April 30, 2019

Psikologi Pelaku Hoaks

Pesatnya perkembangan teknologi berdampak masif yang mau tidak mau dinikmati oleh dua kubu, yaitu kubu baik dan kubu jahat. Bagi pelaku kebaikan, digitalisasi informasi telah membantu mereka menyebarkan pesan positif, harapan, kedamaian, pengetahuan serta optimisme. Kebaikan dari Timur secepat kilat akan juga menyambar ke Barat, dan sebaliknya.

Di sisi lain, pelaku kejahatan juga diuntungkan dengan kemajuan ini. Tidak bisa tidak, derasnya arus digitalisasi peradaban ikut mengangkut sampah dan kotoran ke tengah masyarakat. Sampah yang paling sering muncul wujudnya berupa berita bohong atau hoaks.
Ilustrasi Hoaks (sumber: thatsnonsense.com)
Hoaks memiliki efek yang masif dan destruktif karena sifatnya yang cepat menyebar, bahkan lebih cepat daripada berita yang valid (Vosoughi, Roy, dan Aral, 2018). Konten berita hoaks sangat beragam, tapi diantara berbagai konten tersebut, Vosoughi dkk (2018) dalam penelitiannya menemukan bahwa hoaks dengan tema politik adalah yang paling cepat penyebarannya.  

Tidak dapat disangkal berita politik memang menjadi berita yang paling digandrungi masyarakat. Seolah tidak mengenal strata kehidupan, konten politik selalu riuh dibahas berbagai kalangan, mulai dari tukang ojek sampai pegawai kantoran, dari warung kopi sampai mimbar akademisi. Terlebih, Indonesia kini memasuki tahun politik. Hoaks sudah pasti berseliweran mengisi ruang digital. Ketidak-ketatan seseorang dalam menyeleksi informasi bisa membuatnya terbawa hoaks atau bahkan ikut mendistribusikannya.

Mengapa Orang Suka Hoaks?
Cepatnya penyebaran berita palsu daripada berita valid mengindikasikan bahwa manusia suka dengan hoaks. Sifatnya yang menghibur dan penuh sensasi mampu mengisi ruang-ruang jiwa yang oleh Sigmund Freud disebut selalu mencari kesenangan (seek pleasure) dan menghindari penderitaan (avoid pain).

Melalui asas kesenangan (pleasure principle) ini kita dapat memahami bahwa hoaks tidak lain merupakan manifestasi kesenangan yang menerobos masuk dari alam fantasi menuju alam nyata. Bagi satu kubu, berita hoaks tentang lawan politiknya adalah upaya pemenuhan kesenangan yang tidak mereka dapat di kehidupan sebenarnya.

Kesenangan yang didapat melalui hoaks adalah substitusi dari kesenangan yang diterima norma.  Norma memiliki standar kesenangan yang sulit dicapai berupa prestasi. Karena prestasi sulit dicapai, maka manusia menggantinya dengan menjatuhkan lawan melalui berita hoaks. Dengan kata lain, hoaks adalah bentuk frustrasi dari ketidaktercapaian prestasi.

Berita hoaks juga disukai dan cepat menyebar karena adanya kecenderungan bersikap naif pada diri manusia yang dalam istilah psikologi sosial disebut naive realism. Ini adalah kecenderungan manusia untuk menganggap diri mereka sebagai pengamat dan pemikir obyektif, sehingga ketika mereka  mendengar atau melihat sesuatu yang selaras dengan keyakinannya, mereka condong memercayai dan bahkan ikut menyebarkannya.

Hal ini senada dengan penelitian Mackie, Worth, dan Asuncion (1990) yang mendapati bahwa manusia cenderung memercayai suatu berita jika itu dibuat oleh seseorang yang memiliki pandangan yang sama, daripada seseorang yang tidak. Selagi berita itu dianggap relevan dengan keyakinan kelompoknya, maka berita itu akan diterima secara kuat. Tentu hal ini menjadi sangat bias.

Selain faktor-faktor di atas, orang-orang juga menyukai berita hoaks dan cepat menyebarkannya karena biasanya berita hoaks menampilkan penjahat yang bisa disalahkan. Munculnya musuh bersama diyakini dapat meningkatkan kohesivitas kelompok dan lebih dekat pada tercapainya tujuan. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa peningkatan kohesivitas dengan memunculkan musuh bersama gejalanya mirip dengan gangguan psikologi yang disebut xenofobia.

Reynolds, Falgar, dan Vine (1987) mendefinisikan xenofobia sebagai kondisi psikologis yang penuh permusuhan terhadap orang di luar kelompok (outsiders). Efeknya dua: dapat memobilisasi orang untuk memperjuangkan kelompok mereka, sekaligus juga berfungsi untuk mengikat anggota kelompok itu sendiri.

Dalam konteks mikro, pertandingan sepakbola misalnya, xenofobia bisa jadi berguna untuk menyatukan tim, dengan agresivitas berlebih menjadi resikonya. Tetapi dalam lingkup makro seperti kehidupan bernegara, xenofobia akan sangat fatal karena dapat menimbulkan perpecahan dan hilangnya kerukunan antar warga negara. Atas dasar itu pula, strategi menggunakan hoaks sebagai senjata politik dalam arena pemilu menjadi sangat tidak bijak karena keutuhan bangsa menjadi taruhannya.

Dalam konteks demokrasi, pemilu seringkali disebut sebagai pesta terbesarnya. Fitrah pesta adalah bersenang-senang. Akan tetapi, kesenangan itu rasanya begitu utopis bagi rakyat karena sampai kini hoaks terus dipelihara dan dikembangbiakan. Alih-alih bersenang-senang, pesta demokrasi justru bising dengan hujatan. Mereka yang menyenangi pesta semacam ini tidak lain hanyalah mereka yang frustrasi dan fobia.


Pustaka:
Mackie, D. M., Worth, L. T., & Asuncion, A. G. (1990). Processing of persuasive in-group messages. Journal of Personality and Social Psychology, 58(5), 812-822.

Reynolds, V.,  Falger, V., and Vine, I. (1987). The sociobiology of ethnocentrism: Evolutionary dimensions of xenophobia, discrimination, racism, and nationalism. Athens: University of Georgia Press.

Vosoughi, S., Roy, D., Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359 (6380), pp. 1146-1151.

0 comments:

Post a Comment