February 8, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #6 : History of Prophets)


Kalau hari keempat sangat berkesan karena kekonyolannya, maka hari keenam sampai kedelapan bagi saya berkesan karena kualitas content-nya. Bisa dibilang ekspedisi saya ke Sinai merupakan petualangan yang paling berkelas selama saya di Mesir. Selama tiga hari dua malam itu saya disuguhkan pengalaman yang menakjubkan. Sebuah pengalaman yang bisa dibilang komplit karena memuaskan saya dari segi badaniyah maupun ruhiyah. 

Pada hari keenam sampai kedelapan itu saya ikut rombongan teman-teman Malaysia ke Sinai dan Dahab. Sebenarnya keikutsertaan saya itu semata untung-untungan karena saya mendaftar di detik-detik terakhir keberangkatan. Bahkan sebenarnya Sinai tidak masuk dalam list itinerary saya. Yah, walaupun saya tau Sinai sangat recommended untuk dikunjungi, tapi saya juga paham bahwa untuk kesana tidak mudah. Makanya ketika menyusun itinerary, saya prioritaskan Alexandria yang cenderung lebih gampang diakses.

Akan tetapi rencana berubah malam sebelum keberangkatan ke Alexandria. Saat itu Zaki memberi tahu saya bahwa ada rombongan kawan-kawan Selangor yang berangkat ke Sinai. Demi mendengar kabar tersebut, telinga saya langsung berdiri walau anggota tubuh lain sudah tidak bisa diajak kompromi akibat sakit dan lelah berkuda (masih aja diomongin itu kuda). Zaki akhirnya langsung mengontak panitianya dan menanyakan apakah saya bisa ikut atau tidak. Segala puji bagi Allah, ada seat yang masih available dan saya boleh ikut. Sinai I’m coming!!!

Biaya perjalanan ke Sinai 420 EGP per orang (setara Rp 294 ribu, kurs 1 EGP = Rp 700). Menurut saya biaya segitu termasuk murah karena sudah include transportasi, makan, hotel, snack, serta retribusi tempat wisata. Apalagi dalam perjalanan itu juga ada guide dari panitia yang menjelaskan tempat-tempat yang kami kunjungi. Yah, meski dengan bahasa Melayu, tapi masih lebih baik lah daripada bahasa ‘amiyah Mesir :p

Kami dijadwalkan berangkat ke Sinai dari asrama mahasiswa Selangor di Hay Asyir pukul tiga dini hari. Kalau dilihat waktunya, jam segitu masih pagi buta.  Kalau tidak dilihat pun masih tetap pagi buta. Ya namanya juga jam tiga dini hari. Mereka beralasan dengan berangkat sepagi itu kita akan dapat mengunjungi lebih banyak situs. Baiklah Malaysia, kini Indonesia menurut saja apa katamu.

Mengingat jarak kontrakan kami di Bab Al-Futuh cukup jauh dari Hay Asyir, serta menimbang keamanan dan keselamatan, maka kami menginap di sekretariat Keluarga Mahasiswa alumni Madrasah Aliyahnya Zaki di Hay Asyir. Oya, Zaki sendiri tidak ikut ke Sinai karena dia mau pulang ke Indonesia minggu depan. Jadi ada beberapa hal yang harus dipersiapkan. Alhasil, saya berangkat ke Sinai sendirian.

Mengingat tingkat kriminalitas di Hay Asyir saat itu sedang tinggi, maka Zaki dan temannya di sekre dengan baik hati mendampingi saya ke asrama Selangor dini hari itu. Saya melihat mereka saat itu membekali diri dengan “senjata” yang lumayan ekstrem. Mendapati hal demikian, saya jadi paham bahwa kriminalitas di sini tidak bisa dianggap remeh. Teman saya yang biasanya ramah, waktu itu membawa pisau dan temannya yang lain membawa tongkat besi (seperti linggis). Adapun saya hanya membawa pensil 2B, selayaknya orang akan menghadapi ujian.

Daerah Hay Asyir memang cenderung gelap. Kegelapan itu sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk berbuat kriminal. Yang bikin serem, pelaku kriminal itu tidak segan-segan melukai korbannya. Yang dilukai tentu saja bukan hati, melainkan fisik. Kamu harus catat itu. Bahkan Zaki bilang jam 22.00 tadi ada mahasiswa Indonesia yang dirampok di tengah jalan. Untung perampoknya bisa ditangkap dan mahasiswanya selamat.

