August 1, 2009

Nenekku yang Zuhud

Pagi hari, menjelang kepulanganku ke Jogja dari liburku, nenekku datang untuk membawakan bekal/oleh2 untuk Ibu Kost, sebagai balasan sederhana atas segala kebaikan beliau. Nenekku sendiri yang membuatkan oleh2 itu dan beliau juga yang mengantarkannya ke rumahku. Ah, begitu baik dan perhatiannya nenekku kepada cucunya ini. Ku hampiri beliau dan kuajaknya bicara panjang lebar. Aku tanyakan bagaimana keadaannya belakangan ini, dan beliau pun menjawab sambil bercerita seperti seorang ibu mendongengkan kisah pengantar tidur untuk anaknya.

Nenekku bercerita bahwa belakangan in beliau mengalami susah tidur. Kalau beliau tidur di malam hari, beliau akan terbangun jam dua pagi dan tidak bias tidur lagi sampai adzan subuh. Hal ini membuat tubuh nenekku lemas. Ketika kutanya tentang pola makannya, beliau menjawab dengan kerendahan hatinya bahwa tidak ada yang salah dengan pola makannya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa nenekku pada pagi hari selalu minum air teh manis hangat ditemanai dengan dua potong tahu isi. Begitu setiap pagi, tidak ada bosan2nya. Beliau tidak terbiasa berjumpa dengan nasi di pagi hari, beliau baru bertemu nasi saat hari sudah beranjak siang. Mungkin ini yang diturunkan nenekku kepadaku, aku pun tidak biasa sarapan dengan nasi pada pagi hari, bedanya aku ngemil dengan rakusnya dari pagi sampai siang di saat nenekku hanya mengganjalkan dua potong tahu isi di perutnya sampai siang hari.

Nenekku makan dua kali sehari, siang dan sore hari, itupun dengan porsi yang mengkhawatirkan. Nenekku tidak pernah makan banyak, mungkin hanya seperempat dari porsi makanku. Lauk pauknya pun sangat sederhana, beliau mengatakan bahwa beliau makan dengan lauk apa saja yang ada, kalau ada tempe-tahu, ya beliau makan tempe-tahu, kalau ada ikan ya makan ikan, tapi kalau ada ayam goreng atau daging, nenekku justru menghindarinya. Entah kenapa nenekku begitu enggannya menyantap lauk itu (ayam dan daging), hal yang justru sangat berkebalikan denganku. Aku menduga nenekku mengalami trauma masa lalu, dimana pada saat beliau masih muda, lauk pauk seperti itu sangat jarang ada di meja makan, karena lauk itu tergolong sebagai lauk yang sangat istimewa. Jarang sekali orang2 dulu menyajikan lauk seperti itu, mengingat sulitnya kondisi ekonomi yang dihadapi mereka, begitu cerita ibuku sewaktu ketika. Oleh karena itu, jika dihadapkan dengan lauk seperti itu, mungkin beliau teringat sulitnya kehidupan yang dilaluinya bersama almarhum kakekku.

Walaupun masa lalunya sangat sulit, tapi beliau tidak pernah memasang wajah susah, masam, dan kecewa kepadaku. Beliau selalu tersenyum di depanku, selalu menunjukkan keceriaannya dan sangat jarang mengeluh. Beliau menunjukkan kondisi yang selalu berkecukupan dimana aku menanggapinya serba kekurangan. Bayangkan, mie instant yang aku sanggup menghabiskan sebanyak dua bungkus, beliau hanya bisa menghabiskan seperempat bungkus. Aku jadi memikirkan, betapa rakusnya aku, hidup bergelimang nikmat di tengah zuhudnya hidup nenekku. Aku memang tidak merasakan sulitnya hidup di masa lalu, tapi seharusnya aku bisa memahami melalui zuhudnya hidup nenekku saat ini. Begitu besar pengorbanan yang beliau persembahkan kepada anak dan cucu2nya, sehingga kini kami tidak mengalami susahnya hidup seperti yang nenekku alami. Semoga setiap hembus nafasnya melahirkan pahala2 yang kelak akan dituai di alam akhirat. Amin…

0 comments:

Post a Comment