Jika dilihat dari kekonyolannya,
mungkin hari keempat ini adalah hari yang paling berkesan bagi saya. Bagaimana
tidak, seluruh komponen diri saya serasa tereksploitasi. Mulai dari bagian
jasmani, dari ujung rambut sampai ujung kaki, luar biasa lelahnya. Lalu
menjalar ke bagian ruhani dimana emosi saya laksana roller coaster yang
naik turun tak beraturan. Semua jenis emosi rasanya mewujud di hari keempat
itu. Ya marah. Ya jengkel. Ya kesal. Ya sewot. Tapi herannya saya juga banyak
tertawa. Apalagi kalau mengenang kejadian itu sekarang.
Memangnya ada kejadian apa
sih?
Cerita bermula dari obrolan di
pagi hari antara saya dengan Zaki, teman saya yang mahasiswa Al-Azhar itu. Saya
bilang ke dia, “Zak, antum hari ini ada urusan kan? Antum gak usah maksa
nemenin saya. Nanti saya mau ke Piramid Giza. Kemarin saya lihat ada jalur
metronya. Insya Allah saya bisa pergi sendiri.” Saya tau hari itu memang
Zaki ada urusan di kampusnya dan saya juga tidak enak sudah terlalu sering merepotkan
dia.
“Jangan Jar! Nanti antum
nyasar. Lagipula bahaya kalau antum pergi sendiri. Saya hari ini memang ada
urusan, tapi coba nanti saya tanya adek-adek, siapa tau mereka bisa menemani”
jawab Zaki. Oya, di kontrakan itu ada 3 orang mahasiswa lain selain Zaki.
Semuanya adik kelas Zaki dan mereka semua (termasuk Zaki) dulunya sekolah di
Madrasah Aliyah yang sama di Padang (mereka semua orang Minang tulen).
Singkat cerita, ketiga junior
Zaki itu bersedia menemani saya. Mereka pun katanya penasaran ingin merasakan
pengalaman naik kuda di sana. Akhirnya saya tidak bisa mengelak lagi dan
bertualang bersama tiga anak muda itu. Saya juga masih muda sih :p
Seperti biasa, kami menumpang
metro untuk menuju Giza. By the way, dari buku yang saya baca, ternyata
Giza sudah beda provinsi sama Kairo lho. Untuk menuju Giza, kami hanya perlu
satu kali ganti metro (saya lupa nama stasiun tempat pergantiannya). Jaraknya
lumayan jauh, mungkin memakan waktu sekitar 20 menit. Dari stasiun metro,
ternyata kami harus naik angkutan umum lagi. Ada banyak angkutan umum ke
Piramida, seperti bis (kecil dan besar), tramco (semacam elf), dan mobil kecil
(semacam Carry). Saat itu kami pilih naik tramco. Tarifnya 2 EGP per orang (sekitar Rp 1400, dengan kurs 1
EGP = Rp 700).
Jarak dari stasiun menuju
Piramida Giza ternyata masih lumayan jauh. Mungkin lebih dari setengah jam kami
baru sampai di lokasi. Lokasi yang saya maksud di sini adalah tempat
berhentinya tramco, karena dari situ kami masih harus jalan kaki beberapa ratus
meter menuju pintu masuk piramida. Di jalan menuju pintu masuk itu salah
seorang dari junior Zaki bilang, “Lebih baik kita masuk lewat pintu belakang,
Bang. Karena dengan begitu kita akan lansung lihat sphinx. Jadi gak perlu capek
muter-muter”, terangnya kepada saya dengan berapi-api. Dia pun menuntun
kami menuju pintu belakang yang dimaksud. Untuk menuju ke sana, ternyata kami
harus melalui jalan kampung. “Lewat jalan kampung lebih aman karena di jalan
besar banyak penipu”, peringatnya.
Untung tak dapat diraih, malang
tak dapat ditolak. Rupanya di sinilah kami bertemu dengan tukang kuda penipu
yang dikhawatirkan.
Ketika kami sedang berjalan menuju
pintu masuk piramida, kami didatangi oleh seorang pemuda Mesir. Dia mengaku
penduduk lokal di situ dan bersedia menyewakan kudanya dengan harga yang murah.
Saat itu dia menawarkan 50 EGP per orang untuk tarif naik kuda dan sudah include
tiket masuk. Saya sebenarnya sudah menaruh curiga di situ karena bagaimana
mungkin kuda mereka disewakan segitu murahnya, sedang tiket masuknya saja 35
EGP (kata juniornya Zaki). Tapi pemuda itu rupanya sangat lihai dan gigih
memengaruhi kami sehingga kami akhirnya sepakat juga.
