Sudah menjadi fardhu ain
bagi saya untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga
besar. Sejak lebaran edisi tahun pertama
kelahiran hingga lebaran edisi tahun lalu, selalu saya rayakan bersama keluarga
di Tangsel. Momen kehangatan lebaran versi kampung Pondok Cabe Ilir dan
kebersamaan dengan keluarga besar adalah oase bagi perjalanan hidup saya yang
dalam sebelas tahun kebelakang menjadi muhajir (perantau).
Akan tetapi lebaran edisi tahun
ini agaknya memiliki kisah yang berbeda. Hukum fardhu ain yang saya
berlakukan untuk diri saya sendiri terpaksa saya revisi menjadi mubah
karena kemungkinan besar saya akan berlebaran di kampung orang. Harga tiket
pesawat yang menyentuh level gila akut ditambah Si Kecil yang masih dalam tahap
recovery dari sakit membuat saya harus legowo untuk menjalani lebaran di
kampung orang untuk pertama kalinya.
Memang berat rasanya, tapi
mengingat saya sudah berkeluarga, maka saya tidak bisa hanya mengedepankan ego
sendiri karena ada anggota keluarga lain (anak dan istri) yang juga harus saya
pertimbangkan kemaslahatannya.
Lebaran di Kampung, Apa
Urgensinya?
Bagi sebagian orang mungkin
“berat hati” yang saya rasakan karena tidak lebaran di kampung dianggap terlalu
lebay. Apa salahnya sesekali tidak berlebaran di kampung bersama keluarga?
Mengapa saya seolah terlalu terlalu mendramatisir hal ini?
Yah, saya tidak bisa menyalahkan
orang yang beranggapan seperti itu karena antara saya dan mereka memiliki
sejarah hidup yang berbeda. Maka sudut pandang dalam menilai suatu perkara juga
sangat mungkin berlainan. Kewajaran dalam kamus hidup saya bisa jadi dianggap
lebay dalam peniliaian orang lain, atau sebaliknya.
Saya sendiri bisa sampai pada
perasaan “berat hati” karena beberapa hal, pertama karena lebaran (Idul Fitri) adalah
momen yang datang setahun sekali. Seperti yang kita tau, lebaran adalah momen
berkumpulnya seluruh keluarga. Suka cita yang dihasilkan dari perkumpulan di
hari raya itu bagi saya mengandung energi yang dapat melecut jiwa. Sebagai
seorang muhajir, tentu saya sering merindukan keluarga. Nah, kumpul keluarga
saat lebaran adalah kompensasi dari rindu-rindu yang mengendap selama berada di
tanah rantau.
Kedua, lebaran di kampung bagi
saya bukan sekedar perayaan hari besar, tapi juga perayaan identitas saya
sebagai diri (self). Agak sulit bagi saya untuk menerangkannya, tapi
intinya ketika kamu lahir dan besar di suatu tempat dan hati kamu terikat
sangat kuat dengan tempat tersebut, maka kamu akan menjadikan tempat itu dengan
segala isinya sebagai bagian dari identitas dirimu. Dalam dunia psikologi, hal
ini bertaut erat dengan konsep diri (self concept) manusia.
Mungkin menjadi sedikit sulit
dibayangkan jika kamu tidak memiliki kampung halaman atau terbiasa hidup
nomaden sejak kecil. Bisa jadi kamu agak mengalami kebingungan dengan salah
satu bagian dari konsep dirimu. Tetapi bagi saya pribadi yang hanya punya satu
kampung halaman dimana saya menghabiskan masa kecil hingga remaja di situ, maka
sangat jelas kampung halaman adalah bagian dari identitas saya yang tak
terpisahkan. Oleh karena itu di paragraf sebelumnya saya mengatakan bahwa
lebaran di kampung bagi saya bukan sekedar perayaan hari besar, tapi juga
perayaan identitas.
Ketiga, lebaran di kampung adalah
bagian dari usaha saya menyambung tali silaturahmi, terutama dengan keluarga
ibu saya yang telah meninggal. Selain sebagai bentuk birrul walidain,
mengunjungi keluarga ibu adalah upaya mengobati rindu kepada beliau (rahimahallah).
Apalagi sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan keluarga ibu dimana saya
sering main, makan bahkan bermalam di rumah mereka. Maka tidak heran jika mereka
sudah saya anggap seperti orangtua sendiri.
Keempat, dan ini yang paling
penting, lebaran di kampung adalah upaya saya membayar kompensasi kepada
keluarga, terutama adik-adik saya, dari ketidakhadiran saya sehari-hari. Sebagaimana
yang telah saya tekankan sejak awal, lebaran adalah momen berkumpulnya
keluarga. Saya tidak tega melihat adik-adik saya merasa kesepian di hari
bahagia karena ketidakutuhan keluarga. Di saat keluarga lain bersuka cita
merayakan lebaran dengan personil yang komplit, saya khawatir mereka justru
bersedih karena teringat ibunya. Dan dikhawatirkan mereka semakin sedih karena
saya juga tidak ada. Artinya, keluarga semakin tidak komplit. Maka saya
berusaha menangkal kesedihan itu dengan selalu hadir merayakan lebaran bersama
mereka.
Yah, manusia memang tempatnya
ikhtiar, sedangkan Allah adalah eksekutor dari ikhtiar-ikhtiar itu. Lebaran
tahun ini, meskipun saya tidak mudik, semoga tidak mengurangi kegembiraan
keluarga di kampung dalam merayakannya.
Malam ke-28 Ramadhan 1440 H
Padang – Sumatera Barat
0 comments:
Post a Comment