February 7, 2017

Mendengar dan Mendengarkan

Setelah jeda dua pekan, perkuliahan kembali dimulai. Beranjak dari fase malas-malasan menuju rutinitas selalu tidak mudah. Butuh usaha ekstra untuk memanaskan “mesin”. Ditambah lagi suhu di Riyadh belakangan ini turun ke titik terendah, hingga minus dua derajat. Dengan suhu segitu, jangankan berangkat kuliah, mengangkat kaki untuk sarapan di mat’am (kantin) kampus saja rasanya seperti mengangkat palu Thor. Untung dalam kisah ini saya yang jadi Thor-nya, hehe. 

Sebagaimana biasa, kuliah di minggu pertama selalu dihadiri oleh hanya segelintir mahasiswa. Mungkin jumlahnya hanya seperempat. Para ustadz juga sebenarnya masih belum siap dengan materi kuliah. Biasanya minggu pertama memang hanya digunakan untuk ta’aruf, baik ta’aruf antara dosen dengan mahasiswa maupun mahasiswa dengan mata kuliahnya.
 
Sumber : islamdownload.net
Hari ini saya baru saja menjalani ta’aruf yang sangat berkesan dengan mata kuliah istima’ (listening). Dosen istima’ kali ini adalah orang Mesir, nama beliau Sya’ban (bisa jadi beliau lahir di bulan Rajab). Jujur sebenarnya saya agak khawatir diajar oleh orang Mesir karena mereka punya lahjah yang sama sekali berbeda dengan orang Saudi, apalagi jika mereka bicara dengan bahasa ‘amiyah (pasar) mereka. Duh, sebagai pemula saya sangat sulit memahaminya. Kemarin ketika rihlah ke Mesir juga saya seringkali garuk-garuk kepala karena roaming dengan bahasa mereka.

Akan tetapi dosen saya ini alhamdulillah hampir selalu memakai bahasa fushah (resmi). Setidaknya untuk pertemuan pertama tadi, hehe. Yah, meski terkadang beliau keseleo dan mengucapkan bahasa ’amiyah, tapi secara umum masih dapat dimengerti. Dan tadi beliau membawa pengantar mata kuliah istima’ dengan sangat baik.

Setelah kami saling ta’aruf, beliau membuka diskusi dengan melempar pertanyaan kepada kami, apa bedanya sama’a (سمع), istima’ (استمع), dan inshat (انصت)? Dua kata pertama telah kami pahami dan memang sering disampaikan oleh dosen istima’ sebelumnya, tapi kata terakhir masih asing di telinga kami. Karena tidak ada yang bisa menjawab kata terakhir, akhirnya beliau menjelaskan untuk kami.

“Sama’a artinya mendengar tanpa diniatkan dan tanpa tujuan. Misal kalian mendengar suara burung, suara mobil yang melintas, atau suara air di toilet. Kalian mendengar suara itu karena suara itu sampai ke telinga kalian, padahal kalian tidak berniat mendengarkannya” beliau memulai  penjelasannya. “Sedangkan istima’ artinya mendengarkan dengan kehati-hatian dan dengan tujuan. Misal kalian mendengarkan murottal Al-Qur’an, mendengarkan perkataan teman, mendengarkan penjelasan saya, dan sebagainya. Adapun inshat artinya mirip dengan istima’, bedanya derajat inshat lebih tinggi lagi, selain penuh kehati-hatian dan memiliki tujuan yang jelas, kalian juga bersungguh-sungguh, fokus dan mengambil faedah darinya” terang beliau.

Beliau lalu membacakan satu ayat Al-Qur’an untuk kami. Satu hal yang saya senang dari dosen-dosen di Arab adalah mereka begitu fluent dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Seringkali mereka mengambil contoh dari Al-Qur’an untuk menjelaskan satu konsep sehingga kami mudah memahaminya. Ini benar-benar membuat saya iri. Adapun ayat Al-Qur’an yang beliau baca pada kesempatan itu adalah ayat 204 dari surat Al-A’raf yang berbunyi:

وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” 

“Pada ayat tersebut Allah memerintahkan kepada kita agar istima’ dan inshat ketika Al-Qur’an dibacakan” syarah beliau. “Perhatikan bahwa Allah tidak menggunakan kata isma’. Artinya Allah tidak ingin kita mendengar Al-Qur’an sambil lalu saja, melainkan harus dengan fokus dan perhatian yang penuh. Agar apa? La’allakum turhamun. Agar kalian mendapat rahmat” Masya Allah…

“Akan tetapi sayangnya umat sekarang ini tidak bisa melakukan inshat sebagaimana para sahabat melakukannya. Para sahabat dahulu bisa melakukan inshat dengan maksimal karena mereka memiliki kepedulian yang sangat tinggi dengan agama ini” beliau melanjutkan penjelasannya. “Selain itu, satu hal yang paling penting mengapa para sahabat bisa optimal dalam ber-inshat adalah karena Al-Qur’an hadir di sekitar mereka dan mewujud dalam rupa manusia, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ingatkah kalian hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak Al-Qur’an?” tanya beliau yang kemudian hanya dijawab anggukan oleh kami karena telah terhipnotis pemaparannya. “Kehadiran Rasulullah itulah yang menjadi salah satu wasilah mengapa para sahabat mudah ber-inshat. Beliau membanjiri kehidupan para sahabat dengan isi kandungan Al-Qur’an,” tuntasnya.

Masya Allah. Dapat ilmu lagi. Memang benar bahwa sebaik-baik cara untuk memahami Al-Qur’an adalah dengan memahami bahasanya. Mengingat Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab, maka sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk mempelajarinya, sehingga kita benar-benar bisa merasakan kemukjizatan Al-Qur’an. Tidak kah kita ingin terperangah sebagaimana Bani Israil terperangah melihat mukjizat tongkat Nabi Musa membelah lautan? 

Allahummarhamni bil Qur’an…

#Senja Asrama Mahasiswa KSU 

0 comments:

Post a Comment