahliannya, seperti Kementerian Pertahanan (meski sebenarnya kalangan sipil juga pernah membuktikan kesanggupan mereka di kabinet Indonesia Bersatu I & II). Tetapi menempatkan barisan jenderal di banyak kementerian membuat kita ingin bertanya ‘entah apa yang merasukimu?’

Baca selengkapnya di sini:

November 20, 2019

Dunia Para Perundung


Berikut adalah tulisan saya yang dimuat di thecolumnist.id

Terjadi lagi. Kasus bunuh diri akibat perundungan (bullying) menunjukan eskalasi yang kian mengkhawatirkan. Yang terbaru adalah kisah bocah YSS (14) yang nekat mengakhiri hidup karena sering dirundung teman-temannya. Padahal tak kurang dia punya prestasi. Selain memonopoli status juara kelas sejak SD, dia juga jagoan olimpiade matematika dan IPA hingga tingkat provinsi. Hadiah sepeda dari Presiden Jokowi semakin mempermanis torehannya.
Ilustrasi perundungan (sumber : health.mil)

Tetapi sayang kilauan prestasi tersebut tak mampu memadamkan kobaran stigma negatif yang sering dialamatkan padanya. Ayahnya yang berprofesi sebagai tukang cor adalah pembunuh ibunya sendiri. Dengan tragis, sang ibu dicor dalam bak semen. Sejak saat itu, YSS mendapat ejekan dari teman-temannya sebagai keturunan pembunuh dan anak tukang cor. Tak kuat menanggung ujian hidup yang teramat berat, jiwa belia itu menyerahkan diri di bawah utasan tali.

Kasus YSS hanyalah secuil contoh dari kasus perundungan yang kian memprihatinkan. KPAI mencatat ada 253 kasus perundungan sejak tahun 2011-2016, terdiri dari 122 anak menjadi korban dan 131 anak menjadi pelaku.

Baca selengkapnya disini:

October 29, 2019

Fix Arabic Numbering Issue in Ms Word 2016 & 2019


Parah. Hampir saja saya stres dengan masalah numbering di Ms Word. Masalah yang sangat sepele sebenarnya, tapi menyita banyak sekali waktu. Sudah diotak-atik kesana kemari tetap belum terpecahkan juga. Untunglah percobaan iseng-iseng saya akhirnya membuahkan hasil.
Ilustrasi nomor Arab (sumber: quora.com)

Cerita bermula dari rasa penasaran saya yang ingin memakai office lebih baru. Karena kampus saya menyediakan banyak software gratis berlisensi asli, rasanya sayang kalau tidak dimanfaatkan. Akhirnya saya download office 2016 (sebelumnya office saya versi 2007).

Masalah muncul ketika mengatur numbering (penomoran). Karena saya sedang menulis tesis yang berbahasa Arab, maka otomatis penomoran juga harus memakai angka Arab. Yang bikin kesal, Word 2016 yang saya install ini selalu berbalik ke angka latin (1 2 3 4 5) ketika saya mengetik penomoran dengan angka Arab.

Saya sudah coba googling kesana kemari, tips yang banyak saya dapat dari website adalah dengan mengatur settingan. Here is the first trick:

  • Go to File – Option – Advanced 
  • Then under menu ‘show document content’ change numeral from Arabic to Context
  • Click OK

Tetapi sayang cara ini hanya mengganti nomor di tubuh dokumen secara umum, sedangkan format numbering-nya tidak terganti, masih tetap sama dengan angka latin. Selain tips itu, ada juga yang menyarankan dengan menambah menu RTL RUN di Quick Access Toolbar. If the first trick does not work for you, then try this one:

  • Go to File – Option – Customize Ribbon
  • Under menu ‘choose command from’ choose ‘All Commands’
  • Search RTL RUN and add to Main Tab
  • Click OK
  • Then at the top left in your Word will appear small circle
  • Click (or block) the numbering you want to change, and click the small circle above
  • The numbering should be changed to Arabic version

Dengan cara ini, awalnya numbering bisa berubah ke versi Arab, tapi keesokan harinya ketika saya buka Word lagi, cara seperti ini sudah tidak mempan. Saya sudah coba otak-atik dari Timur ke Barat masih belum bisa juga. Akhirnya setelah sekian hari mencoba, saya menyerah. Saya ambil jalan pintas dengan menginstall Word 2019. Harapannya masalah numbering tersebut akan terselesaikan.

