Hari ketiga dimulai agak siang.
Lepas zuhur saya dan dua teman saya baru keluar dari kontrakan. Bagi saya
sebagai traveller, sebenarnya agak sayang menghabiskan waktu pagi dengan
hanya berdiam diri di kamar, tapi mau bagaimana lagi, kedudukan saya disini
adalah tamu. Tuan rumah, yang punya niat mulia untuk menemani saya, baru siap
selepas zuhur. Sejujurnya saya sama sekali tidak masalah kalaupun harus keluar
seorang diri, malah lebih terasa petualangannya, tapi karena tuan rumah ingin
mendampingi, ya saya sih nurut saja.
Hari ketiga travelling ini
tujuan utamanya adalah membedah pusat kota. Kami menyusuri Sungai Nil, Tahrir
Square, Egyptian Museum, Cairo Tower, serta kawasan downtown. Cukup
melelahkan sebenarnya karena sebagian besar waktu kami dihabiskan dengan
berjalan kaki mengingat jarak antar tempat saling berdekatan. Saya sendiri
merasa tidak enak hati dengan kedua teman saya karena lamanya waktu yang
tersita. Kami baru kembali ke kontrakan hampir pukul sebelas malam.
Well langsung saja, kami
menggunakan metro untuk sampai ke lokasi-lokasi tersebut. Ini salah satu hal
yang paling saya suka dan mengapa saya bilang saya berani berpergian sendirian
di Mesir, ya tentu karena ada metro ini. Dengan tarif yang sangat murah (hanya
1 EGP ke semua tujuan, setara Rp 700) kita dapat menjangkau hampir semua tempat
di Kairo dengan waktu yang relatif cepat. Metro ini seperti KRL di Jakarta,
tapi bedanya KRL berada di atas tanah sedangkan metro berada di bawahnya (underground).
Metro adalah salah satu transportasi andalan di hampir semua negara maju karena
efektifitas dan efisiensinya. Saya sendiri heran begitu masuk ke stasiun metro,
semua tampak berbeda. Seolah-olah saya sedang berada di Eropa. Sangat kentara
perbedaan antara transportasi di atas (jalan raya) dengan di bawah (rel
kereta). Kalau di atas terlihat sangat berantakan, bagian bawah terlihat cukup
rapi dan teratur.
![]() |
Salah satu stasiun metro di Kairo (sumber : dokumentasi pribadi) |
Di hari-hari biasa, kami
sebenarnya bisa turun di stasiun Tahrir (saya lupa namanya), tapi karena saat
itu adalah tanggal 25 Januari dan merupakan hari dimana dilengserkannya Husni
Mubarok melalui Revolusi Mesir di Bundaran Tahrir, maka stasiun itu ditutup
untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, sehingga kami pun baru turun
di stasiun setelahnya (saya juga lupa namanya). Teman saya bilang biasanya tiap
tanggal 25 Januari warga Mesir turun ke Bundaran Tahrir untuk merayakan
revolusi. Warga asing tidak disarankan keluar, apalagi ikut-ikutan.
Dengan berjalan beberapa puluh
meter saja dari stasiun tempat kami turun, kami sudah bisa melihat sungai Nil yang membentang luas dari selatan
ke utara. Seketika ingatan saya kembali ke kisah Musa kecil yang dihanyutkan
oleh ibunya, meski tidak jelas di bagian mana dia dihanyutkan karena panjang
sungai ini mencapai 6650 km. Di sisi sungai banyak restoran atau kafe yang
disediakan bagi pengunjung untuk mencicipi kuliner sambil menikmati pemandangan
sungai. Ada juga taman yang rapi dan nyaman di salah satu bagiannya. Untuk
masuk ke taman itu, kita diharuskan membayar 5 EGP.
![]() |
Suasana malam di jembatan Sungai Nil (sumber : dokumentasi pribadi) |
Satu hal yang lucu dan agak
konyol dari peraturan di taman ini adalah, kita tidak diperbolehkan membawa
kamera ke dalamnya. Kalau mau membawa kamera, kita akan dikenakan tarif lagi.
Saya geleng-geleng kepala mendengarnya. Sudah sering saya berwisata, tapi baru
kali ini mendengar peraturan konyol semacam ini. Kalau objek wisatanya adalah
museum atau benda antik, mungkin masuk akal pelarangan kamera itu. Lha ini
taman bro!!!
