January 25, 2016

Meniatkan Amal, Mengamalkan Niat



Banyak yang tertipu. Mengucap janji bahwa sekiranya nanti dirinya diperjalankan oleh Allah dari Indonesia ke Haramain untuk menunaikan umroh atau haji, ia akan pol-polan untuk beribadah. Akan dihabiskannya waktu yang dimiliki di Masjidil Haram untuk sholat, munajat, baca al-Qur’an, dan ibadah sunnah lainnya. Akan tetapi, begitu sampai di Haramain niat itu tak jua mewujud dalam bentuknya yang nyata. Kalaupun mewujud dalam bentuk amal, mungkin hanya sekali-dua. Jauh sekali dari target yang dicanangkannya dulu.

Tidak sedikit yang kecele. Menyangka bahwa jika sudah berada di dua tanah Haram, dia akan semakin mudah beribadah. Akan disempurnakannya sholat yang wajib di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Sehingga sepulangnya nanti ke Indonesia akan dibawa sertanya semangat tersebut. Akan ditularkannya semangat itu ke keluarga. Tapi alih-alih menularkan, bahkan dirinya pun tidak terjangkit “virus” seperti yang dimaksud. Lalu bagaimana mungkin bisa menularkan?

Adalah suatu kebaikan memiliki niat untuk ibadah pol-polan di Masjidil Haram sekiranya nanti berkesempatan melaksanakan umroh atau haji. Merupakan cita-cita yang mulia untuk sepenuhnya menghambakan diri begitu tiba di Haramain. Akan tetapi, harus disadari bahwa setan pun tidak akan tinggal diam dengan rencana-rencana baik itu. Mereka akan selalu bergusar hati jika melihat anak cucu Adam melakukan ketaatan kepada Allah.

Kabar buruknya, setan yang akan dihadapi ketika umroh dan haji nanti bukanlah setan sembarangan. Sekelas setan Haramain. Dan berdasarkan kisah-kisah yang telah sampai ke kita, dapatlah kita ketahui bagaimana “kualitas” tipu daya setan sekaliber Haramain ini. Mereka adalah kelompok setan yang mampu meruntuhkan pertahanan kesabaran sahabat sekelas Abu Bakar radiyallahu ‘anhu untuk tidak membalas cacian Arab Badui. Mereka adalah golongan setan yang memperdaya sahabat Ka’ab bin Malik radiyallahu ‘anhu sehingga tidak menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan pasukannya dalam Perang Tabuk yang membuatnya terkucil selama 50 hari.

Maka dapat disimpulkan bahwa tipu daya mereka tidaklah kacangan. Mereka akan datang dengan sekeras-keras godaan. Akan dihampirinya kita dengan bujuk rayu yang memperdaya. Sehingga terlepaslah satu persatu simpul niat yang sudah dicanangkan dari tanah air untuk melaksanakan ibadah ini dan itu.

Cerita dari mereka yang biasa menjadi muthowif (guide), lazim ditemui jamaah umroh yang pada akhirnya justru lebih memilih sholat di hotel meskipun jarak antara hotel dan Masjidil Haram hanya “sepelemparan batu”. Ada saja yang memberatkan langkah mereka, seperti tidak mau repot naik-turun lift, lelah dan malas jalan kaki. Bahkan meskipun ada bis yang stand by antar-jemput, masih ada saja yang lebih memilih tinggal di hotel. Ah, sayang sekali rasanya uang puluhan juta itu kalau hanya untuk numpang tinggal di hotel.

Yang lebih parah lagi, ada juga kasus jamaah yang akhirnya “membina hubungan gelap” antara jamaah lain sekembalinya mereka ke Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka pergi umroh sendiri-sendiri tanpa ditemani mahrom. Akhirnya, karena terbiasa menghabiskan waktu bersama, timbullah jalinan perasaan  diantara mereka. Seperti pepatah Jawa bilang, witing tresno jalaran soko kulino. Bermula dari intensitas “kebersamaan” yang tinggi ketika umroh, lalu tukar menukar nomor handphone, hingga akhirnya komunikasi berlanjut menembus batas kelaziman.

“Ya Allah, kami berlindung dari keburukan-keburukan tersebut”

Selain faktor setan yang lebih berkelas tadi, saya jadi penasaran apa sebenarnya faktor lain yang menyebabkan banyak jamaah umroh “tertipu/terpedaya”. Selagi memikirkan ini, saya jadi teringat dengan kasus yang sering kita jumpai ketika Ramadhan.

Sudah jadi rahasia umum bahwa menjelang datangnya bulan Ramadhan, banyak umat muslim yang mencanangkan target ibadah seperti khatam al-Qur’an sekian kali, sholat malam sekian raka’at, sedekah sekian rupiah, dan sebagainya. Tapi pada akhirnya banyak dari target tersebut yang gugur hanya di “babak penyisihan”. Hal itu terjadi karena mereka belum melazimkan ibadah-ibadah tersebut sebelum Ramadhan tiba. Ketidakbiasaan sprint itu mengakibatkan jasmani dan ruhani akan mudah lelah.

Sama halnya dengan kasus jamaah umroh, sekiranya mereka tidak membiasakan diri untuk sholat wajib berjamaah di masjid setiap harinya, maka keengganan untuk melaksanakan hal itu juga akan timbul sekalipun mereka berhadap-hadapan langsung dengan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Jasmani dan ruhani mereka akan kepayahan di hari-hari awal karena shock diajak bekerja keras.

Lain halnya jika mereka melazimkan ibadah-ibadah tersebut sejak di Indonesia. Meskipun setan membisikkan rayuan mautnya, Insya Allah hal itu tidak akan sampai melenakan karena jasmani dan ruhani mereka telah terbiasakan melakukan berbagai ibadah tersebut. Alhasil target-target ibadah selama di Haramain akan lebih mudah dicapai.

Oleh karena itu, saya berpesan khususnya kepada diri sendiri, sebelum Allah mendatangkan kesempatan berharga itu, yaitu menunaikan ibadah umroh dan haji, ada baiknya kita biasakan diri kita untuk beribadah sebaik-baiknya sehingga ketika kesempatan umroh atau haji itu tiba, kita dapat memaksimalkan kesempatan itu untuk sepenuhnya menghambakan diri di hadapan Ilahi.

***

Kasus ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada konteks ibadah umroh atau haji saja, melainkan juga pada konteks ibadah lain, misalnya ibadah sedekah. Ada yang berniat ingin banyak bersedekah kalau sudah kaya. Tapi niscaya “niat baik” ini akan mudah menguap kalau hal itu tidak dibiasakan semenjak sebelum kaya.

Sambil menuliskan ini, di bilah otak saya yang lain pun sebenarnya saya sedang memikirkan diri sendiri. Terlalu banyak hal yang harus saya evaluasi. Ada begitu banyak waktu yang berlalu begitu saja tanpa capaian apa-apa. Dulu, selagi masih di Indonesia, ada banyak sekali target yang ingin saya capai di Saudi. Tapi begitu sampai di sini, semangat untuk mencapai target itu seringkali timbul-tenggelam. Duh, semoga lebih banyak timbulnya daripada tenggelamnya.

#Asrama 27, King Saud University

0 comments:

Post a Comment