Saya tiba di kontrakan teman saya
kira-kira pukul 14.00. Hari pertama di Kairo saya habiskan hanya untuk
beristirahat. Sebenarnya saya ingin langsung eksplorasi beberapa bagian Kota
Kairo, terlebih posisi kontrakan teman saya di depan Bab al-Futuh, yaitu salah
satu pintu benteng peninggalan zaman Dinasti Fatimiyah. Tapi karena teman saya
meminta saya untuk istirahat dulu, maka sebagai tamu saya menuruti saja
perintah tuan rumah.
![]() |
Bab Al-Futuh (sumber : Google) |
Keesokan harinya, petualangan saya
di Kairo resmi dimulai. Eksplorasi diawali dari Bab Al-Futuh, yang menjadi
pintu benteng terluar di bagian utara dari Daulah Fatimiyah. Jadi, dengan
memasuki pintu tersebut, maka secara otomatis kita berada di dalam kota Daulah
Fatimiyah. Saya didampingi teman saya dan dua orang temannya yang lain untuk mengelilingi
benteng tersebut. Jadi, total kami berjumlah 4 orang. Situs pertama yang kami
kunjungi adalah Masjid Hakim Bi Amrillah, yang terletak di ujung Jalan Muizz
bagian utara. Berdasarkan penelusuran saya di Google, masjid ini mulai dibangun
pada tahun 381 H / 990 M oleh Khalifah Al-Aziz Billah. Kemudian disempurnakan
oleh putranya Khalifah Hakim Bi Amrillah pada tahun 393 H / 1002 M.
![]() |
Pelataran Masjid Hakim Bi Amrillah (sumber : dokumentasi pribadi) |
Kata teman saya, masjid ini dulunya
adalah masjid Syi’ah, tapi kemudian diubah menjadi masjid Sunni oleh Salahuddin
Al-Ayubi setelah beliau mengalahkan Daulah Fatimiyah. Meski demikian, sampai
saat ini praktik Syi’ah masih berlangsung di masjid tersebut. Orang Syi’ah
selalu datang kesana untuk sholat berjamaah. Tapi anehnya mereka tidak sholat
bersama jamaah Sunni, melainkan membuat jamaah sendiri. Jadi, dalam satu masjid
itu ada dua jamaah yang melaksanakan sholat berjamaah. Saya heran, mengapa
praktik seperti ini dibiarkan saja? Bukankan tidak boleh ada dua (sholat)
jamaah dalam satu masjid?
Dari Masjid Hakim Bi Amrillah,
kami menyusuri jalan Muizz sampai pintu terluar benteng di bagian selatan yang
diberi nama Bab Zuwayla. Selama penyusuran tersebut, saya tidak henti-hentinya
berdecak kagum atas keindahan arsitektur peninggalan zaman kekhalifahan Islam
ini. Sangat indah! Bahkan menurut saya lebih indah daripada arsitektur kuno
yang ada di negara-negara Eropa. Hanya saja bangunan-bangunan di sini tidak terawat
dengan baik. Jadi terlihat kotor dan kurang nyaman untuk dinikmati. Apalagi
Jalan Muizz ini juga ternyata terbuka untuk kendaraan. Meskipun sempit dan
banyak pejalan kaki, tidak jarang mobil dan motor berseliweran. Sehingga saya sebagai
turis merasa tidak aman dan nyaman untuk melaluinya.
![]() |
Suasana di Jalan Muizz (sumber : dokumentasi pribadi) |
Selain itu, hal lain yang juga
turut mengurangi kekhusyukan berwisata adalah tabiat orang Mesir. Mereka
nampaknya merasa sangat “aneh” dengan kehadiran orang asing. Saya juga tidak
mengerti mengapa. Selama perjalanan itu, saya cukup sering dihampiri orang
untuk bertegur sapa dan berfoto. Apalagi ditatap dengan tatapan ganjil, yang
dengan tatapan itu seolah-olah mereka berkata, “Eh, ada orang asing nih,
ngapain ya dia?” Pengalaman ini membuat saya jadi memahami bagaimana
perasaan para bule yang berkunjung ke Indonesia dan sering diajak foto bareng
oleh warga lokal. Huhuhu.
![]() |
Pertokoan di salah satu ruas jalan (sumber : dokumentasi pribadi) |
Disamping arsitektur kuno yang
cantik, di sepanjang Jalan Muizz juga terdapat berbagai macam toko, baik toko
souvenir, sembako, bahkan sayur mayur. Sehingga cukup terbayang kan bagaimana
padatnya jalan itu? Di antara deretan toko itu, ada satu toko yang menarik
perhatian saya, yaitu toko turbus (peci) khas masyaikh Azhar. Teman saya
bilang, di toko itulah para masyaikh biasa memesan turbusnya. Rasanya ucapan
teman saya itu tidak mengada-ada karena saat itu banyak orang berpenampilan
seperti masyaikh sedang memesan turbus juga. Karena khas dan jadi langganan
para masyaikh, saya jadi tertarik untuk membelinya juga.
![]() |
Turbus (peci) khas Mesir (sumber : dokumentasi pribadi) |
Harga turbus di toko itu berkisar
antara 200 hingga 230 EGP (setara Rp 150.000 an, kurs 1 EGP = Rp 700),
tergantung tipe. Harga itu belum termasuk imamah, yaitu sorban putih yang
melingkari turbus. Kalau mau dipakaikan imamah, maka harus ditambah 30 EGP
lagi. Saya sendiri memesan yang harga 200 plus imamah. Pengerjaan turbus
memakan waktu tiga hari setelah sebelumnya mereka mengukur ukuran lingkar
kepala kita. Hal itu menandakan bahwa mereka serius mengerjakannya. Saya
sendiri puas dengan turbus saya.