Setelah izin menunaikan sholat
Zuhur, kami melihat sudah ada 5 kuda yang disiapkan di depan musholla. Empat
untuk kami, dan satu lagi untuk guide. Jadi masing-masing dari kami
menaiki kudanya sendiri-sendiri. Awalnya saya kira ini seperti kuda wisata di
puncak Bogor, yang jalannya dituntun oleh si empunya kuda, tapi ternyata tidak.
Kami disuruh mengendalikan kuda kami sendiri. Adapun guide mengarahkan
kami dari belakang dengan menunggang kudanya. Saya tidak bisa membayangkan
kalau kuda yang saya naiki liar, apa yang bisa guide lakukan? Lha wong
dia ada di kuda berlainan kok. Tapi saya pikir, dengan harga yang hanya 50 EGP,
kesempatan berkuda yang seperti ini akan sangat langka didapat. Maka kami pun
menjadi bernafsu untuk segera naik.
Ketika kami sudah naik kuda, kami
lalu dibawa ke sebuah tempat. Di sinilah pemuda Mesir tadi mulai berulah. Harga
sewa kuda 50 EGP yang sudah disepakati di awal tiba-tiba diubah sepihak. Dia
bilang harga 50 EGP itu hanya sampai depan pintu masuk saja, jadi kami diminta
menambah ongkos agar bisa naik kuda dengan rute yang lebih jauh. Tidak
tanggung-tanggung, dia mematok harga 3 kali lipatnya, yaitu 150 EGP per orang! Edan!
Karena sudah tidak beres,
akhirnya saya bilang ke junior Zaki “Sudah tidak apa, kita bayar 50 EGP saja
sampai pintu masuk. Khawatirnya nanti dia berulah dan minta tambahan lagi kalau
kita turuti.” Tapi rupanya mereka saat itu sudah kadung ngidam ingin
naik kuda. Akhirnya mereka mulai tawar menawar. Selagi tawar menawar itu, kami
dikondisikan untuk tetap berada di atas kuda sehingga mau tidak mau harus
tercapai kesepakatan. Pada akhirnya, disetujuilah harga 100 EGP oleh semua
pihak, yang berarti dua kali itifaq awal.
Tukang kuda deal. Para junior
deal. Saya pun mau tidak mau ikut deal.
Dan pengalaman naik kuda itupun
tidak akan saya lupakan seumur hidup saya.
Pada awalnya, sebenarnya kami
enjoy-enjoy saja dan bahkan menikmati kegiatan berkuda itu karena saat itu kuda
kami hanya berjalan santai. Akan tetapi selang beberapa puluh meter, si guide
kuda mulai berulah. Dia pecut kudanya hingga berlari dengan langkah kecil-kecil
yang kemudian diikuti oleh kuda-kuda kami. Jadi, kuda-kuda kami seolah-olah
sudah terprogram untuk mengikuti kuda si guide. Demi Allah, lari
kecil-kecil itu adalah momen yang paling menyiksa dari kegiatan berkuda waktu
itu. Ketika kuda berlari-lari kecil, saya merasa bagian pinggang ke bawah
seperti terpisah dengan bagian pinggang ke atas karena kami terpantul-pantul di
atas pelana. Saya merasakan sakit yang menyiksa di pinggang dan bokong saya,
karena pelananya juga keras. Ditambah lagi saya membawa ransel yang berisi
penuh dengan makanan dan minuman. Jadi ketika saya terpantul-pantul di atas
pelana, tas saya juga ikut terpantul. Terasa berat di pundak, sakit di pinggang.
Kenapa tidak minta distop
saja?
Disitulah kurang ajarnya si guide
kuda. Guide yang masih muda belia itu (saya taksir umurnya masih 15 an),
justru semakin semangat mengerjai kami ketika kami minta stop atau dipelankan. Saat
kami bilang stop atau swaya (pelan-pelan), maka saat itu pula dia
memecut kudanya sehingga kuda tetap berlari. Saya sendiri berkali-kali meminta
agar guide memelankan kuda, bagai anak kecil merengek minta ikut
kondangan bersama ibunya. Tapi rengekan tinggal rengekan. Hanya getaran suara
yang merambat ke telinga si guide tanpa diproses oleh otaknya. Atau
mungkin diproses tapi direspon dengan respon yang salah karena nyatanya dia
tetap tidak mau memelankan kudanya.
Saya sendiri sebenarnya sempat
kesal dan marah kepada si guide. Apalagi kalau dia sudah teriak “Syiiih….”
dengan cara dan intonasinya yang khas sambil memecut kudanya. Karena begitu dia
menyebut kata sakti itu, kuda akan berlari kecil-kecil. Menjengkelkan sekali. Kalau
saya spiderman, ingin rasanya saya tembakan jaring laba-laba untuk
menyumbat mulutnya. Saya jengkel bukan karena takut naik kudanya, tapi karena
sakit yang saya rasakan itu benar-benar menyiksa, serasa mau copot pinggang ini.
