January 21, 2016

Teruntuk Siswa-Siswi Berprestasi

Maaf kalau saya mengawali tulisan ini dengan judging. Menurut saya, merupakan suatu kedzhaliman jika seseorang bermain-main dengan pilihannya. 

Hmm… masih terlalu umum. Oke, begini, saya sedang berbicara tentang anak-anak yang diberi kelebihan dalam hal intelegensi. Sebutlah mereka anak cerdas, berbakat, pintar, dan seterusnya. Mereka memiliki keunggulan dalam bidang akademik. Nilai rapotnya bagus-bagus, ditulis hanya dengan tinta hitam. Mungkin sebagian dari mereka juga merupakan member tetap Persiwa (Persatuan Siswa Rangking Wahid). Atau bahkan ada yang menjadi kepala geng Kejutan (Kesatuan Juara Terus-terusan). Intinya mereka brilian.

Tapi sungguh saya mengkhawatirkan beberapa sikap mereka yang menurut saya kurang empati terhadap sesama. Saya memperhatikan hal ini berdasarkan fenomena yang sering terjadi tiap kali musim seleksi penerimaaan mahasiswa baru PTN tiba. Kalau diperhatikan, banyak siswa yang ikut seleksi dan memilih jurusan di suatu kampus hanya dengan niat coba-coba. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang begitu diterima, malah meninggalkan kampus tersebut karena alasan yang macam-macam. Tidak cocok lah. Tidak sesuai keinginan lah. Hanya ingin mengetes kemampuan lah. Ingin mencari yang lebih baik lah. Atau bahkan sudah diterima di tempat yang lebih baik lah. Dan lah-lah lainnya.

Oh, come on man…kalau memang tidak cocok mbok ya nggak usah dipilih gitu lho. Kalau memang dari awal ragu dan tidak terlalu tertarik, ya jangan dipaksakan. Kalau cuma mau mengetes kemampuan, kan bisa ikut try out yang sering diadakan oleh event organizer (EO). Atau kalau sudah diterima di suatu kampus, kenapa harus ikut lagi di tempat lain? Kalau ingin mencari yang lebih baik, ya semestinya yang menurutmu lebih baik itulah yang harus kamu ikuti seleksinya. Tidak usah serakah memilih semua kampus.

Saya paham betul bahwa itu memang hak mereka untuk mengikuti berbagai seleksi. Toh, uang yang dipakai untuk membayar biaya ujian pun berasal dari kantong (orangtua) mereka sendiri. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka semestinya memikirkan kerugian yang harus ditanggung banyak pihak akibat ulah mereka. Mereka tidak tau bahwa di belakang sana ada siswa lain yang memiliki kemampuan pas-pasan, yang juga mendaftar di jurusan yang sama. Mereka tidak tau bagaimana siswa yang “sedang-sedang” (agak kurang pas kalau disebut pas-pasan, hehe) itu mempersiapkan diri untuk menghadapi ketatnya seleksi. Mereka, para siswa “sedang-sedang” itu, mungkin sudah mengoptimalkan usahanya untuk mendapatkan bangku di PTN tersebut, tapi sialnya karena ulah siswa pintar yang cuma coba-coba tadi, mereka jadi kehilangan jatah.

Mereka juga mungkin tidak tau bagaimana susahnya pihak kampus mempersiapkan seleksi tersebut. Melibatkan SDM yang tidak sedikit. Menggelontorkan dana yang banyak. Demi untuk memilih bibit-bibit potensial yang akan mengisi bangku universitas. Dan proses yang rumit itu menjadi berantakan karena siswa yang cuma coba-coba tadi.

Mereka tidak akan bisa melihat berbagai kerugian tersebut karena yang mereka lihat hanya diri mereka sendiri. Saya sendiri heran mengapa semakin kesini, orang-orang jadi semakin egois. Semakin individualis. Padahal kita Bangsa Timur, bangsa yang dicirikan dengan keramahannya kepada sesama. Tapi keramahan itu semakin tidak kelihatan karena tertutup berbagai kecemasan yang tidak perlu, diantaranya cemas tidak mendapatkan jatah di bangku PTN.

Ah, saya jadi ingat sejak kecil guru ngaji saya sering menceritakan keadaan ketika kiamat nanti. Beliau bercerita bahwa ketika kiamat orang-orang akan sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Bahkan para ibu pun akan melepaskan anak dalam pangkuannya saking cemas dan takutnya mereka menghadapi hari kiamat. Nah, apakah tidak mendapatkan jatah bangku di PTN sebegitu mencemaskan dan menakutkannya sehingga kita melupakan keadaan orang lain?

Hmm…mungkin saya bisa mengatakan seperti ini karena saya telah melewati fase-fase tersebut. Seandainya saya berada di posisi mereka, boleh jadi saya pun akan berpikiran sama dengan mereka karena tergiring kecemasan masal.

#Asrama 27, King Saud University

Related Posts:

  • Mari Nakal!!! Kaku. Semakin kemari rasanya hidup saya semakin kaku pada peraturan. Terlalu takut salah. Terlalu taat pada pihak yang saya anggap berwenang. Terlalu menyanderakan diri pada dogma-dogma. Atau kalau mau diperas dan diambil … Read More
  • Tentang Buka Bersama “Suami sebenarnya sudah mengizinkan saya untuk buka bersama, tapi saya gak tega meninggalkan dia di rumah berbuka seorang diri” (seorang ibu paruh baya) Kalimat pembuka di atas adalah kutipan percakapan saya dengan seo… Read More
  • Mengukur Ketauhidan Warga Jakarta Melalui Pilgub DKI 2017 Saya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan saya terkait ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017 mendatang. Gelisah karena cagub petahana yang ada memiliki ideologi yang sangat bersebrangan denga… Read More
  • Gengsi Sudah sejak lama gengsi menjadi suatu stimulus yang kadang membawa energi positif dan kadang pula negatif, walaupun pada kenyataannya energi negatif lebih sering muncul bersamaan gengsi ini. Seseorang bisa menjadi sangat te… Read More
  • Manusia Modern dan Banjir Informasi Betapa sibuknya menjadi manusia modern. Segala yang terjadi di dunia selalu ingin diketahui. Berbagai berita dari Timur ke Barat dikonsumsi. Seolah-olah hal itu menjadi suatu kewajiban. Perkara itu berhubungan dengan pekerja… Read More

0 comments:

Post a Comment