![]() |
Bagian dalam salah satu masjid (sumber : dokumentasi pribadi) |
Setelah mampir ke toko turbus,
kami lanjutkan perjalanan kami menyusuri Jalan Muizz. Sebenarnya ada banyak
situs yang kami datangi sepanjang Jalan Muizz itu, seperti masjid, museum dan
madrasah, tapi tidak bisa saya jabarkan satu persatu karena kurang lebih bentuk
bangunannya sama dengan yang lain. Dan yang paling penting, karena saya lupa
nama bangunan-bangunan tersebut, hehe.
![]() |
Design berbagai masjid hampir sama (sumber : dokumentasi pribadi) |
Di ujung Jalan Muizz, tibalah
kami di menara kembar Bab Zuwayla. Menara ini dulunya digunakan untuk mengintai
musuh, sekarang bisa digunakan untuk menyaksikan pemandangan kota Kairo Tua
(Old Cairo). Untuk masuk ke sini dikenakan tarif 10 EGP. Saya dan teman-teman
membagi kelompok menjadi dua dan masing-masing kelompok menaiki menara berbeda,
sehingga kami bisa saling foto.
![]() |
Salah satu menara di Bab Zuwayla (sumber : dokumentasi pribadi) |
Menara ini cukup tinggi. Saya
sendiri agak takut menaikinya, terutama untuk sampai di puncak paling atas
karena anak tangganya hanya potongan-potongan besi yang sudah goyang. Salah
menginjak atau terpeleset bisa berakibat fatal. Ketika tiba di atas, perasaan
takut masih belum hilang karena tinggi dan sempitnya tempat serta kencangnya
hembusan angin. Tapi ketakutan itu cukup terobati dengan melihat pemandangan
kota Kairo dengan 1001 menaranya. Satu-satunya hal yang agak mengganggu adalah
kebersihan (lagi-lagi) atap-atap rumah di Kairo. Saya tidak mengerti mengapa
sebagian penduduk membuang sampah di atap rumah. Apa ini bagian dari budaya?
![]() |
Pemandangan dari menara (sumber : dokumentasi pribadi) |
Selesai menyusuri benteng Daulah
Fatimiyah, kami lanjutkan perjalanan kami ke Masjid Sultan dan Masjid Al-Rifa’I
yang saling berhadapan. Walaupun kedua bangunan ini adalah masjid, tapi untuk
masuk kesana tidak gratis, kecuali untuk orang Mesir. Turis atau penduduk
selain Mesir diharuskan membayar tiket 20 EGP untuk student dan 40 EGP untuk umum. Agak aneh
sih, karena masjid ini masih berfungsi secara normal dan dipakai untuk sholat
berjamaah, masa untuk sholat aja kita bayar?
![]() |
Masjid Sultan dan Masjid Al-Rifa'i (sumber : Google) |
By the way, bentuk kedua bangunan
ini sangat megah, terutama Masjid Sultan. Gaya arsitekturnya sangat klasik,
elegan, dan menawan, terutama bagian interior. Bagian dalamnya sangat luas dan
megah. Saya berdecak kagum melihatnya. Dalam hati saya selalu membatin, “Ah,
andai saja masjid-masjid serta bangungan-bangunan di sini terurus dengan baik,
tentu bisa menjadi tujuan wisata kelas dunia mengalahkan Eropa”.
![]() |
Bagian interior Masjid Sultan (sumber : dokumentasi pribadi) |
![]() |
Bagian interior Masjid Sultan (sumber : dokumentasi pribadi) |
Selepas dari Masjid Sultan dan
Masjid Al-Rifa’i, kami meneruskan perjalanan menuju Masjid Al-Azhar. Di tengah
jalan, kami melintasi Masjid Salahudin Al-Ayubi yang gagah dengan bentengnya
(orang Mesir menyebutnya Qal’ah). Tapi karena waktu yang sudah sangat sore dan
jarak yang tidak strategis, kami lewati saja situs tersebut. Kami juga
sempat melintasi Masjid Sayidah ‘Aisyah yang di dalamnya ada makam beliau juga.
Saya kira itu adalah ‘Aisyah istri Rasulullah, tapi setelah saya telusuri lebih
jauh di Google, itu adalah ‘Aisyah keturunan Rasulullah, bukan istri beliau. Selain
Masjid Salahudin dan Masjid Sayidah ‘Aisyah, kami juga melintasi kampus
Al-Azhar untuk jurusan Syariah, Ushuluddin, dan Lughoh. Sayang, karena waktu
yang bertepatan dengan adzan Maghrib, kami tidak sempat mampir ke dalam dan
langsung meneruskan perjalanan ke Masjid Al-Azhar.
![]() |
Masjid Salahudin Al-Ayubi (sumber : dokumentasi pribadi) |
Ketika saya datang, Masjid Azhar
sedang direnovasi. Teman saya bilang sudah tiga tahun renovasi dilakukan untuk
meremajakan bangunan masjid dan mengecat ulang dindingnya agar terlihat lebih
elok. Dampaknya, banyak tempat atau bagian masjid yang ditutup. Yah, walaupun
terbatas, tapi lumayan lah untuk sekedar singgah dan merasakan atmosfer di
salah satu masjid yang masyhur itu.
NB : Di hari pertama ini, kamera
saya bermasalah. Memorinya tidak terbaca. Jadi semua gambar yang saya ambil dari
kamera hilang dan yang tersisa hanya gambar dari kamera hp. Agak konyol memang, tapi untunglah hal ini segera
diketahui sehingga saya bisa membeli memori baru esok harinya.
#Asrama Mahasiswa KSU
0 comments:
Post a Comment