Isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) kembali marak
di Indonesia. Dalam beberapa tahun ke belakang, isu ini selalu muncul ke
permukaan. Terakhir fenomena ini kembali terangkat setelah DPR berniat membuat
RUU KUHP untuk melarang perilaku tersebut.
Di ranah keilmuan psikologi sendiri, isu LGBT sebenarnya sudah
sangat sering dibahas dan saya melihat kaum homo tersebut memiliki kemajuan
yang sangat progresif. Kemenangan kaum homo, saya lebih senang menyebutnya
seperti itu, dimulai dari hilangnya perilaku seksual menyimpang mereka dari
buku manual pengklasifikasian gangguan mental atau yang biasa disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM). Tercatat sejak tahun 1973, LGBT sudah tidak lagi
digolongkan sebagai perilaku seks menyimpang.
DSM sendiri merupakan produk American
Psychiatric Association (APA) yang selalu direvisi berdasarkan bukti riset
terkini. Adapun APA merupakan kiblat bagi para psikolog di seluruh penjuru
dunia. Satu hal menarik yang perlu dicatat atas fenomena hilangnya LGBT dari
DSM adalah tentang sebab musababnya. Kalau ditelusuri sejarahnya, rupanya LGBT
lenyap dari DSM bukan berdasarkan riset saintifik, melainkan atas desakan kaum
homo yang telah menggelorakan gerakan anti psikiatri sejak tahun 1960. Meskipun belakangan
selalu dicari pembenarannya oleh mereka melalui riset yang berusaha
“diilmiah-ilmiahkan.”
Selain dihapuskannya LGBT dari DSM, kaum homo juga sekarang begitu
di-emong (asuh) oleh APA. Ini adalah
kemajuan mereka lainnya. Dari APA monitor, semacam majalah bulanan APA, edisi Februari
2018 dalam artikel berjudul Treating the
Effects of LGBT Stigma, kita dapat mengetahui bahwa kaum homo begitu
dipelihara dan dijaga dari serangan stigma masyarakat. Artinya, kedudukan kaum
homo di APA sudah begitu kukuhnya.
Saya sendiri heran, mengapa APA menjadi sebegitu berpihaknya pada kaum
homo ini? Jawaban dari pertanyaan itu langsung saya dapatkan dalam majalah yang
sama. Dalam satu artikel, saya membaca tentang fenomena burnout (kelelahan yang amat sangat) yang bisa dihadapi manusia,
bahkan juga psikolog. Nah, psikolog yang menjadi acuan dari artikel itu adalah
Stacey Prince, PhD, yang secara gamblang disebutkan sebagai seorang lesbian.
Jelas sudah. Mereka saja sudah tidak malu-malu lagi mengakui diri
sebagai homo. Maka sudah tidak heran mengapa APA begitu ngemong kaum homo karena mereka adalah bagian darinya.
Dengar-dengar, dewan yang mengambil keputusan untuk mencabut homo dari DSM juga
anggotanya terdiri dari beberapa homo. Sayangnya untuk informasi ini, saya
belum mendapat sumber yang valid.
Satu hal yang patut dikhawatirkan adalah agresifitas APA dalam menyebarluaskan
pengaruhnya ke seluruh dunia. Mengingat APA telah menjadi kiblat bagi psikiater
dan psikolog di seluruh dunia, maka mereka pun tak sungkan lagi untuk
mempropaganda himpunan psikolog dan psikiater negara lain untuk mengikuti mereka.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang disasar untuk propaganda
tersebut, khususnya terkait LGBT.
Secara resmi, APA telah melayangkan surat kepada Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) untuk mencabut keputusan mereka
memasukan homoseksual sebagai gangguan mental. Dalam surat itu mereka bahkan
memaparkan riset terkini tentang homoseks, bahwa orientasi seksual bukanlah
pilihan dan tidak bisa diubah. Dari sini dapat kita lihat bagaimana aktif dan
agresifnya mereka dalam menyebarkan pengaruh ke negara lain. Untungnya PDSKJI
menolak penggiringan itu dengan mengatakan bahwa ada perbedaan cara pandang
antara psikiater Indonesia dan Amerika dalam memandang homoseksualitas.
Sekarang kita masih bisa bernafas lega karena mayoritas psikiater
dan psikolog di tanah air masih menganggap LGBT sebagai gangguan mental. Tetapi
sebagaimana kaum homo di Amerika tak lelah mendesak APA untuk merevisi DSM,
maka sangat mungkin kaum homo di Indonesia, yang dibantu kaum homo internasional,
juga akan selalu mendesak para psikiater dan psikolog pengambil keputusan untuk
merevisi pendapat mereka. Hal ini sangat berbahaya mengingat psikolog dan
psikiater adalah dua otoritas yang pendapatnya menjadi acuan di masyarakat.
Kalau mereka yang notabene ahli sudah melegalkan LGBT, maka gelombang deras
LGBT di Indonesia akan sangat sulit terbendung.
#Asrama KSU 27 – Riyadh
0 comments:
Post a Comment