Banyak yang tertipu. Mengucap
janji bahwa sekiranya nanti dirinya diperjalankan oleh Allah dari Indonesia ke Haramain
untuk menunaikan umroh atau haji, ia akan pol-polan untuk beribadah.
Akan dihabiskannya waktu yang dimiliki di Masjidil Haram untuk sholat, munajat,
baca al-Qur’an, dan ibadah sunnah lainnya. Akan tetapi, begitu sampai di Haramain
niat itu tak jua mewujud dalam bentuknya yang nyata. Kalaupun mewujud dalam
bentuk amal, mungkin hanya sekali-dua. Jauh sekali dari target yang
dicanangkannya dulu.
Tidak sedikit yang kecele.
Menyangka bahwa jika sudah berada di dua tanah Haram, dia akan semakin mudah
beribadah. Akan disempurnakannya sholat yang wajib di Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi. Sehingga sepulangnya nanti ke Indonesia akan dibawa sertanya semangat
tersebut. Akan ditularkannya semangat itu ke keluarga. Tapi alih-alih
menularkan, bahkan dirinya pun tidak terjangkit “virus” seperti yang dimaksud.
Lalu bagaimana mungkin bisa menularkan?
Adalah suatu kebaikan memiliki
niat untuk ibadah pol-polan di Masjidil Haram sekiranya nanti berkesempatan
melaksanakan umroh atau haji. Merupakan cita-cita yang mulia untuk sepenuhnya
menghambakan diri begitu tiba di Haramain. Akan tetapi, harus disadari bahwa
setan pun tidak akan tinggal diam dengan rencana-rencana baik itu. Mereka akan
selalu bergusar hati jika melihat anak cucu Adam melakukan ketaatan kepada
Allah.
Kabar buruknya, setan yang akan dihadapi
ketika umroh dan haji nanti bukanlah setan sembarangan. Sekelas setan Haramain.
Dan berdasarkan kisah-kisah yang telah sampai ke kita, dapatlah kita ketahui
bagaimana “kualitas” tipu daya setan sekaliber Haramain ini. Mereka adalah
kelompok setan yang mampu meruntuhkan pertahanan kesabaran sahabat sekelas Abu
Bakar radiyallahu ‘anhu untuk tidak membalas cacian Arab Badui. Mereka
adalah golongan setan yang memperdaya sahabat Ka’ab bin Malik radiyallahu
‘anhu sehingga tidak menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dan pasukannya dalam Perang Tabuk yang membuatnya terkucil selama 50 hari.
Maka dapat disimpulkan bahwa tipu
daya mereka tidaklah kacangan. Mereka akan datang dengan sekeras-keras godaan.
Akan dihampirinya kita dengan bujuk rayu yang memperdaya. Sehingga terlepaslah
satu persatu simpul niat yang sudah dicanangkan dari tanah air untuk
melaksanakan ibadah ini dan itu.
Cerita dari mereka yang biasa
menjadi muthowif (guide), lazim ditemui jamaah umroh yang pada akhirnya justru
lebih memilih sholat di hotel meskipun jarak antara hotel dan Masjidil Haram
hanya “sepelemparan batu”. Ada saja yang memberatkan langkah mereka, seperti tidak
mau repot naik-turun lift, lelah dan malas jalan kaki. Bahkan meskipun
ada bis yang stand by antar-jemput, masih ada saja yang lebih memilih
tinggal di hotel. Ah, sayang sekali rasanya uang puluhan juta itu kalau hanya
untuk numpang tinggal di hotel.
Yang lebih parah lagi, ada juga
kasus jamaah yang akhirnya “membina hubungan gelap” antara jamaah lain
sekembalinya mereka ke Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka pergi umroh
sendiri-sendiri tanpa ditemani mahrom. Akhirnya, karena terbiasa
menghabiskan waktu bersama, timbullah jalinan perasaan diantara mereka. Seperti pepatah Jawa bilang,
witing tresno jalaran soko kulino. Bermula dari intensitas “kebersamaan”
yang tinggi ketika umroh, lalu tukar menukar nomor handphone, hingga
akhirnya komunikasi berlanjut menembus batas kelaziman.
“Ya Allah, kami berlindung
dari keburukan-keburukan tersebut”
Selain faktor setan yang lebih berkelas
tadi, saya jadi penasaran apa sebenarnya faktor lain yang menyebabkan banyak
jamaah umroh “tertipu/terpedaya”. Selagi memikirkan ini, saya jadi teringat
dengan kasus yang sering kita jumpai ketika Ramadhan.
Sudah jadi rahasia umum bahwa
menjelang datangnya bulan Ramadhan, banyak umat muslim yang mencanangkan target
ibadah seperti khatam al-Qur’an sekian kali, sholat malam sekian raka’at,
sedekah sekian rupiah, dan sebagainya. Tapi pada akhirnya banyak dari target
tersebut yang gugur hanya di “babak penyisihan”. Hal itu terjadi karena mereka
belum melazimkan ibadah-ibadah tersebut sebelum Ramadhan tiba. Ketidakbiasaan sprint
itu mengakibatkan jasmani dan ruhani akan mudah lelah.
Sama halnya dengan kasus jamaah
umroh, sekiranya mereka tidak membiasakan diri untuk sholat wajib berjamaah di
masjid setiap harinya, maka keengganan untuk melaksanakan hal itu juga akan
timbul sekalipun mereka berhadap-hadapan langsung dengan Masjidil Haram atau
Masjid Nabawi. Jasmani dan ruhani mereka akan kepayahan di hari-hari awal karena
shock diajak bekerja keras.
Lain halnya jika mereka
melazimkan ibadah-ibadah tersebut sejak di Indonesia. Meskipun setan
membisikkan rayuan mautnya, Insya Allah hal itu tidak akan sampai melenakan
karena jasmani dan ruhani mereka telah terbiasakan melakukan berbagai ibadah
tersebut. Alhasil target-target ibadah selama di Haramain akan lebih
mudah dicapai.
Oleh karena itu, saya berpesan
khususnya kepada diri sendiri, sebelum Allah mendatangkan kesempatan berharga
itu, yaitu menunaikan ibadah umroh dan haji, ada baiknya kita biasakan diri
kita untuk beribadah sebaik-baiknya sehingga ketika kesempatan umroh atau haji itu
tiba, kita dapat memaksimalkan kesempatan itu untuk sepenuhnya menghambakan
diri di hadapan Ilahi.
***
Kasus ini sebenarnya bukan hanya terjadi
pada konteks ibadah umroh atau haji saja, melainkan juga pada konteks ibadah lain,
misalnya ibadah sedekah. Ada yang berniat ingin banyak bersedekah kalau sudah
kaya. Tapi niscaya “niat baik” ini akan mudah menguap kalau hal itu tidak
dibiasakan semenjak sebelum kaya.
Sambil menuliskan ini, di bilah
otak saya yang lain pun sebenarnya saya sedang memikirkan diri sendiri. Terlalu
banyak hal yang harus saya evaluasi. Ada begitu banyak waktu yang berlalu
begitu saja tanpa capaian apa-apa. Dulu, selagi masih di Indonesia, ada banyak
sekali target yang ingin saya capai di Saudi. Tapi begitu sampai di sini,
semangat untuk mencapai target itu seringkali timbul-tenggelam. Duh, semoga
lebih banyak timbulnya daripada tenggelamnya.
#Asrama 27, King Saud University
0 comments:
Post a Comment