June 1, 2019

Lebaran

Sudah menjadi fardhu ain bagi saya untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga besar.  Sejak lebaran edisi tahun pertama kelahiran hingga lebaran edisi tahun lalu, selalu saya rayakan bersama keluarga di Tangsel. Momen kehangatan lebaran versi kampung Pondok Cabe Ilir dan kebersamaan dengan keluarga besar adalah oase bagi perjalanan hidup saya yang dalam sebelas tahun kebelakang menjadi muhajir (perantau). 

Ilustrasi lebaran (sumber: www.nu.or.id)
Akan tetapi lebaran edisi tahun ini agaknya memiliki kisah yang berbeda. Hukum fardhu ain yang saya berlakukan untuk diri saya sendiri terpaksa saya revisi menjadi mubah karena kemungkinan besar saya akan berlebaran di kampung orang. Harga tiket pesawat yang menyentuh level gila akut ditambah Si Kecil yang masih dalam tahap recovery dari sakit membuat saya harus legowo untuk menjalani lebaran di kampung orang untuk pertama kalinya.

Memang berat rasanya, tapi mengingat saya sudah berkeluarga, maka saya tidak bisa hanya mengedepankan ego sendiri karena ada anggota keluarga lain (anak dan istri) yang juga harus saya pertimbangkan kemaslahatannya.

Lebaran di Kampung, Apa Urgensinya?
Bagi sebagian orang mungkin “berat hati” yang saya rasakan karena tidak lebaran di kampung dianggap terlalu lebay. Apa salahnya sesekali tidak berlebaran di kampung bersama keluarga? Mengapa saya seolah terlalu terlalu mendramatisir hal ini?

Yah, saya tidak bisa menyalahkan orang yang beranggapan seperti itu karena antara saya dan mereka memiliki sejarah hidup yang berbeda. Maka sudut pandang dalam menilai suatu perkara juga sangat mungkin berlainan. Kewajaran dalam kamus hidup saya bisa jadi dianggap lebay dalam peniliaian orang lain, atau sebaliknya.

Saya sendiri bisa sampai pada perasaan “berat hati” karena beberapa hal, pertama karena lebaran (Idul Fitri) adalah momen yang datang setahun sekali. Seperti yang kita tau, lebaran adalah momen berkumpulnya seluruh keluarga. Suka cita yang dihasilkan dari perkumpulan di hari raya itu bagi saya mengandung energi yang dapat melecut jiwa. Sebagai seorang muhajir, tentu saya sering merindukan keluarga. Nah, kumpul keluarga saat lebaran adalah kompensasi dari rindu-rindu yang mengendap selama berada di tanah rantau.

Kedua, lebaran di kampung bagi saya bukan sekedar perayaan hari besar, tapi juga perayaan identitas saya sebagai diri (self). Agak sulit bagi saya untuk menerangkannya, tapi intinya ketika kamu lahir dan besar di suatu tempat dan hati kamu terikat sangat kuat dengan tempat tersebut, maka kamu akan menjadikan tempat itu dengan segala isinya sebagai bagian dari identitas dirimu. Dalam dunia psikologi, hal ini bertaut erat dengan konsep diri (self concept) manusia.

Mungkin menjadi sedikit sulit dibayangkan jika kamu tidak memiliki kampung halaman atau terbiasa hidup nomaden sejak kecil. Bisa jadi kamu agak mengalami kebingungan dengan salah satu bagian dari konsep dirimu. Tetapi bagi saya pribadi yang hanya punya satu kampung halaman dimana saya menghabiskan masa kecil hingga remaja di situ, maka sangat jelas kampung halaman adalah bagian dari identitas saya yang tak terpisahkan. Oleh karena itu di paragraf sebelumnya saya mengatakan bahwa lebaran di kampung bagi saya bukan sekedar perayaan hari besar, tapi juga perayaan identitas.

Ketiga, lebaran di kampung adalah bagian dari usaha saya menyambung tali silaturahmi, terutama dengan keluarga ibu saya yang telah meninggal. Selain sebagai bentuk birrul walidain, mengunjungi keluarga ibu adalah upaya mengobati rindu kepada beliau (rahimahallah). Apalagi sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan keluarga ibu dimana saya sering main, makan bahkan bermalam di rumah mereka. Maka tidak heran jika mereka sudah saya anggap seperti orangtua sendiri.

Keempat, dan ini yang paling penting, lebaran di kampung adalah upaya saya membayar kompensasi kepada keluarga, terutama adik-adik saya, dari ketidakhadiran saya sehari-hari. Sebagaimana yang telah saya tekankan sejak awal, lebaran adalah momen berkumpulnya keluarga. Saya tidak tega melihat adik-adik saya merasa kesepian di hari bahagia karena ketidakutuhan keluarga. Di saat keluarga lain bersuka cita merayakan lebaran dengan personil yang komplit, saya khawatir mereka justru bersedih karena teringat ibunya. Dan dikhawatirkan mereka semakin sedih karena saya juga tidak ada. Artinya, keluarga semakin tidak komplit. Maka saya berusaha menangkal kesedihan itu dengan selalu hadir merayakan lebaran bersama mereka.

Yah, manusia memang tempatnya ikhtiar, sedangkan Allah adalah eksekutor dari ikhtiar-ikhtiar itu. Lebaran tahun ini, meskipun saya tidak mudik, semoga tidak mengurangi kegembiraan keluarga di kampung dalam merayakannya.

Malam ke-28 Ramadhan 1440 H
Padang – Sumatera Barat

0 comments:

Post a Comment