September 6, 2019

Perantauan Terberat

Seketika saya menjadi perantau pemula lagi, yang merasakan betapa beratnya tinggal jauh dari keluarga. Pengalaman berkelana selama sebelas tahun tak banyak membantu dalam mengobati rasa rindu kepada orang-orang terkasih. Rasanya baru kemarin saya memulai libur panjang yang saya kira sangat jauh ujungnya. Ternyata habis juga masa empat bulan itu. Kini saya sudah kembali ke tanah rantau lagi. Sendiri lagi.

Dibandingkan dengan perantauan-perantauan sebelumnya, yang satu ini lebih berlipat beratnya karena kini saya meninggalkan anak dan istri. Anak yang masih sangat kecil dengan tumbuh kembang yang sedang pesat-pesatnya. Saya ingat ketika saya datang, anak saya belum bisa menjambak rambut. Sekarang jambakannya sudah tidak perlu ditanya lagi. Butuh dua orang untuk melepaskannya. Saya tidak tau, apa yang akan sudah dia bisa lakukan ketika saya kembali nanti.
My lil' family

Setiap detik pertumbuhan anak hanya dilalui sekali saja. Sedetik yang telah berlalu tak akan bisa terulang. Bagi saya, sangat penting untuk bisa membersamai anak di setiap waktunya karena mereka adalah amanah yang Allah titipkan kepada kita. Sudah menjadi kewajiban orangtua untuk menjaga titipan tersebut. Maka apakah bisa disebut amanah orangtua yang menitipkan anaknya kepada orang lain? Padahal Allah telah memercayakan titipan-Nya kepada kita, kenapa kita malah titipi lagi?

Selain itu, membersamai anak juga penting dilakukan orangtua karena disitulah proses tarbiyah bisa terselenggara. Sehingga orangtua mendapat jatah dari doa anak yang berbunyi “Rabbigfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shagira.” Dalam doa itu, terselip kata “kama” yang menjadi syarat yang harus dipenuhi orangtua agar mendapat ampunan dan rahmat Allah. Syarat tersebut adalah tarbiyah (rabbayani). Maka orangtua yang berlepas diri dari men-tarbiyah anaknya selagi kecil jangan terlalu pede mendapatkan kebaikan dari doa tersebut.

Sebab itu pula saya rela tidak bekerja menjadi petugas haji tahun ini. Walaupun pendapatannya menggiurkan, tapi kalau saya menjadi petugas haji saya harus bersedia kembali sekitar 2,5 bulan lebih awal. Padahal periode 2,5 bulan yang dijalani anak saya hanya terjadi sekali. Bisa jadi 2,5 bulan itu menjadi titik terpenting kehidupan anak saya. Atau mungkin timbangan terbaik bagi amal saya?

Mungkin ada yang bilang “Toh kita bekerja siang malam ujung-ujungnya untuk anak juga”. Memang benar bahwa anak kita membutuhkan uang, tapi yang lebih mereka butuhkan sebenarnya ayah ibunya. Uang bagi mereka adalah pelengkap hidup, sedangkan ayah dan ibu adalah komponen utamanya. Selamanya uang tidak akan bisa mensubstitusi kehangatan orangtua dalam kehidupan anak.

Kembali ke topik utama, takdir menghendaki saya untuk jauh dari anak dan istri sementara waktu. Betapapun inginnya saya untuk selalu bersama keluarga, tapi tidak ada yang bisa saya lakukan saat ini kecuali bertarung habis-habisan untuk segera menyelesaikan studi. Di saat seperti ini, saya menghibur diri dengan mengingat kisah Nabi Ibrahim. Di saat beliau sudah mendapatkan putra yang diidam-idamkan, Allah justru memisahkan mereka dengan perintah hijrah. Ketaatan Nabi Ibrahim dan keluarga pada akhirnya menjadikan keturunan mereka diberkahi dan dikenal sebagai keluarga pembawa risalah kenabian.

Saya bukan Ibrahim. Istri saya bukan Hajar. Anak saya pun bukan Ismail. Tetapi kami berharap kesabaran kami melalui episode ini membawa berkah sebagaimana Allah memberkahi keluarga Nabi Ibrahim.
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Rabb kami! sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Q.S Ibrahim (14): 37).

#Asrama KSU - Riyadh

0 comments:

Post a Comment