January 27, 2018

LGBT dan Rebutan Pengaruh Psikologi

Isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) kembali marak di Indonesia. Dalam beberapa tahun ke belakang, isu ini selalu muncul ke permukaan. Terakhir fenomena ini kembali terangkat setelah DPR berniat membuat RUU KUHP untuk melarang perilaku tersebut.

Di ranah keilmuan psikologi sendiri, isu LGBT sebenarnya sudah sangat sering dibahas dan saya melihat kaum homo tersebut memiliki kemajuan yang sangat progresif. Kemenangan kaum homo, saya lebih senang menyebutnya seperti itu, dimulai dari hilangnya perilaku seksual menyimpang mereka dari buku manual pengklasifikasian gangguan mental atau yang biasa disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Tercatat sejak tahun 1973, LGBT sudah tidak lagi digolongkan sebagai perilaku seks menyimpang.

DSM sendiri merupakan produk American Psychiatric Association (APA) yang selalu direvisi berdasarkan bukti riset terkini. Adapun APA merupakan kiblat bagi para psikolog di seluruh penjuru dunia. Satu hal menarik yang perlu dicatat atas fenomena hilangnya LGBT dari DSM adalah tentang sebab musababnya. Kalau ditelusuri sejarahnya, rupanya LGBT lenyap dari DSM bukan berdasarkan riset saintifik, melainkan atas desakan kaum homo yang telah menggelorakan gerakan anti psikiatri sejak tahun 1960. Meskipun belakangan selalu dicari pembenarannya oleh mereka melalui riset yang berusaha “diilmiah-ilmiahkan.”

Selain dihapuskannya LGBT dari DSM, kaum homo juga sekarang begitu di-emong (asuh) oleh APA. Ini adalah kemajuan mereka lainnya. Dari APA monitor, semacam majalah bulanan APA, edisi Februari 2018 dalam artikel berjudul Treating the Effects of LGBT Stigma, kita dapat mengetahui bahwa kaum homo begitu dipelihara dan dijaga dari serangan stigma masyarakat. Artinya, kedudukan kaum homo di APA sudah begitu kukuhnya.

Saya sendiri heran, mengapa APA menjadi sebegitu berpihaknya pada kaum homo ini? Jawaban dari pertanyaan itu langsung saya dapatkan dalam majalah yang sama. Dalam satu artikel, saya membaca tentang fenomena burnout (kelelahan yang amat sangat) yang bisa dihadapi manusia, bahkan juga psikolog. Nah, psikolog yang menjadi acuan dari artikel itu adalah Stacey Prince, PhD, yang secara gamblang disebutkan sebagai seorang lesbian.

Jelas sudah. Mereka saja sudah tidak malu-malu lagi mengakui diri sebagai homo. Maka sudah tidak heran mengapa APA begitu ngemong kaum homo karena mereka adalah bagian darinya. Dengar-dengar, dewan yang mengambil keputusan untuk mencabut homo dari DSM juga anggotanya terdiri dari beberapa homo. Sayangnya untuk informasi ini, saya belum mendapat sumber yang valid.

Satu hal yang patut dikhawatirkan adalah agresifitas APA dalam menyebarluaskan pengaruhnya ke seluruh dunia. Mengingat APA telah menjadi kiblat bagi psikiater dan psikolog di seluruh dunia, maka mereka pun tak sungkan lagi untuk mempropaganda himpunan psikolog dan psikiater negara lain untuk mengikuti mereka. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang disasar untuk propaganda tersebut, khususnya terkait LGBT.

Secara resmi, APA telah melayangkan surat kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) untuk mencabut keputusan mereka memasukan homoseksual sebagai gangguan mental. Dalam surat itu mereka bahkan memaparkan riset terkini tentang homoseks, bahwa orientasi seksual bukanlah pilihan dan tidak bisa diubah. Dari sini dapat kita lihat bagaimana aktif dan agresifnya mereka dalam menyebarkan pengaruh ke negara lain. Untungnya PDSKJI menolak penggiringan itu dengan mengatakan bahwa ada perbedaan cara pandang antara psikiater Indonesia dan Amerika dalam memandang homoseksualitas.

Sekarang kita masih bisa bernafas lega karena mayoritas psikiater dan psikolog di tanah air masih menganggap LGBT sebagai gangguan mental. Tetapi sebagaimana kaum homo di Amerika tak lelah mendesak APA untuk merevisi DSM, maka sangat mungkin kaum homo di Indonesia, yang dibantu kaum homo internasional, juga akan selalu mendesak para psikiater dan psikolog pengambil keputusan untuk merevisi pendapat mereka. Hal ini sangat berbahaya mengingat psikolog dan psikiater adalah dua otoritas yang pendapatnya menjadi acuan di masyarakat. Kalau mereka yang notabene ahli sudah melegalkan LGBT, maka gelombang deras LGBT di Indonesia akan sangat sulit terbendung.

#Asrama KSU 27 – Riyadh

0 comments:

Post a Comment