Di dalam taman tersebut ada
perahu-perahu sewaan (felluca) yang siap melayani turis menyusuri
sungai. Perahu ini bisa disewa secara privat atau berkelompok. Kalau privat,
harga yang ditawarkan 80 EGP (saat itu masih siang, kalau malam mungkin lebih
mahal). Sedangkan kalau berkelompok, tarifnya adalah 10 EGP per orang. Bedanya,
kalau privat kita bisa langsung berangkat, sedangkan kalau berkelompok kita
harus menunggu penumpang lain sampai perahunya penuh. Selain itu rute yang ditawarkan
juga berbeda. Abang-abang perahunya bilang, untuk yang privat kita akan dibawa
menyusuri sungai selama 30 menit. Jadi kalau bolak-balik total satu jam.
Lumayan lama dan murah sebenarnya. Tapi kami akhirnya memilih yang berkelompok.
Oya, kami juga baru naik perahu saat malam hari, karena di malam hari
pemandangannya lebih indah.
![]() |
Sungai Nil dengan taman dan perahu sewaannya (sumber : dokumentasi pribadi) |
Karena kami tidak jadi naik
perahu siang hari itu, maka tujuan kami alihkan ke Egyptian Museum. Dari sungai
Nil, kami mengambil jalan lurus ke Timur menuju Tahrir Square. Teman saya
berpesan agar tidak mengambil gambar di daerah tersebut karena banyak polisi
dan dikhawatirkan malah jadi masalah karena pada hari itu adalah hari yang
“sensitif” bagi rakyat Mesir. Maka saya pun menyimpan baik-baik kamera saya dan
merekam kondisi sekeliling Tahrir hanya dengan mata kepala saja. Memang benar,
ada banyak sekali polisi dan tentara yang berjaga, padahal tidak ada satupun
kerumunan massa di sana. Mengingat kondisi yang agak “menegangkan”, maka kami
pun langsung bergegas menuju Egyptian Museum.
![]() |
Egyptian Museum (sumber : dokumentasi pribadi) |
Egyptian Museum menjadi salah
satu daya tarik wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara (wisman) karena
sangat kaya dengan nilai sejarah. Terpantau ada banyak orang asing masuk ke
sana, terutama orang-orang China. Khusus orang-orang China, sering sekali saya melihat
mereka di berbagai objek wisata, tidak hanya di museum saja. Sejak kemarin
ketika menelusuri masjid, mereka juga banyak terlihat. Mungkin memang benar
bahwa perekonomian mereka sedang bertumbuh pesat, sehingga jumlah orang kaya
juga semakin meningkat.
![]() |
Tiket masuk Egyptian Museum (sumber : dokumentasi pribadi) |
Kembali ke museum, harga tiket
masuk museum 35 EGP untuk student dan 70 EGP untuk umum. Museum dibuka
sejak pagi pukul 09.00 sampai sore. Biasanya pukul 16.00 para wisatawan sudah
disuruh keluar. Kita tidak diperkenankan membawa kamera selain kamera hp. Jadi
kalau kita punya kamera pocket atau DSLR, kita diharuskan menitipkannya
atau membeli tiket tambahan untuk kamera. Saya juga merasa aneh dengan
peraturan itu, mengapa kita boleh membawa kamera hp sedangkan kamera biasa
dibatasi? Kenapa tidak dilarang atau dibebaskan sepenuhnya saja? Saya sendiri
akhirnya menitipkan kamera saya di bagian penitipan, sehingga di dalam museum
saya mengandalkan kamera hp.
Di dalam museum, terdapat
benda-benda antik peninggalan Mesir kuno. Selain itu, disana juga banyak mumi
yang dipajang di etalase. Melihat deretan mumi tersebut, saya membatin “Dulu
mereka mungkin punya pangkat dan jabatan di kerajaan, tapi sekarang mereka jadi
tontonan.” Satu bagian yang paling penting dari museum tersebut adalah The
Royal Mummies Hall. Di bagian inilah para Fir’aun dipajang. Tapi untuk
masuk ke bagian ini, harus membeli tiket terusan seharga 75 EGP. Mengingat ini
adalah kesempatan langka, maka saya tuntaskan rasa penasaran saya dengan
memasuki bagian tersebut.