Alhamdulillah perjalanan kami ke asrama Selangor juga diberi keselamatan. Ketika kami tiba, para peserta rihlah sudah mulai memasuki bis. Setelah lapor ke panitia dan membayar administrasinya dengan uang yang bukan Ringgit, juga bukan Rupiah, saya pun masuk ke dalam bis dan dua teman saya kembali ke sekretariat. Tinggallah saya diantara kawanan Malaysia. Indonesia dirubung Malaysia saudara-saudara. Tidakkah kalian takut kalau saya nanti diklaim sebagai warga negara mereka?

Saat itu saya duduk sendiri di kursi. Ya iyalah, masa pangku-pangkuan. Maksud saya, meski ada dua kursi, tapi cuma saya yang menempati. Duduk sendirian ini ada positif dan negatifnya. Positifnya space untuk kita jadi lebih luas. Negatifnya space untuk orang lain jadi lebih sempit, wkwk. Saya mengira mungkin mereka segan duduk di sebelah saya karena mungkin saat itu cuma saya yang mereka tidak kenal. Makhluk antah berantah dari Riyadh yang menyelinap dalam ikatan keluarga mahasiswa Selangor. Hidup Selangor!!!

Hari pertama ekspedisi Sinai dihabiskan untuk mengunjungi Terusan Suez, camp pertahanan Israel, mata air Nabi Musa, Maqom Nabi Sholih dan Nabi Harun, Golden Calf dan Wadi Arba’in. Berikut penjabarannya.

         Terusan Suez
Terusan Suez sebenarnya salah satu destinasi yang ada dalam itinerary saya. Saya ingin sekali datang ke tempat ini karena nama terusan ini sering sekali muncul di buku pelajaran sekolah. Saya bahkan masih ingat nama arsiteknya, yaitu Ferdinand de Lesseps, karena dulu dia pernah keluar di ujian SD. Di Google Maps saya lihat jarak Terusan Suez dari Kairo tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dalam dua jam dengan mengendarai mobil. Tapi saat itu rasanya lebih dari tiga jam kami baru sampai di sana. Ternyata jauh juga.

Well, sebenarnya kami tidak secara saklek singgah di sana. Kami hanya melewati terowongannya saja (biasa disebut terowongan Ahmad Hamdi). Terowongan ini dibangun tepat di bawah Terusan Suez dan merupakan penghubung antara Benua Afrika (Mesir) dan Asia (Semenanjung Sinai). Jadi ketika melintasi terowongan itu, kita sama saja sedang berada di bawah Suez dan sedang menyeberang ke Benua Asia. (Catatan : Semenanjung Sinai dulunya masuk dalam wilayah Israel, sebelum akhirnya direbut oleh Mesir). Ketika saya tanya salah seorang panitia, mengapa kita tidak mampir ke Terusan Suez, dia bilang tempat itu tertutup untuk umum karena merupakan pelabuhan yang sangat penting. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Betul betul betul.

Terusan Suez (sumber : Google)
         Camp Pertahanan Israel
Kami tiba di camp ini pukul tujuh pagi. Jam segitu sebenarnya sangat nikmat untuk ngopi, apalagi udara saat itu juga sangat dingin, tapi mengapa saat itu saya tidak ngopi ya? Oh iya, kan saya lagi plesir. By the way camp ini dulunya dipakai tentara Israel untuk mempertahankan Semenanjung Sinai dari serbuan musuh. Katanya sih aman, tapi saya yakin tempat itu tidak aman dari serbuan nyamuk.

Entah di tahun berapa (silahkan buka Google) Mesir berhasil merebut camp tersebut. Sekarang camp ini jadi destinasi wisata. Meski jadi tempat rekreasi, tempat ini bukanlah tempat yang lazim karena banyak tentara yang berjaga. Pemandu kami di camp tersebut juga seorang tentara. Sebenarnya ada banyak hal yang diterangkan beliau, tapi karena bahasa yang dipakai adalah ‘amiyah, mungkin hanya 10% saja yang saya pahami. Beruntung ada guide dari Selangor yang membantu kami menerjemahkannya. Hidup Selangor!

