Tadi malam saya diundang makan oleh
salah satu dosen bahasa Arab saya. Beliau baru saja pulang dari Amerika untuk
menemani istrinya yang kuliah di sana, sekaligus belajar bahasa Inggris. Malam
itu saya tidak sendiri, ada tiga orang lain yang juga diundang, satu orang Jepang, satu Kanada, dan satu Malaysia. Kecuali Si Jepang, kami semua pernah
diajar beliau ketika di ma’had dulu dan kami sepakat bahwa belajar bersama
beliau sangat menyenangkan.
Tempat makan yang dipilih adalah
sebuah restoran Pakistan. Tempat itu dipilih oleh teman saya yang Kanada.
Meskipun berpaspor Kanada (dan Amerika), tapi sejatinya dia orang Pakistan. Yah,
sudah jadi rahasia umum penduduk Pakistan menyebar ke berbagai daerah di
seluruh dunia. Bahkan salah satu kota termasyhur di dunia, London, kini diperintah
oleh seorang keturunan Pakistan. Saking banyaknya orang Pakistan yang menetap
di sana, kini kota tersebut dijuluki Londonistan.
Restoran yang kami kunjungi
rupanya bukan restoran besar untuk makan malam. Kebetulan saya juga sudah
makan malam di asrama. Itu hanya restoran kecil, semacam kafe, yang menjual
berbagai macam makanan khas Pakistan. Hampir semua makanan itu rasanya manis atau
lebih tepat disebut manisan. Kami mencicipi Gulab Jamuns, Jalebi, Ras Malai, Burfi,
dan banyak makanan lain yang saya tidak hafal namanya.
Berbagai kuliner Pakistan (sumber : nextews.com) |
Setelah ngobrol ngalor-ngidul
di kafe, dosen kami mengajak jalan-jalan ke Istana Raja Abdul Aziz. Atau lebih
tepatnya bekas istana Raja Abdul Aziz yang kini menjadi museum dan taman. Sebenarnya
saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, yang merupakan jam tidur
saya (hehe), tapi untuk menghormati beliau, saya terima juga ajakannya itu.
Toh, saya juga belum pernah jalan-jalan ke sana.
Sayangnya saat itu istana sedang
ditutup. Jadi kami tidak bisa melihat-lihat ke dalamnya. Padahal dosen saya
bilang biasanya istana selalu dibuka untuk umum. Meskipun demikian, berkeliling
mengitari bagian-bagian luar istana saja sudah cukup membuat saya kagum.
Arsitektur dan design tamannya sangat khas sekali. Megah dengan gaya khas Timur
Tengah. Dosen saya bilang istana ini dibangun dengan menggunakan tin
(tanah liat) sebagai material utamanya.
Istana Raja Abdul Aziz (sumber : www.alweeam.com.sa) |
Satu hal yang membuat saya takjub
dari Saudi adalah bagaimana ketatnya mereka mengatur wilayah umum dan khusus.
Sudah menjadi rahasia bersama bahwa urusan ikhtilat (percampuran) antara
laki-laki dan perempuan di Saudi adalah urusan yang sangat sensitif. Kita tidak
bisa masuk ke sembarang tempat tanpa melihat peruntukan tempat tersebut, apakah
dibuka untuk umum atau khusus untuk perempuan/keluarga. Seperti di taman istana
tersebut misalnya. Ketika kami mau masuk ke satu bagian, kami dicegah oleh
satpam taman tersebut. Dia bilang tempat itu hanya untuk keluarga, sehingga
kami (yang semuanya adalah lelaki) dilarang masuk. Lain hal kalau kami membawa
istri dan anak-anak, satpam akan mengizinkan kami masuk.
Selain takjub melihat istana dan
ketatnya peraturan ikhtilat, saya juga takjub (atau lebih tepatnya
heran?) melihat kebiasaan orang Saudi yang jarang ditemui di kebudayaan
Indonesia, yaitu kegemaran mereka beraktivitas di malam hari. Ya, mengingat
cuaca di Saudi umumnya sangat panas di siang hari, maka beraktivitas di waktu malam
cenderung lebih disenangi. Saya sendiri, meskipun sudah hampir tiga tahun tinggal
di Saudi, tetap saja terheran-heran melihat semaraknya aktivitas malam mereka.
Apalagi saya juga jarang keluar kampus, sehingga pemandangan seperti malam itu
sangat jarang saya temui.
Malam itu, Istana Raja Abdul Aziz,
yang kini menjadi tempat wisata, ramai dikunjungi banyak orang, terutama orang Saudi.
Mereka umumnya datang bersama keluarganya, termasuk anak-anak kecilnya. Kalau jam
sepuluh malam biasanya anak-anak Indonesia sudah lelap dalam tidurnya,
anak-anak Saudi justru sedang aktif-aktifnya main kejar-kejaran. Sampai pukul
12 malam, dimana kami sudah beranjak pulang, tidak terlihat tanda-tanda
bubarnya pengunjung di taman itu.
Salah satu bagian istana (sumber : dokumentasi pribadi) |
Kalau dipikir-pikir sebenarnya
agak disayangkan juga, mengapa saya tidak banyak bereksplorasi selama hampir
tiga tahun di Riyadh. Tetapi posisi kampus yang berada di pinggir kota, transportasi
umum yang minim (hanya ada taksi), dan tempat hiburan yang terbatas membuat kegiatan
“bersemedi” di asrama memang rasanya lebih favorable.
#Asrama 27
0 comments:
Post a Comment