Ada dua hal besar yang saya dapatkan dalam tiga bulan terakhir ini. Kedua hal ini telah membawa saya pada level kehidupan yang berbeda. Bukan dalam perkara materi, tapi level dalam wujud fase perjalanan hidup. Hal pertama yang saya dapatkan itu adalah pertambahan usia.
Apa istimewanya pertambahan usia? Ya, memang biasa saja. Saya juga biasanya tidak terlalu memikirkan. Satu hal yang membedakan dari pertambahan usia kali ini adalah karena saya harus berganti “kepala”. Jika mengacu pada usia Rasulullah shalallahu alaihi wasallam (dan umatnya), pertambahan usia ini memiliki makna bahwa saya telah melalui separuh kehidupan saya di dunia. Artinya tinggal separuh waktu lagi bagi saya untuk menyiapkan bekal pulang.
Apa yang sudah saya lakukan di paruh pertama sudah semestinya saya tafakuri agar kesalahan di masa itu tidak lagi terulang. Dan apa yang akan saya lakukan di paruh terakhir sudah seharusnya saya rencanakan agar kompas kehidupan selalu terarah sesuai dengan khittahnya.
Dan perjalanan menyiapkan bekal pulang di paruh terakhir kehidupan kini menjadi lebih semarak dengan bertambahnya satu anggota di armada saya. Pertambahan anggota ini sekaligus menjadi hal besar kedua yang saya peroleh di tiga bulan terakhir. Anggota ini sangat spesial karena berasal dari darah daging saya sendiri.
Ya, saya telah memiliki putra. Hampir sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 9 Februari 2019, anak pertama kami dilahirkan. Kelahirannya telah membuat saya resmi menjadi ayah, sebuah status yang menjadi penyempurna seorang pria.
Sayangnya sampai saat ini saya belum merasakan sensasi asli menjadi ayah karena saya masih berada di tengah gurun. Jangankan menggendong, melihat secara langsung pun belum. Beruntung saya hidup di zaman yang sudah mengenal teknologi video call. Sehingga saya bisa berinteraksi dengan si buah hati.
Penambahan status dari sekedar menjadi suami, kemudian menjadi ayah, tentu menghadirkan konsekuensi dan tanggung jawab baru. Kewajiban sebagai seorang ayah kini melekat pada saya. Baik buruknya anak, tergantung bagaimana didikan ayah dan ibunya sebagaimana perkataan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam haditsnya:
يولد المولود على الفطرة، فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Artinya: Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka ibu bapaknya yang menjadikannya yahudi atau nasrani atau majusi.
Sudah menjadi kewajiban bagi orangtua untuk menjaga anak tetap di atas fitrahnya. Dalam hal ini, fitrah tidak hanya diartikan sebagai makna teologis, yaitu menjadi manusia yang beriman kepada Allah. Disamping itu, orangtua juga berkewajiban menjaga fitrah karakternya sebagai seorang muslim sehingga dia tidak tumbuh dengan karakter-karakter Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana yang banyak dikisahkan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Sekarang ini kita mudah sekali menyaksikan bagaimana orangtua yang justru dengan bangga mengarahkan anaknya (entah disadari atau tidak) mengikuti kebiasaan orang-orang Yahudi atau Nasrani. Mulai dari hal-hal yang sederhana seperti cara berpakaian, gaya rambut, pemberian nama, hingga hal-hal yang sangat fundamental seperti pendidikan.
Saya masih tidak habis pikir mengapa ada orangtua (muslim) yang tega memasukkan anaknya ke sekolah yang jelas-jelas sekolah kristen di saat sekolah-sekolah Islam sangat mudah ditemui. Mungkin sebagian beralasan demi kualitas, kalaupun demikian apakah mereka tega menggadaikan aqidah anak demi mengejar kualitas? Bukankah sama saja menggadaikan akhirat demi dunia?
Ya Rabb, jadikan kami orangtua yang tidak durhaka kepada anak-anak kami. Ajarkan kami menjadi sebaik-baik orangtua bagi mereka.
#Riyadh
Maaf mas mau nanya. Mas di ksu ngambil jurusannya apa ya namanya?
ReplyDeleteJurusan 'Ilmu Nafs (Psikologi) mbak
DeleteDi ksu itu materi psikologinya lebih ke barat atau islam ya?
ReplyDeleteKalau ada islamnya apakah islam tasawuf, wahabi, atau yang lainnya?