Camp pertahanan Israel (sumber : dokumentasi pribadi)
       Mata Air Nabi Musa
Selesai menelusuri camp Israel, bis kami bergerak menuju ‘Uyun Musa (Mata Air Nabi Musa). Asal kamu tau, bis itu tidak bergerak sendiri, melainkan ada supir yang mengendarai, yaitu orang Mesir asli. Tidak perlu saya beri tau namanya siapa, karena saya juga tidak tau. Jarak dari camp Israel menuju ‘Uyun Musa tidak terlalu jauh. Hanya dalam waktu kurang dari 20 menit kami sudah sampai di sana. Lokasi Uyun Musa berbatasan langsung dengan Terusan Suez.

Ingatkah kamu tentang kisah ‘Uyun Musa? Bagus kalau ingat. Ini saya tuliskan ayatnya di bawah.

وإذ استسقى موسى لقومه فقلنا اضرب بعصاك الحجر فانفجرت منه اثنتا عشرة عينا قد علم كل أناس مشربهم كلوا واشربوا من رزق الله ولا تعثوا في الأرض مفسدين

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing) Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (Q.S Al-Baqarah : 60)

Ya, jadi situs ini diyakini sebagai tempat dimana Nabi Musa memukulkan tongkatnya untuk memberi minum kaumnya. Ada dua belas titik mata air, tapi saat itu yang dapat kami temui hanya beberapa saja. Sebenarnya ada dua pendapat yang berlainan tentang lokasi ‘Uyun Musa. Pendapat pertama mengatakan lokasinya di sini. Sedangkan pendapat kedua bilang ‘Uyun Musa ada di Wadi Arba'in. Entah yang mana yang benar.

'Uyun Musa (mata air Nabi Musa) (sumber : dokumentasi pribadi)
       Maqam Nabi Shalih
Beranjak dari ‘Uyun Musa, kami menuju ke Maqam Nabi Shalih. Maqam ini, dan situs-situs yang kami kunjungi setelahnya berada di kota Saint Catherine, masih di Semenanjung Sinai juga. Jadi, Sinai itu merupakan nama provinsi yang terbagi menjadi dua, yaitu Provinsi Sinai Utara dan Provinsi Sinai Selatan. Situs-situs yang kami kunjungi semuanya berada di Sinai Selatan.

Maqam Nabi Shalih (bangunan di belakang warna putih) (sumber : dokumentasi pribadi)
By the way masih ingatkah kamu dengan kisah Nabi Shalih? Beliau adalah salah satu dari empat nabi yang berasal dari bangsa Arab. Ketiga nabi lainnya adalah Nabi Syu’aib, Nabi Hud, dan Nabi Muhammad. Nabi Shalih terkenal dengan kisah untanya. Unta yang keluar dari batu itu merupakan muukjizat Nabi Shalih yang didustakan oleh kaumnya sehingga mereka diazab oleh Allah. Kota Nabi Shalih diyakini berada di Mada’in Shalih yang letaknya berada di utara Madinah, Arab Saudi.

Makam yang katanya adalah Nabi Shalih, allahua'lam (sumber : dokumentasi pribadi)
Banyak orang meyakini bahwa Maqam Nabi Shalih ini adalah tempat dimakamkannya Nabi Shalih, tapi saya sendiri meragukan. Karena maqam (مقام) dalam Bahasa Arab artinya tempat berdiri, bukan makam. Sama seperti Maqam Ibrahim yang ada di Ka’bah. Para ulama sepakat bahwa itu bukanlah tempat dimakamkannya Nabi Ibrahim, melainkan tempat berdirinya beliau ketika membangun Ka’bah. Akan tetapi Maqam Nabi Shalih yang kami kunjungi itu bentuknya memang pemakaman. Ada banyak sekali makam di sana. Di antara makam-makam itu, ada satu makam yang terjaga dan dibangun bangunan di atasnya. Di tempat itulah diyakini Nabi Shalih dimakamkan. Menurut kisah, Nabi Shalih dan orang-orang yang beriman memang hijrah ke tempat lain sebelum kaumnya ditimpa azab. Mungkinkah beliau hijrah sampai ke Sinai lalu wafat di situ? Wallahua’lam.