Sakitnya baru hilang ketika kuda berjalan santai atau justru lari dengan
kecepatan penuh. Saya juga heran, mengapa ketika kuda lari dengan kecepatan
penuh justru tidak terasa sakit? Saya malah menikmati ketika kuda lari dengan
kecepatan penuh. Tampak heroik sekali rasanya, haha.
Saat itu saya beruntung dapat
kuda yang cenderung jinak dan mudah diarahkan. Ada dua teman saya yang kudanya
bebal, sulit diarahkan. Ketika kuda lain belok ke kanan, dia malah lurus. Ketika
kami lurus dia malah yoga *halah*. Si guide jadi sewot sendiri karena
tidak jarang kuda yang nakal itu pergi jauh meninggalkan kelompoknya. Saya justru malah tertawa sendiri ketika guide teriak kepada teman saya yang kudanya nakal
itu, kira-kira begini kalau dibahasa Indonesiakan, “Woy bocah, elu mau
kemana? Jalannya kesini.” dengan ekspresinya yang kesal. Kadang dia juga
curhat, “Temen ente parah banget sih?” demi melihat kelakuan teman saya dan
kudanya yang semakin menjauh. Teman saya sebenarnya sudah berusaha mengarahkan
kudanya agar kembali ke kelompok, tapi bukannya patuh, si kuda malah cuek bebek
melanjutkan perjalanannya tanpa memedulikan perintah tuannya. Di saat seperti ini, biasanya si guide
akan memecut kudanya untuk menyusul kuda yang nakal itu sambil
bersungut-sungut. “Itulah balasanmu anak muda” batin saya sambil tertawa
puas. Misi balas dendam telah dituntaskan oleh kudanya sendiri, bahahaha.
Durasi kami naik kuda cukup lama.
Kalau ditotal mungkin lebih dari dua jam karena memang jalur yang kami tempuh
juga sangat jauh. Bahkan kami harus melintasi gurun pula. Dengan durasi yang
lama itu, saya melihat kawan-kawan saya (atau mungkin juga saya) sudah mulai
terbiasa berkuda. Bukan berarti sudah tidak merasakan sakit ya. Sakitnya masih
terasa, tapi maksudnya cara kami memperlakukan kuda sudah lebih “professional”.
Makanya tidak jarang saya mendengar teman saya berkata, “tsssah, yasar…!!! yasar…!!!”
untuk mengarahkan kuda ke arah kiri (yasar = kiri). Saya tergelak
melihat perilaku teman saya. Mentang-mentang itu kudanya orang Arab, terus dia
pikir dengan dia menggunakan Bahasa Arab, si kuda jadi paham. Saya tidak bisa
membayangkan kalau kudanya malah ngomong, “na’am… na’am…”
Di tengah gurun, ketika si guide
sedang mengejar kuda teman saya yang nakal, tiba-tiba kuda saya ambruk
menggelepar. Saya kaget dan buru-buru menghindari kuda saya, khawatir ada
hal-hal yang membahayakan. Saya kira kuda itu mati, karena setelah menggelepar,
dia diam saja. Selang beberapa waktu, giliran kuda teman saya yang menggelepar.
Jadilah mereka menggelepar berjamaah. Kami bingung harus berbuat apa. Sedangkan
si guide sedang mengejar kuda yang jaraknya lumayan jauh. Tapi untungnya,
setelah beberapa saat kuda saya bangun lagi. Lalu disusul kuda teman saya. Kalau
saya masih untung, begitu kuda saya bangun lagi, dia bisa langsung saya naiki.
Sedangkan teman saya, begitu kudanya bangun lagi, si kuda malah dengan acuhnya
pergi meninggalkan teman saya. Jadilah kami menonton pertunjukan gratis: anak
muda mengejar kuda.
Selang beberapa waktu, tibalah
kami di tempat tujuan. Kami sangat bersyukur karena kami terlepas dari siksaan
kuda yang panjang. Tapi rupanya tempat tujuan itu hanya persinggahan karena
kami harus kembali ke tempat semula dengan berkuda lagi. Ya Allah…
Sebagaimana saya katakan di awal,
pengalaman ini sangat berkesan dari segi kekonyolannya. Juga indah untuk
dikenang. Tapi meski indah, jangan harap saya mau mengulang pengalaman itu
lagi. Kalau disuruh mengulang, lebih baik saya yang menggendong kudanya
daripada saya harus tersiksa seperti itu!
#Asrama Mahasiswa KSU
Hahahaha pengalaman yg sangat sulit untuk dilupakan :D
ReplyDeletewhuahahahhaha..
ReplyDeletemakasih sharing ceritanya mas, sungguh mengesankan, bhuahahahhahaha