Sudah menjadi kewajiban bagi
manusia untuk senantiasa ber-istighfar kepada Allah Ta’ala atas segala
kemaksiatan yang telah dilakukan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam sendiri ber-istighfar 100 kali dalam sehari, padahal beliau
telah dijamin masuk surga. Maka seharusnya manusia biasa seperti kita lebih
banyak lagi memohon ampun.
Istighfar sendiri berasal
dari kata maghfirah. Dalam bahasa Arab maghfirah sering diartikan
sebagai “ampunan”, tapi kata aslinya berasal dari kata mighfar, yang
berarti “menutupi sesuatu”. Mighfar berarti seperti helm. Jika seorang pengendara
motor memakai helm, maka dia tidak akan dikenali oleh orang lain. Setelah
helmnya dibuka, barulah ia dapat dikenali. Itulah arti dari kata mighfar,
yaitu untuk menutupi.
Ketika kita memohon maghfirah
kepada Allah, maka pada hakikatnya kita meminta-Nya agar menutupi dosa-dosa
kita. Dosa manusia memang tidak bisa di-indera ketika mereka masih hidup di
dunia, tapi ketika tiba hari penghitungan, kelak mereka akan segera sadar bahwa
dosa-dosa mereka teramat sangat buruk, busuk, bau, hina, dan menjijikan. Maka
pada hari itu kita tidak mau melihatnya dan kita juga tidak mau orang lain
melihatnya. Hanya dengan maghfirah-Nya lah segala aib tersebut dapat
tertutupi.
Kata istighfar memiliki tiga
makna. Makna yang pertama adalah “meminta ampunan”. Orang yang sedang melafadzkan
kalimat istighfar maka berarti ia sedang meminta ampunan dari Allah. Sama
seperti orang yang melafadz istath’ama yang berarti dia sedang “meminta
makan”. Atau yang lebih sering kita dengar, istisqo, yang berarti
meminta air (hujan).
Adapun makna yang kedua dari kata
istighfar adalah “menginginkan ampunan” Kalau makna yang pertama adalah
perkara lisan, yaitu dengan melafadzkannya, maka makna yang kedua adalah
perkara hati, yaitu dengan menghadirkan keinginan yang kuat di dalam hati agar
diampuni oleh Allah.
Kadang seseorang meminta ampunan,
tapi dari sikapnya, perhatiannya, dan tindak-tanduknya nampak jelas bahwa ia
tidak menginginkan ampunan. Kita sering melihat orang melafadz istighfar,
tapi di saat yang sama dia senyam-senyum untuk sesuatu yang tidak jelas. Tidak
jarang kita juga menyaksikan orang melantunkan istighfar, tapi
pandangannya beredar kemana-mana yang menandakan dia sedang sibuk memikirkan
hal lain (psikologi mode: on). Lisannya komat-kamit, tapi hatinya entah sedang
tamasya kemana. Maka kita tidak seharusnya ber-istighfar sampai kita
sadar dan mengingat akan kelakuan buruk yang telah kita lakukan.
Makna ketiga dari kata istighfar
adalah “mencoba untuk diampuni”. Maksudnya, selain meminta ampunan dan
menginginkan ampunan, kita juga harus melakukan sesuatu agar diampuni. Artinya,
ada usaha yang dilibatkan dalam istighfar. Jika kita memohon dan
menginginkan ampunan karena telah berkata kotor, maka usaha kita agar mendapat
ampunan adalah dengan mengganti kata-kata kotor dengan kata-kata baik. Jika
kita meminta ampunan kepada Allah karena telah merampas hak tetangga, maka mengganti
hak mereka adalah usaha kita untuk mendapat ampunan tersebut. Dan seterusnya.
Jadi ketika seseorang ber-istighfar,
maka sejatinya ada tiga hal yang terlibat, yaitu lisan, hati, dan perbuatan. Jika
salah satu dari ketiga komponen tersebut tidak dilibatkan, maka sebenarnya dia
tidak sedang sungguh-sungguh meminta ampunan. Apa yang ia lafadzkan hanyalah
legalitas formal atau kebiasaan berulang yang mungkin bahkan tidak disadarinya.
Hal tersebut sama seperti orang
yang mengatakan istath’ama (meminta makan). Sekiranya dia benar-benar
merasa lapar, maka selain meminta dan menginginkan makanan, dia juga akan berjuang
untuk mendapatkan makanan, entah dengan memasak atau pergi ke restoran. Begitu
juga ketika orang benar-benar merasa berdosa, maka “jihad”nya akan mengiringi
lisan dan hatinya dalam meminta ampunan. Tidak hadirnya “jihad” dalam istighfar
adalah pertanda dia merasa tidak berdosa dan tidak serius membutuhkan ampunan.
Disarikan dari kajian Ustadz
Nouman Ali Khan (dengan beberapa perubahan).
#Asrama 27, King Saud University
0 comments:
Post a Comment