Hmm… masih terlalu umum. Oke,
begini, saya sedang berbicara tentang anak-anak yang diberi kelebihan dalam hal
intelegensi. Sebutlah mereka anak cerdas, berbakat, pintar, dan seterusnya.
Mereka memiliki keunggulan dalam bidang akademik. Nilai rapotnya bagus-bagus,
ditulis hanya dengan tinta hitam. Mungkin sebagian dari mereka juga merupakan
member tetap Persiwa (Persatuan Siswa Rangking Wahid). Atau bahkan ada yang
menjadi kepala geng Kejutan (Kesatuan Juara Terus-terusan). Intinya mereka
brilian.
Tapi sungguh saya mengkhawatirkan
beberapa sikap mereka yang menurut saya kurang empati terhadap sesama. Saya
memperhatikan hal ini berdasarkan fenomena yang sering terjadi tiap kali musim
seleksi penerimaaan mahasiswa baru PTN tiba. Kalau diperhatikan, banyak siswa
yang ikut seleksi dan memilih jurusan di suatu kampus hanya dengan niat
coba-coba. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang begitu diterima, malah
meninggalkan kampus tersebut karena alasan yang macam-macam. Tidak cocok lah.
Tidak sesuai keinginan lah. Hanya ingin mengetes kemampuan lah. Ingin mencari
yang lebih baik lah. Atau bahkan sudah diterima di tempat yang lebih baik lah.
Dan lah-lah lainnya.
Oh, come on man…kalau
memang tidak cocok mbok ya nggak usah dipilih gitu lho. Kalau memang
dari awal ragu dan tidak terlalu tertarik, ya jangan dipaksakan. Kalau cuma mau
mengetes kemampuan, kan bisa ikut try out yang sering diadakan oleh event
organizer (EO). Atau kalau sudah diterima di suatu kampus, kenapa harus
ikut lagi di tempat lain? Kalau ingin mencari yang lebih baik, ya semestinya
yang menurutmu lebih baik itulah yang harus kamu ikuti seleksinya. Tidak usah
serakah memilih semua kampus.
Saya paham betul bahwa itu memang
hak mereka untuk mengikuti berbagai seleksi. Toh, uang yang dipakai
untuk membayar biaya ujian pun berasal dari kantong (orangtua) mereka sendiri.
Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka semestinya memikirkan kerugian
yang harus ditanggung banyak pihak akibat ulah mereka. Mereka tidak tau bahwa
di belakang sana ada siswa lain yang memiliki kemampuan pas-pasan, yang juga
mendaftar di jurusan yang sama. Mereka tidak tau bagaimana siswa yang
“sedang-sedang” (agak kurang pas kalau disebut pas-pasan, hehe) itu mempersiapkan
diri untuk menghadapi ketatnya seleksi. Mereka, para siswa “sedang-sedang” itu,
mungkin sudah mengoptimalkan usahanya untuk mendapatkan bangku di PTN tersebut,
tapi sialnya karena ulah siswa pintar yang cuma coba-coba tadi, mereka jadi
kehilangan jatah.
Mereka juga mungkin tidak tau
bagaimana susahnya pihak kampus mempersiapkan seleksi tersebut. Melibatkan SDM
yang tidak sedikit. Menggelontorkan dana yang banyak. Demi untuk memilih
bibit-bibit potensial yang akan mengisi bangku universitas. Dan proses yang
rumit itu menjadi berantakan karena siswa yang cuma coba-coba tadi.
Mereka tidak akan bisa melihat
berbagai kerugian tersebut karena yang mereka lihat hanya diri mereka sendiri. Saya
sendiri heran mengapa semakin kesini, orang-orang jadi semakin egois. Semakin
individualis. Padahal kita Bangsa Timur, bangsa yang dicirikan dengan
keramahannya kepada sesama. Tapi keramahan itu semakin tidak kelihatan karena
tertutup berbagai kecemasan yang tidak perlu, diantaranya cemas tidak
mendapatkan jatah di bangku PTN.
Ah, saya jadi ingat sejak kecil guru
ngaji saya sering menceritakan keadaan ketika kiamat nanti. Beliau bercerita
bahwa ketika kiamat orang-orang akan sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Bahkan para ibu pun akan melepaskan anak dalam pangkuannya saking cemas dan
takutnya mereka menghadapi hari kiamat. Nah, apakah tidak mendapatkan jatah
bangku di PTN sebegitu mencemaskan dan menakutkannya sehingga kita melupakan keadaan
orang lain?
Hmm…mungkin saya bisa mengatakan
seperti ini karena saya telah melewati fase-fase tersebut. Seandainya saya
berada di posisi mereka, boleh jadi saya pun akan berpikiran sama dengan mereka
karena tergiring kecemasan masal.
#Asrama 27, King Saud University
0 comments:
Post a Comment