February 28, 2018

Perpus Snickers

Belakangan ini saya sedang hobi ke perpus. Bukan karena rajin, tetapi lebih karena ingin menghindari udara dingin di kamar. Kebetulan di kampus saya ada perpustakaan besar dan homy, King Salman Central Library namanya. Terdiri dari enam lantai yang tiap lantainya kurang lebih setara dengan ukuran lapangan bola. Gak heran kalau menurut pengakuannya, perpustakaan ini adalah yang terbesar di Timur Tengah. 
Perpustaan King Salman (sumber : dok. pribadi)
Akan tetapi saya bukan sedang ingin membicarakan perpus itu. Ada hal yang menurut saya lebih menarik untuk dituliskan, yaitu tentang perilaku seorang pengunjung perpus yang seringkali saya temui. Maklumlah, mahasiswa psikologi, matanya lebih tergoda mengamati gerak gerik manusia. 

Si pengunjung ini, sebutlah namanya Mahmud, seringkali mencari posisi yang kurang lebih sama dengan tempat saya. Yah, hanya beda dua atau tiga meja saja kira-kira. Padahal ada banyak sekali sudut di perpus yang bisa dijadikan tempat mangkal. Masa iya sih dari “enam lapangan bola”, gak ada satu sudutpun yang menarik?

Saya sendiri lebih tertarik di sudut itu karena di sana tidak banyak orang. Walaupun ada banyak meja, tapi biasanya cuma saya dan Mahmud yang mangkal. Kadang ada orang lain juga, tetapi mereka umumnya cuma pengunjung singgahan. Tidak seperti saya dan Mahmud yang meng-kavling  tempat dalam waktu yang lama.

Saya pribadi sebenarnya tidak masalah kalau Mahmud mau duduk di sudut itu. Ya iyalah, emangnya itu perpus punya nenek moyang gue, bisa ngatur seenaknya? Tapi masalahnya ada satu perilakunya yang bikin saya sungkan. Mahmud begitu baik, saking baiknya setiap kali datang dia pasti memberi saya snack pengganjal perut macam Snickers atau Kit Kat. Yah, sebagai manusia yang mengalir di tubuhnya darah NKRI (baca: Indonesia banget), saya jadi gak enak hati dong. Masa saya disumbang terus, emangnya saya masjid?

Kalau sungkan, kenapa gak cari tempat lain aja?

Itulah dia. Saya malas mengeksplorasi sudut lain karena di sudut ini saya sering dapat rejeki sudah terlanjur pewe. Jujur. Kalian taulah gimana rasanya kalau buang air di tempat lain selain di rumah, kurang nyaman kan? Nah begitulah kira-kira, sudut ini sudah seperti rumah bagi saya, tapi bukan untuk buang air, melainkan untuk mencari kehangatan.  

Sebagai orang Indonesia yang menghayati sila kelima, awalnya saya berpikir tidak adil rasanya kalau tidak membalas perbuatannya. Tapi setelah saya renungkan lagi, sila kelima kan berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sedangkan Mahmud orang Saudi. Jadi, gak usahlah saya balas perbuatannya.

#Ditulis di Perpus Pusat Malik Salman

Related Posts:

  • Debat Edisi Terakhir: Ilmu vs Harta Beberapa minggu ke belakang, kuliah Bahasa Arab di hari Kamis pada jam terakhir selalu diisi dengan debat. Ini adalah inisiatif dari ustadz kami. Biasanya di jam terakhir itu, semua materi telah selesai dibahas. Mak… Read More
  • Dauroh di Mekkah Saya baru saja mengikuti dauroh. Sebuah dauroh singkat di Mekkah al-Mukarromah selama empat hari. Yah, sebenarnya program daurohnya hanya tiga hari karena hari pertama kami “hanya” melakukan umroh. Meskipun cuku… Read More
  • Kisah Nabi Musa 'alaihi salam Setelah mengikuti kuliah Qiro’ah Muwassa’ah dengan kitab Qoshoshun Nabiyin sebagai kitab acuannya, saya merasa memiliki pemahaman yang lebih integratif tentang kisah para nabi. Pada pertemuan terakhir misalnya, kami… Read More
  • Meniatkan Amal, Mengamalkan Niat Banyak yang tertipu. Mengucap janji bahwa sekiranya nanti dirinya diperjalankan oleh Allah dari Indonesia ke Haramain untuk menunaikan umroh atau haji, ia akan pol-polan untuk beribadah. Akan dihabiskannya waktu… Read More
  • Sepenggal Kisah TKI di Saudi Akhir pekan* lalu saya berkesempatan membersamai para TKI untuk melaksanakan umroh. Ada 30 TKI yang berangkat umroh saat itu, semuanya laki-laki. Pekerjaan mereka beragam, mulai dari supir, waiter, buruh bangunan, k… Read More

0 comments:

Post a Comment