February 9, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #7 : Hiking to Sinai)


Banyak yang bilang belum sah ke Mesir jika belum mengunjungi piramida. Yah, sah-sah saja orang berpendapat seperti itu, apalagi dunia juga memang mengenal Mesir karena piramidanya. Tapi kalau ditanya selera pribadi, menurut saya bukan piramida yang harusnya jadi patokan, tapi Sinai. Rugi rasanya kalau ke Mesir tanpa mengunjungi Sinai.

Sebagai traveler yang lebih menyukai rupa alam (nature) daripada rupa bangunan, Sinai begitu memanjakan saya dengan panorama yang memukau. Deretan gunung batu kecoklatan yang beratapkan langit biru yang bersih benderang tanpa awan membuat lisan saya tak hentinya mengucap Masya Allah sebagai bentuk pengagungan kepada-Nya. Belum lagi pesona sunrise yang saya temui di puncaknya, semakin membuat hati ini bergetar. Selain itu (dan ini yang paling penting), sebagai muslim, Sinai juga memiliki kredit tersendiri bagi saya karena menyimpan sejuta kisah yang ada dalam Al-Qur’an. Dan kisah yang paling melegenda tentu saja kisah Musa ketika bertemu Allah dan berdialog dengan-Nya untuk kemudian menerima risalah kenabian. Jadi, kunjungan ke Sinai tak ubahnya napak tilas kehidupan para anbiya yang hidup ribuan tahun sebelumnya.

Meski menyimpan banyak keindahan, tapi Sinai bukanlah tujuan favorit para pelancong asing. Hal itu tidak saya pungkiri mengingat jarak Sinai dari ibukota Mesir, Kairo, cukup jauh. Lebih dari 400 km. Ditambah lagi Sinai merupakan area terbatas (restricted area) sehingga tidak sembarangan orang bisa keluar masuk. Untuk menuju ke sana, ada banyak sekali check point yang harus dilewati dan di setiap check point itu ada penjagaan ketat dari tentara Mesir. Bahkan kami pun harus menyetorkan identitas kami sebelum berangkat.

Mengalami ketatnya penjagaan itu, saya jadi teringat dengan ketatnya check point yang harus dilalui untuk menuju Mekkah dan Madinah. Kira-kira sama ketatnya atau mungkin lebih ketat. Kalau Mekkah dan Madinah memiliki penjagaan yang ketat karena merupakan tanah haram yang tidak boleh dimasuki oleh non muslim, maka Sinai ketat karena menjadi wilayah “sensitif” yang diperebutkan. Dulu wilayah itu pernah diperebutkan oleh Mesir, Israel, dan Perancis.

Hal lain yang membuat Sinai kurang difavoritkan adalah karena tidak adanya transportasi umum menuju kesana. Beda dengan kota-kota lain yang dapat ditempuh dengan transportasi umum seperti bis, kereta atau pesawat. Untuk menuju Sinai, kita harus ikut bersama rombongan. So, it’s almost impossible for solo traveller to reach it. Maksud saya, kalau kamu memang benar-benar ingin backpacker-an sendiri ke sana agaknya sulit, tapi kalau kamu ikut cara saya yang menumpang bersama rombongan lain, Insya Allah masih bisa. Asal rombongannya mau aja nerima kamu, hehe.

Kami benar-benar mulai melakukan pendakian ke puncak Sinai jam 02.00 dini hari. Yah, sebenarnya kami sudah mulai berkumpul di lobby hotel sejak jam 00.30, tapi karena ada banyak yang harus dipersiapkan, maka pendakian baru bisa dimulai satu jam setengahnya. Apalagi saat itu adalah puncak musim dingin, kami juga tidak mau gegabah agar tidak kena hipotermia.

Suhu di basecamp saat itu turun sampai nol derajat. Entah suhu di puncak minus berapa. Yang pasti saya harus melapisi pakaian saya sampai lima agar tidak kedinginan, mulai dari thermal coat, kaos, sweater sampai jaket sebagai lapisan terluar. Saya juga melilitkan kain sarung saya di leher agar terasa hangat. Dan syal saya lilitkan di telinga dan wajah agar tidak mati rasa. Tidak lupa dua lapis sarung tangan dan satu lapis sarung kaki wol tebal rasa keju (ngomongin lapis, jadi inget kue, haha).

Dengan pakaian tempur yang seperti itu, alhamdulillah saya tidak merasakan kedinginan yang berarti, kecuali bagian telapak tangan dan kaki. Kedua bagian itu saya rasakan mati rasa di tengah pendakian. Bahkan untuk mengikat tali sepatu saja susahnya minta ampun karena jemari sulit digerakkan akibat kedinginan.