Tetapi sayang seribu sayang, ternyata masalah itu masih muncul. Ya Allah, ngebul sudah kepala saya dibuatnya. Permasalahnnya sangat sepele, tapi jadi berpele-pele karena format penulisan tesis saya jadi tidak sesuai dengan pedoman. Bakal kena revisi terus kalau seperti ini.

Dengan kesabaran yang dipaksakan, barusan saya googling lagi cara untuk menyelesaikan masalah ini. Caranya masih belum saya dapat, tapi dari google saya dapat inspirasi. Awalnya saya lihat keterangan bahwa RTL itu singkatan dari Right to Left. Pikiran saya langsung terbersit dengan format penulisan Arab (Right to Left) yang yang berkebalikan dengan penulisan latin (Left to Right). Kalau ada RTL, mestinya ada LTR juga dong.

Setelah saya cari di menu All Commands tadi, ternyata memang ada LTR RUN. Dan setelah saya coba mengaplikasikannya, alhamdulillah berhasil. Format numbering jadi sesuai dengan angka Arab. Here is the ultimate trick for you deadlock people:

  • Go to File – Option – Customize Ribbon
  • Under menu ‘choose command from’ choose ‘All Commands’
  • Search LTR RUN and add to Main Tab
  • Click OK
  • Then at the top left in your Word will appear small circle
  • Click (or block) the numbering you want to change, and click the small circle above
  • The numbering should be changed to Arabic version

Semoga trik ini langgeng dan bisa dipakai terus. Sudah seminggu lebih saya dipusingkan dengan urusan yang kelihatannya sangat sepele ini. Long live the trick!!!

Asrama Mahasiswa KSU

October 27, 2019

Ketika Trump Nunggak Kontrakan


Pagi tadi saya mendapatkan pesan broadcast di salah satu grup Whatsapp (WA) yang saya ikuti. Isinya cukup bikin prihatin, tentang teman saya, sebutlah namanya Trump,  yang sedang dicari banyak orang. Sayangnya dia dicari bukan karena prestasi atau hal yang membanggakan, tapi karena utang.
Ilustrasi utang (sumber: pixabay.com)

Saya mengenal Trump sudah sangat lama. Bahkan kami dulu pernah kost bareng di Jogja selama kurang lebih 3 tahun. Selama itu pula, tidak ada hal yang janggal yang saya temukan dari dirinya. Sebaliknya, saya justru melihat banyak kelebihan seperti rajin sholat 5 waktu di masjid, suka masak untuk kami anak-anak kost, aktif ikut kajian, hingga akrab dengan penduduk sekitar.

Tetapi pesan broadcast yang saya dapati itu sungguh mengagetkan. Sang penyebar broadcast, yakni bapak kost kami sendiri, menuliskan bahwa Trump sudah menunggak uang kost selama 9 bulan. Namun masalah utamanya bukan disitu, melainkan daftar utang yang belum dia lunasi ke sejumlah orang dengan nominal yang sangat banyak, lebih dari 50 juta rupiah. Parahnya lagi, dia berani menggelapkan dana qurban suatu masjid selama 2 tahun. Subhanallah…

Saya sendiri sebenarnya termasuk korbannya juga. Dulu dia pernah meminjam uang dengan modus investasi. Awalnya saya agak curiga, tapi karena kasihan dan seringkali ditanya, akhirnya saya pinjamkan juga. Kecurigaan saya semakin nyata setelah beberapa bulan tidak ada laporan perkembangan usaha yang dia jalankan.

Dulu pernah saya tagih tapi Trump bilang dia lagi sibuk bolak balik Jawa – Sumatera. Dia cuma meminta saya mengirimkan nomor rekening untuk ditransfer kemudian. Sebulan berlalu tidak ada kabar juga darinya. Saya coba menghubungi dia lagi melalui WA, tapi pesan WA saya hanya dibaca, tidak dibalas. Dari sini saya sudah yakin ada yang tidak beres.