![]() |
Etalase mumi di Egyptian Museum (sumber : dokumentasi pribadi) |
Dan rasa penasaran saya akhirnya terbayar
lunas ketika melihat mumi Ramses II, yang menurut ahli sejarah merupakan lawannya
Nabi Musa. Tapi anehnya dalam deskripsi di mumi Ramses II itu, tidak ada satu
tulisan pun yang menyinggung tentang pertarungannya melawan Musa. Di sana hanya
tertulis bahwa dia salah satu Fir’aun yang paling berkuasa. Dia mati pada usia
67 tahun dan menjelang kematiannya, ada banyak penyakit yang diderita. Sayang
kita tidak boleh mengambil gambar sama sekali di bagian ini. Tapi untuk
mengobati rasa penasaran, saya cantumkan gambar Ramses II dari Google yang sama
persis dengan yang saya lihat.
![]() |
Mumi Ramses II (sumber : Google) |
Setelah puas mengitari area
museum, kami lanjutkan petualangan kami menuju Cairo Tower. Tower dengan tinggi
187 m ini adalah salah satu landmark kebanggaan warga Kairo. Yah,
semacam Monas-nya Jakarta lah. Dari atas tower kita bisa menyaksikan
pemandangan kota Kairo yang dibelah oleh sungai Nil. Berdasarkan informasi dari
blog yang saya baca, waktu terbaik untuk menaiki tower ini adalah sore
menjelang maghrib. Saat itu katanya adalah saat-saat paling indah menyaksikan
Kairo dari ketinggian karena sinar matahari yang mulai meredup akan “berduet”
dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Sedari awal saya sudah meniatkan
untuk naik ke tower ini, tapi sayang ada dua kekecewaan yang saya dapati begitu
sampai di sana; (1) antrian untuk naik ke atasnya sangat panjang, entah butuh
berapa jam untuk menunggu; (2) harga tiket terusannya sangat mahal, yaitu 150
EGP untuk orang asing, sedangkan untuk warga Mesir hanya dikenakan tarif 25
EGP. Sebuah perbedaan yang sangat mencolok. Akhirnya kami mengurungkan niat
kami dan hanya berfoto di depannya saja.
![]() |
Cairo Tower dari seberang Nil (sumber : dokumentasi pribadi) |
Setelah gagal naik ke puncak
Cairo Tower, kami langsung beralih menuju sungai Nil (lagi) untuk memenuhi
keinginan yang tertunda, yaitu menyusuri sungai dengan menggunakan perahu. Dalam
pandangan saya, wisata ini rasanya tidak berbeda jauh lah dengan wisata perahu
di Venesia, haha. Selepas menunaikan sholat Maghrib, kami langsung menghampiri
perahu yang sudah hampir penuh. Dengan membayar 10 EGP per orang, kami diajak
menyusuri Nil dan menikmati indahnya malam di Kairo. Menurut saya, ongkos 10
EGP itu termasuk murah, apalagi rute yang dilalui juga lumayan jauh. Jadi
sangat direkomendasikan bagi anda yang berpergian ke Kairo untuk naik perahu
ini.
Puas menaiki perahu, kami
langsung menuju pusat kota, atau yang lebih terkenal dengan sebutan downtown.
Secara konsep, wilayah downtown tak ubahnya jalan Malioboro di Jogja. Wilayah
ini adalah salah satu pusat perbelanjaan di Kairo. Bedanya, arsitektur bangunan
di sini cenderung bergaya Eropa dan terlihat lebih modern. Sangat kontras
sekali dengan bangunan-bangunan yang ada di Jalan Muizz. Barang-barang yang
dijual di downtown umumnya lebih bagus kualitasnya, dan tentu saja lebih
mahal harganya. Saya sebenarnya berniat membeli jaket wol untuk keperluan musim
dingin mengingat suhu winter di Riyadh biasanya mencapai nol derajat,
sedangkan jaket yang saya miliki hanya satu dan itupun tidak terlalu tebal. Tapi
setelah berjam-jam mengitari daerah downtown, tak satupun jaket yang
cocok untuk saya.
Salah satu bagian downtown (sumber : dokumentasi pribadi) |
Petualangan kami mengitari downtown
berakhir kurang lebih pukul sepuluh malam. Saat itu toko-toko sudah mulai
tutup. Kami pun sudah cukup lelah berjalan kaki sejak siang. Saat itu pula kami
kembali ke stasiun metro untuk pulang ke kontrakan.
#Asrama Mahasiswa KSU
Alhamdulillah nemu blog ini.
ReplyDeleteMas mau nanya, untuk ke sunga nil bisa ditempuh menggunakan transportasi apa ya...
Trimakasih
Kalau saya waktu itu naik metro mas/mbak
ReplyDelete