Pemakaman di sekitar Maqam Nabi Shalih (sumber : dokumentasi pribadi)
       Maqam Nabi Harun dan Golden Calf
Lokasi maqam Nabi Harun tidak terlalu jauh dari Maqam Nabi Shalih. Mungkin sekitar sepuluh menit bis kami sudah sampai di lokasi ini. Sebagaimana saya ragu tentang pemakaman Nabi Shalih, saya juga menyangsikan bahwa situs yang kami kunjungi setelahnya adalah tempat dikebumikannya Nabi Harun. Karena lagi-lagi kata yang tertulis di papan penunjuk adalah maqam (مقام). Kalau yang dimaksud maqam di sini adalah tempat tinggal, mungkin itu lebih masuk akal. Karena daerah ini memang wilayah dakwahnya Nabi Musa, yang menjadi partner dakwah Nabi Harun.
 
Maqam Nabi Harun (bangunan di belakang warna putih) (sumber : dokumentasi pribadi)
Akan tetapi, lagi-lagi saya melihat banyak makam di daerah ini. Sehingga seolah-olah daerah itu memang khusus pemakaman. Seperti halnya Nabi Shalih yang diperbagus makamnya, di situs ini juga ada makam yang diyakini sebagai makam Nabi Harun, yang diperbagus bentuknya.
 
Pemakaman di Maqam Nabi Harun (sumber : dokumentasi pribadi)
Masih di lokasi yang sama, di sana terdapat Golden Calf, yaitu patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri untuk disembah oleh Bani Israil. Anehnya, situs yang disebut Golden Calf ini wujudnya tidak seperti yang saya bayangkan. Patung tersebut terbuat dari salah satu bagian gunung yang dipahat menyerupai sapi. Tidak seperti patung yang lazim kita lihat zaman sekarang. Wallahua’lam apakah itu memang patung yang dibuat Samiri atau bukan. Tapi kalau melihat posisinya yang berada di ketinggian rasanya jadi masuk akal kalau patung ini adalah sesembahan karena dengan posisi itu, patung tersebut jadi sangat strategis untuk disembah.

Golden Calf, patung sapi yang diyakini buatan Samiri (sumber : dokumentasi pribadi)
       Wadi Arba’in
Wadi dalam Bahasa Arab berarti lembah. Situs ini diyakini sebagai tempat disesatkannya Bani Israil selama 40 tahun karena keengganannya menuruti perintah Allah untuk masuk ke Bumi Palestina. Selama kurun waktu tersebut, mereka berputar-putar di lembah ini tanpa tahu jalan keluar. Di sini pula terdapat ‘Uyun Musa versi kedua seperti yang saya singgung di atas. Kalau dilihat dari bentuknya, ‘Uyun Musa versi kedua inilah yang paling masuk akal karena bentuknya yang terbuat dari batu yang bercelah-celah. Sangat mirip dengan deskripsi Al-Qur’an.

12 mata air Nabi Musa (sumber : dokumentasi pribadi)
Untuk sampai ke lokasi ‘Uyun Musa dibutuhkan waktu kurang lebih 45 menit berjalan kaki menyusuri lembah dari tempat parkir bis. Cukup jauh memang. Tapi saya rasa sangat senilai dengan pemandangan yang kami dapati selama di perjalanan. Dalam perjalanan menyusuri lembah itu, sepanjang mata memandang hanya terlihat gunung batu kecoklatan dipadu dengan langit biru yang bersih benderang tanpa awan. Sangat indah!

Jalan menuju Wadi 'Arbain (sumber : dokumentasi pribadi)
Adapun Wadi Arba'in letaknya lebih jauh lagi dari ‘Uyun Musa. Kata guide, kami masih harus berjalan 30 menit lagi untuk sampai ke sana. Mengingat saat itu senja sudah tiba, maka kami langsung balik kanan menuju bis. Kasian banget Si Senja ditinggal balik. Toh guide bilang Wadi Arba'in sama saja seperti lembah-lembah yang kami lalui dalam perjalanan.

Jalan menuju Wadi 'Arbain (sumber : dokumentasi pribadi)
Setelah menjamak takhir sholat zuhur dan ashar di masjid terdekat, kami langsung menuju hotel untuk check in. Tiba di hotel bertepatan dengan adzan maghrib. Kami masih memiliki waktu sekitar enam jam untuk istirahat sebelum agenda utama dilaksanakan, yaitu mendaki Sinai. Yes!

#Asrama Mahasiswa KSU

0 comments:

Post a Comment