March 16, 2018

Menikmati Kuliner Pakistan dan Mengunjungi Istana Raja Abdul Aziz

Tadi malam saya diundang makan oleh salah satu dosen bahasa Arab saya. Beliau baru saja pulang dari Amerika untuk menemani istrinya yang kuliah di sana, sekaligus belajar bahasa Inggris. Malam itu saya tidak sendiri, ada tiga orang lain yang juga diundang, satu orang Jepang, satu Kanada, dan satu Malaysia. Kecuali Si Jepang, kami semua pernah diajar beliau ketika di ma’had dulu dan kami sepakat bahwa belajar bersama beliau sangat menyenangkan. 
Tempat makan yang dipilih adalah sebuah restoran Pakistan. Tempat itu dipilih oleh teman saya yang Kanada. Meskipun berpaspor Kanada (dan Amerika), tapi sejatinya dia orang Pakistan. Yah, sudah jadi rahasia umum penduduk Pakistan menyebar ke berbagai daerah di seluruh dunia. Bahkan salah satu kota termasyhur di dunia, London, kini diperintah oleh seorang keturunan Pakistan. Saking banyaknya orang Pakistan yang menetap di sana, kini kota tersebut dijuluki Londonistan.  

Restoran yang kami kunjungi rupanya bukan restoran besar untuk makan malam. Kebetulan saya juga sudah makan malam di asrama. Itu hanya restoran kecil, semacam kafe, yang menjual berbagai macam makanan khas Pakistan. Hampir semua makanan itu rasanya manis atau lebih tepat disebut manisan. Kami mencicipi Gulab Jamuns, Jalebi, Ras Malai, Burfi, dan banyak makanan lain yang saya tidak hafal namanya.

Berbagai kuliner Pakistan (sumber : nextews.com)
Setelah ngobrol ngalor-ngidul di kafe, dosen kami mengajak jalan-jalan ke Istana Raja Abdul Aziz. Atau lebih tepatnya bekas istana Raja Abdul Aziz yang kini menjadi museum dan taman. Sebenarnya saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, yang merupakan jam tidur saya (hehe), tapi untuk menghormati beliau, saya terima juga ajakannya itu. Toh, saya juga belum pernah jalan-jalan ke sana.

Sayangnya saat itu istana sedang ditutup. Jadi kami tidak bisa melihat-lihat ke dalamnya. Padahal dosen saya bilang biasanya istana selalu dibuka untuk umum. Meskipun demikian, berkeliling mengitari bagian-bagian luar istana saja sudah cukup membuat saya kagum. Arsitektur dan design tamannya sangat khas sekali. Megah dengan gaya khas Timur Tengah. Dosen saya bilang istana ini dibangun dengan menggunakan tin (tanah liat) sebagai material utamanya.

Istana Raja Abdul Aziz (sumber : www.alweeam.com.sa)
Satu hal yang membuat saya takjub dari Saudi adalah bagaimana ketatnya mereka mengatur wilayah umum dan khusus. Sudah menjadi rahasia bersama bahwa urusan ikhtilat (percampuran) antara laki-laki dan perempuan di Saudi adalah urusan yang sangat sensitif. Kita tidak bisa masuk ke sembarang tempat tanpa melihat peruntukan tempat tersebut, apakah dibuka untuk umum atau khusus untuk perempuan/keluarga. Seperti di taman istana tersebut misalnya. Ketika kami mau masuk ke satu bagian, kami dicegah oleh satpam taman tersebut. Dia bilang tempat itu hanya untuk keluarga, sehingga kami (yang semuanya adalah lelaki) dilarang masuk. Lain hal kalau kami membawa istri dan anak-anak, satpam akan mengizinkan kami masuk. 

Selain takjub melihat istana dan ketatnya peraturan ikhtilat, saya juga takjub (atau lebih tepatnya heran?) melihat kebiasaan orang Saudi yang jarang ditemui di kebudayaan Indonesia, yaitu kegemaran mereka beraktivitas di malam hari. Ya, mengingat cuaca di Saudi umumnya sangat panas di siang hari, maka beraktivitas di waktu malam cenderung lebih disenangi. Saya sendiri, meskipun sudah hampir tiga tahun tinggal di Saudi, tetap saja terheran-heran melihat semaraknya aktivitas malam mereka. Apalagi saya juga jarang keluar kampus, sehingga pemandangan seperti malam itu sangat jarang saya temui. 

Malam itu, Istana Raja Abdul Aziz, yang kini menjadi tempat wisata, ramai dikunjungi banyak orang, terutama orang Saudi. Mereka umumnya datang bersama keluarganya, termasuk anak-anak kecilnya. Kalau jam sepuluh malam biasanya anak-anak Indonesia sudah lelap dalam tidurnya, anak-anak Saudi justru sedang aktif-aktifnya main kejar-kejaran. Sampai pukul 12 malam, dimana kami sudah beranjak pulang, tidak terlihat tanda-tanda bubarnya pengunjung di taman itu. 
Salah satu bagian istana (sumber : dokumentasi pribadi)
Kalau dipikir-pikir sebenarnya agak disayangkan juga, mengapa saya tidak banyak bereksplorasi selama hampir tiga tahun di Riyadh. Tetapi posisi kampus yang berada di pinggir kota, transportasi umum yang minim (hanya ada taksi), dan tempat hiburan yang terbatas membuat kegiatan “bersemedi” di asrama memang rasanya lebih favorable.

#Asrama 27

Related Posts:

  • It's Not Finish Yet Saya kira, setelah selesai menjalani sidang pendadaran skripsi, saya bisa lebih berleha-leha. Merebahkan diri lebih lama di atas kasur yang kini lebih mirip karpet. Atau sekedar menyelonjorkan kaki sambil menikmati cappuchin… Read More
  • Di Antara Arab dan Korporat, Ada Indonesia Bimbang. Lagi-lagi pikiran saya berkubang di lembah kebimbangan. Kebimbangan kali ini datang dari pilihan karir setelah lulus kuliah. Mau apa saya setelah lulus kuliah nanti? Sumber: ceciliaadrianto.wordpress.com Saat … Read More
  • Akhir Cerita Sebuah Kelas Bahasa Selasa 16 Mei 2017 menjadi hari terakhir saya berada di Ma’had Lughoh. Tidak terasa sudah dua tahun saya investasikan waktu saya di sana. Terasa begitu singkat jika mengenangnya saat ini, tapi tampak sangat lambat ketika … Read More
  • Dadar Tanpa Telor Alhamdulillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Segala puji hanya milik Allah, Sang Penggenggam Langit dan Bumi, dengan rahmat dan hidayah-Nya, saya diberi kemudahan dalam menjalani sidang skripsi (ujian pendadaran) pad… Read More
  • Fix Arabic Numbering Issue in Ms Word 2016 & 2019 Parah. Hampir saja saya stres dengan masalah numbering di Ms Word. Masalah yang sangat sepele sebenarnya, tapi menyita banyak sekali waktu. Sudah diotak-atik kesana kemari tetap belum terpecahkan juga. Untunglah percobaan i… Read More

0 comments:

Post a Comment