February 5, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #4 : Balada Kuda Piramida)


Jika dilihat dari kekonyolannya, mungkin hari keempat ini adalah hari yang paling berkesan bagi saya. Bagaimana tidak, seluruh komponen diri saya serasa tereksploitasi. Mulai dari bagian jasmani, dari ujung rambut sampai ujung kaki, luar biasa lelahnya. Lalu menjalar ke bagian ruhani dimana emosi saya laksana roller coaster yang naik turun tak beraturan. Semua jenis emosi rasanya mewujud di hari keempat itu. Ya marah. Ya jengkel. Ya kesal. Ya sewot. Tapi herannya saya juga banyak tertawa. Apalagi kalau mengenang kejadian itu sekarang.

Memangnya ada kejadian apa sih?

Cerita bermula dari obrolan di pagi hari antara saya dengan Zaki, teman saya yang mahasiswa Al-Azhar itu. Saya bilang ke dia, “Zak, antum hari ini ada urusan kan? Antum gak usah maksa nemenin saya. Nanti saya mau ke Piramid Giza. Kemarin saya lihat ada jalur metronya. Insya Allah saya bisa pergi sendiri.” Saya tau hari itu memang Zaki ada urusan di kampusnya dan saya juga tidak enak sudah terlalu sering merepotkan dia.

“Jangan Jar! Nanti antum nyasar. Lagipula bahaya kalau antum pergi sendiri. Saya hari ini memang ada urusan, tapi coba nanti saya tanya adek-adek, siapa tau mereka bisa menemani” jawab Zaki. Oya, di kontrakan itu ada 3 orang mahasiswa lain selain Zaki. Semuanya adik kelas Zaki dan mereka semua (termasuk Zaki) dulunya sekolah di Madrasah Aliyah yang sama di Padang (mereka semua orang Minang tulen).

Singkat cerita, ketiga junior Zaki itu bersedia menemani saya. Mereka pun katanya penasaran ingin merasakan pengalaman naik kuda di sana. Akhirnya saya tidak bisa mengelak lagi dan bertualang bersama tiga anak muda itu. Saya juga masih muda sih :p
Berkuda menuju piramida (sumber : dok. pribadi)
Seperti biasa, kami menumpang metro untuk menuju Giza. By the way, dari buku yang saya baca, ternyata Giza sudah beda provinsi sama Kairo lho. Untuk menuju Giza, kami hanya perlu satu kali ganti metro (saya lupa nama stasiun tempat pergantiannya). Jaraknya lumayan jauh, mungkin memakan waktu sekitar 20 menit. Dari stasiun metro, ternyata kami harus naik angkutan umum lagi. Ada banyak angkutan umum ke Piramida, seperti bis (kecil dan besar), tramco (semacam elf), dan mobil kecil (semacam Carry). Saat itu kami pilih naik tramco. Tarifnya 2 EGP per orang (sekitar Rp 1400, dengan kurs 1 EGP = Rp 700).

Jarak dari stasiun menuju Piramida Giza ternyata masih lumayan jauh. Mungkin lebih dari setengah jam kami baru sampai di lokasi. Lokasi yang saya maksud di sini adalah tempat berhentinya tramco, karena dari situ kami masih harus jalan kaki beberapa ratus meter menuju pintu masuk piramida. Di jalan menuju pintu masuk itu salah seorang dari junior Zaki bilang, “Lebih baik kita masuk lewat pintu belakang, Bang. Karena dengan begitu kita akan lansung lihat sphinx. Jadi gak perlu capek muter-muter”, terangnya kepada saya dengan berapi-api. Dia pun menuntun kami menuju pintu belakang yang dimaksud. Untuk menuju ke sana, ternyata kami harus melalui jalan kampung. “Lewat jalan kampung lebih aman karena di jalan besar banyak penipu”, peringatnya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rupanya di sinilah kami bertemu dengan tukang kuda penipu yang dikhawatirkan.

Ketika kami sedang berjalan menuju pintu masuk piramida, kami didatangi oleh seorang pemuda Mesir. Dia mengaku penduduk lokal di situ dan bersedia menyewakan kudanya dengan harga yang murah. Saat itu dia menawarkan 50 EGP per orang untuk tarif naik kuda dan sudah include tiket masuk. Saya sebenarnya sudah menaruh curiga di situ karena bagaimana mungkin kuda mereka disewakan segitu murahnya, sedang tiket masuknya saja 35 EGP (kata juniornya Zaki). Tapi pemuda itu rupanya sangat lihai dan gigih memengaruhi kami sehingga kami akhirnya sepakat juga.