Pintu masuk jalur pendakian dijaga ketat oleh tentara. Sebelum mendaki, lagi-lagi kami diperiksa oleh mereka. Pemeriksaan ini cukup ketat, macam pemeriksaan di bandara saja. Tas dan seluruh badan kami semuanya diperiksa. Setelah semuanya aman, barulah kami diperbolehkan naik menuju puncak. Pendakian menuju puncak Sinai tidak boleh dilakukan sendiri, harus ada warga lokal yang mendampingi sebagai guide. Entah biaya sewa guide-nya berapa.

Gunung Sinai memiliki ketinggian 2285 m. Jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada di Jawa, gunung ini masih kalah tinggi. Track pendakian Sinai relatif mudah karena jalannya lumayan lebar, tapi semakin ke atas, jalan itu semakin sempit. Kalau bagian bawah bisa dilalui banyak orang, bagian atas hanya bisa dilalui orang per orang.

Ada sepuluh pos yang harus kami lalui untuk sampai ke puncak. Tiap-tiap posnya ada warung yang berjualan makanan dan minuman. Bahkan Pop Mie juga ada di sini, haha. Luar biasa betul ekspansi Indomie. Satu hal yang menarik adalah, di sepanjang jalur pendakian, mulai dari pintu masuk hingga pos delapan kalau tidak salah, ada penyewaan unta. Unta itu disewakan bagi para turis yang tidak kuat mendaki atau tidak mau capek-capek mendaki. Saya tidak tanya harga sewanya berapa karena sama sekali tidak tertarik untuk menyewa (dimana petualangannya, hah?), tapi kata teman saya harganya sekitar 150 EGP. Saya membatin, “Luar biasa sekali unta ini. Hewan yang sangat tangguh.”

Unta yang siap mengantarkan wisatawan hingga ke puncak (sumber : dokumentasi pribadi)
Kami tiba di puncak Sinai pukul 05.00 subuh. Artinya, hanya butuh tiga jam untuk mendaki dari bawah sampai puncak. Di puncak Sinai ada masjid dan gereja yang masih dapat dipakai. Oya, Sinai memang menjadi salah satu tujuan wisasta umat dari agama-agama samawi (Islam, Nasrani, dan Yahudi) karena kisah Musa yang ada di kitab suci mereka. Awalnya saya ingin masuk ke masjid karena saya benar-benar kedinginan di luar, tapi rupanya masjid sudah penuh oleh pendaki lain. Jadi tidak ada tempat untuk kami istirahat. Untungnya selang beberapa waktu, fajar terbit (ciyee fajar), sehingga kami dapat merasakan kehangatannya (ehem).

Pesona sunrise di puncak Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)

Sunrise di puncak Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)

Setelah sholat Subuh, saya mulai menikmati indahnya panorama sunrise di puncak Sinai. Ada banyak sekali wisatawan yang ingin mengabadikan momen tersebut, sehingga sulit bagi saya untuk dapat spot terbaik. Yah, walau tidak dapat tempat yang bagus untuk merekam dengan kamera, tapi mata ini masih bisa merekam peristiwa indah itu. Puas menikmati sunrise, kami lalu turun dari puncak.

Panorama gunung batu dari puncak SInai (sumber : dokumentasi pribadi)



Kalau malam saya hanya bisa memandang ke arah cahaya senter yang saya bawa, maka ketika turun itu saya bisa bebas mengedarkan pandangan kemanapun karena cahaya matahari sangat terik. Meski terik, tapi tetap dingin. Dan ketika perjalanan turun itulah saya semakin mengagumi keindahan Sinai. Sebuah pemandangan yang tidak akan bisa saya temui di Indonesia. Walau Indonesia juga tidak kalah indahnya, tapi Sinai memiliki tipe keindahannya sendiri. Saya jadi merasa sangat beruntung bisa kesini. Alhamdulillah.


Pemandangan dari puncak Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)
Gunung-gunung batu di sekitar Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)
Perjalanan turun dari puncak hanya memakan waktu kurang dari dua jam. Kalau saya tidak banyak berhenti untuk mengambil gambar, mungkin waktu yang diperlukan lebih singkat lagi. Di perjalanan turun saya melihat ada batu bertuliskan Elijah’s Basin. Saya tidak tau apa maksudnya. Teman saya bilang itu adalah bekas perkampungan Nabi Ilyas. Tapi ketika saya coba browsing di Google, itu adalah kapelnya Nabi Ilyas. Wallahua’lam.

Elijah's Basin di Sinai (sumber : Google)


Begitu semua anggota kelompok terkumpul di bawah (karena sebelumnya kami semua terpisah), kami langsung kembali ke hotel. Tidak ada waktu sedikit pun untuk istirahat di hotel, bahkan untuk sekedar mandi, karena kami harus langsung check out dan berangkat lagi menuju Dahab.

#Asrama Mahasiswa KSU

0 comments:

Post a Comment