Karena penasaran, saya hubungi teman kost saya yang lain, sebut saja Roni. Dari Roni saya tau bahwa Trump telah berutang ke hampir semua penghuni kost. Tidak hanya saya, tapi juga Roni dan beberapa teman lain. Nominalnya pun lumayan, rata-rata jutaan rupiah, yang paling besar sekitar 12 juta rupiah.

Saya tidak tau untuk apa uang sebanyak itu dia gunakan. Saya coba korek dari teman kost lain dan juga bapak kost, mereka semua tidak ada yang tau pasti. Cuma katanya banyak korbannya ditawarkan program investasi, mulai dari penggemukan sapi, usaha beras, yoghurt, dll. Tapi tidak ada yang jelas semua usahanya.

Jujur saya sedih mendengar berita ini karena saya mengenal Trump sebagai orang yang baik, apalagi dia juga aktif di masjid. Tapi saya juga menyayangkan, mengapa dia bisa sampai setidakamanah itu. Tentu ini bisa jadi preseden yang buruk di mata masyarakat, apalagi bagi orang-orang yang suka nyinyir ke aktivis masjid. ‘Tuh lihat si Trump, buat apa sholat & ngaji rajin kalau kelakuan gak jauh beda sama maling?’

Saya jadi ingat, dulu teman saya pernah berkata ‘kalau urusan duit, gak peduli yang alim atau penjahat, rajin sholat atau suka maksiat, harus hati-hati’. Kalimat itu dia utarakan setelah ditipu oleh temannya sendiri sesama anak pengajian. Dulu saya menganggap angin lalu omongannya itu, sekarang justru saya yang merasakan.

Ini menjadi pelajaran penting buat kita dalam bermuamalah dengan orang lain, terutama yang berkaitan dengan uang. Jangan tertipu dengan tampilan. Penampilan bisa jadi solih tapi isi hati orang kita tidak tau. Jangan tertipu juga dengan tampang memelas dan minta dikasihani karena hal itu menjadi senjata pamungkas mereka untuk mendapatkan uang.

Terakhir, sering-seringlah berdoa agar dijauhi dari utang karena pertanggung jawabannya akan terus dikejar sampai akhirat. Hidup sederhana asal dari jerih payah sendiri lebih mulia daripada banyak gaya tapi dari hasil utang. Allahul musta’an.

#Asrama Mahasiswa KSU


October 18, 2019

Betawi Menggugat Ibu Kota



Berikut adalah tulisan saya yang terbit di thecolumnist.id

Menarik membaca tulisan Pemimpin Redaksi The Columnist, Yuli Isnadi, yang terbit Jumat (04/10) lalu dengan judul ‘Ibu Kota Apa Kabar, Jadi Pindah..?’ Dengan gaya bertutur yang mengalir, penulis mengajak pembaca untuk sama-sama menyelami perasaan empat pihak yang terdampak pemindahan ibu kota. Keempat pihak tersebut masing-masing mewakili emosi: senang, galau, marah, dan sedih.

Perasaan senang diwakili oleh pihak yang ketiban rejeki akibat proyek ambisius pemerintah tersebut. Bung Yuli mencontohkan kawannya yang memiliki rumah di Balikpapan. Sedangkan perasaan galau menghinggapi para pekerja di Kementerian dan Lembaga Indonesia karena status sosial yang bisa terjerembab akibat pindah ke ‘pedalaman’. Adapun marah tertumpah di wajah DPR karena merasa dilangkahi pemerintah.

Bagian yang paling menarik adalah ketika Bung Yuli mengupas perasaan warga di empat desa Dayak Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara, wilayah yang akan dijadikan ibu kota baru. Dia dengan lihai mengetuk pintu hati kita untuk ikut serta merasakan bagaimana keresahan mereka yang telah lama menderita dan akan semakin nelangsa manakala ibu kota jadi pindah.

Ah, saya jadi merutuki nasib, mengapa Bung Yuli tidak lahir sedari dulu, ketika Jakarta akan diputuskan menjadi ibu kota. Mungkin jika Bung Yuli lahir lebih awal, Bung juga akan menyuarakan pembelaannya untuk warga Betawi yang kini telah ‘abih tandeh’. Habis sehabis-habisnya.