Setelah izin menunaikan sholat Zuhur, kami melihat sudah ada 5 kuda yang disiapkan di depan musholla. Empat untuk kami, dan satu lagi untuk guide. Jadi masing-masing dari kami menaiki kudanya sendiri-sendiri. Awalnya saya kira ini seperti kuda wisata di puncak Bogor, yang jalannya dituntun oleh si empunya kuda, tapi ternyata tidak. Kami disuruh mengendalikan kuda kami sendiri. Adapun guide mengarahkan kami dari belakang dengan menunggang kudanya. Saya tidak bisa membayangkan kalau kuda yang saya naiki liar, apa yang bisa guide lakukan? Lha wong dia ada di kuda berlainan kok. Tapi saya pikir, dengan harga yang hanya 50 EGP, kesempatan berkuda yang seperti ini akan sangat langka didapat. Maka kami pun menjadi bernafsu untuk segera naik.

Ketika kami sudah naik kuda, kami lalu dibawa ke sebuah tempat. Di sinilah pemuda Mesir tadi mulai berulah. Harga sewa kuda 50 EGP yang sudah disepakati di awal tiba-tiba diubah sepihak. Dia bilang harga 50 EGP itu hanya sampai depan pintu masuk saja, jadi kami diminta menambah ongkos agar bisa naik kuda dengan rute yang lebih jauh. Tidak tanggung-tanggung, dia mematok harga 3 kali lipatnya, yaitu 150 EGP per orang! Edan!

Karena sudah tidak beres, akhirnya saya bilang ke junior Zaki “Sudah tidak apa, kita bayar 50 EGP saja sampai pintu masuk. Khawatirnya nanti dia berulah dan minta tambahan lagi kalau kita turuti.” Tapi rupanya mereka saat itu sudah kadung ngidam ingin naik kuda. Akhirnya mereka mulai tawar menawar. Selagi tawar menawar itu, kami dikondisikan untuk tetap berada di atas kuda sehingga mau tidak mau harus tercapai kesepakatan. Pada akhirnya, disetujuilah harga 100 EGP oleh semua pihak, yang berarti dua kali itifaq awal.

Tukang kuda deal. Para junior deal. Saya pun mau tidak mau ikut deal.

Dan pengalaman naik kuda itupun tidak akan saya lupakan seumur hidup saya.

Pada awalnya, sebenarnya kami enjoy-enjoy saja dan bahkan menikmati kegiatan berkuda itu karena saat itu kuda kami hanya berjalan santai. Akan tetapi selang beberapa puluh meter, si guide kuda mulai berulah. Dia pecut kudanya hingga berlari dengan langkah kecil-kecil yang kemudian diikuti oleh kuda-kuda kami. Jadi, kuda-kuda kami seolah-olah sudah terprogram untuk mengikuti kuda si guide. Demi Allah, lari kecil-kecil itu adalah momen yang paling menyiksa dari kegiatan berkuda waktu itu. Ketika kuda berlari-lari kecil, saya merasa bagian pinggang ke bawah seperti terpisah dengan bagian pinggang ke atas karena kami terpantul-pantul di atas pelana. Saya merasakan sakit yang menyiksa di pinggang dan bokong saya, karena pelananya juga keras. Ditambah lagi saya membawa ransel yang berisi penuh dengan makanan dan minuman. Jadi ketika saya terpantul-pantul di atas pelana, tas saya juga ikut terpantul. Terasa berat di pundak, sakit di pinggang.

Kenapa tidak minta distop saja?

Disitulah kurang ajarnya si guide kuda. Guide yang masih muda belia itu (saya taksir umurnya masih 15 an), justru semakin semangat mengerjai kami ketika kami minta stop atau dipelankan. Saat kami bilang stop atau swaya (pelan-pelan), maka saat itu pula dia memecut kudanya sehingga kuda tetap berlari. Saya sendiri berkali-kali meminta agar guide memelankan kuda, bagai anak kecil merengek minta ikut kondangan bersama ibunya. Tapi rengekan tinggal rengekan. Hanya getaran suara yang merambat ke telinga si guide tanpa diproses oleh otaknya. Atau mungkin diproses tapi direspon dengan respon yang salah karena nyatanya dia tetap tidak mau memelankan kudanya.

Saya sendiri sebenarnya sempat kesal dan marah kepada si guide. Apalagi kalau dia sudah teriak “Syiiih….” dengan cara dan intonasinya yang khas sambil memecut kudanya. Karena begitu dia menyebut kata sakti itu, kuda akan berlari kecil-kecil. Menjengkelkan sekali. Kalau saya spiderman, ingin rasanya saya tembakan jaring laba-laba untuk menyumbat mulutnya. Saya jengkel bukan karena takut naik kudanya, tapi karena sakit yang saya rasakan itu benar-benar menyiksa, serasa mau copot pinggang ini. Sakitnya baru hilang ketika kuda berjalan santai atau justru lari dengan kecepatan penuh. Saya juga heran, mengapa ketika kuda lari dengan kecepatan penuh justru tidak terasa sakit? Saya malah menikmati ketika kuda lari dengan kecepatan penuh. Tampak heroik sekali rasanya, haha.

Saat itu saya beruntung dapat kuda yang cenderung jinak dan mudah diarahkan. Ada dua teman saya yang kudanya bebal, sulit diarahkan. Ketika kuda lain belok ke kanan, dia malah lurus. Ketika kami lurus dia malah yoga *halah*. Si guide jadi sewot sendiri karena tidak jarang kuda yang nakal itu pergi jauh meninggalkan kelompoknya. Saya justru malah tertawa sendiri ketika guide teriak kepada teman saya yang kudanya nakal itu, kira-kira begini kalau dibahasa Indonesiakan, “Woy bocah, elu mau kemana? Jalannya kesini.” dengan ekspresinya yang kesal. Kadang dia juga curhat, “Temen ente parah banget sih?” demi melihat kelakuan teman saya dan kudanya yang semakin menjauh. Teman saya sebenarnya sudah berusaha mengarahkan kudanya agar kembali ke kelompok, tapi bukannya patuh, si kuda malah cuek bebek melanjutkan perjalanannya tanpa memedulikan perintah tuannya.  Di saat seperti ini, biasanya si guide akan memecut kudanya untuk menyusul kuda yang nakal itu sambil bersungut-sungut. “Itulah balasanmu anak muda” batin saya sambil tertawa puas. Misi balas dendam telah dituntaskan oleh kudanya sendiri, bahahaha.

Durasi kami naik kuda cukup lama. Kalau ditotal mungkin lebih dari dua jam karena memang jalur yang kami tempuh juga sangat jauh. Bahkan kami harus melintasi gurun pula. Dengan durasi yang lama itu, saya melihat kawan-kawan saya (atau mungkin juga saya) sudah mulai terbiasa berkuda. Bukan berarti sudah tidak merasakan sakit ya. Sakitnya masih terasa, tapi maksudnya cara kami memperlakukan kuda sudah lebih “professional”. Makanya tidak jarang saya mendengar teman saya berkata, “tsssah, yasar…!!! yasar…!!!” untuk mengarahkan kuda ke arah kiri (yasar = kiri). Saya tergelak melihat perilaku teman saya. Mentang-mentang itu kudanya orang Arab, terus dia pikir dengan dia menggunakan Bahasa Arab, si kuda jadi paham. Saya tidak bisa membayangkan kalau kudanya malah ngomong, “na’am… na’am…”

Di tengah gurun, ketika si guide sedang mengejar kuda teman saya yang nakal, tiba-tiba kuda saya ambruk menggelepar. Saya kaget dan buru-buru menghindari kuda saya, khawatir ada hal-hal yang membahayakan. Saya kira kuda itu mati, karena setelah menggelepar, dia diam saja. Selang beberapa waktu, giliran kuda teman saya yang menggelepar. Jadilah mereka menggelepar berjamaah. Kami bingung harus berbuat apa. Sedangkan si guide sedang mengejar kuda yang jaraknya lumayan jauh. Tapi untungnya, setelah beberapa saat kuda saya bangun lagi. Lalu disusul kuda teman saya. Kalau saya masih untung, begitu kuda saya bangun lagi, dia bisa langsung saya naiki. Sedangkan teman saya, begitu kudanya bangun lagi, si kuda malah dengan acuhnya pergi meninggalkan teman saya. Jadilah kami menonton pertunjukan gratis: anak muda mengejar kuda.

Selang beberapa waktu, tibalah kami di tempat tujuan. Kami sangat bersyukur karena kami terlepas dari siksaan kuda yang panjang. Tapi rupanya tempat tujuan itu hanya persinggahan karena kami harus kembali ke tempat semula dengan berkuda lagi. Ya Allah…

Sebagaimana saya katakan di awal, pengalaman ini sangat berkesan dari segi kekonyolannya. Juga indah untuk dikenang. Tapi meski indah, jangan harap saya mau mengulang pengalaman itu lagi. Kalau disuruh mengulang, lebih baik saya yang menggendong kudanya daripada saya harus tersiksa seperti itu!

#Asrama Mahasiswa KSU

Related Posts:

2 comments:

  1. Hahahaha pengalaman yg sangat sulit untuk dilupakan :D

    ReplyDelete
  2. whuahahahhaha..
    makasih sharing ceritanya mas, sungguh mengesankan, bhuahahahhahaha

    ReplyDelete