Hampir tiga bulan saya tinggal di
Saudi. Sedikit-sedikit saya sudah mulai memahami karakter dan sifat mereka yang
kadang membuat saya tersenyum, tapi tidak jarang pula membuat saya mengelus
dada. Ada sebagian dari mereka yang super duper baik. Tapi tidak sedikit pula
yang kebalikannya.
Bisa dibilang, kalau mentalnya orang Saudi sudah seperti Abu Bakar, baiknya itu “gak ketulungan”. Ringan sekali tangannya
untuk menolong. Pernah seorang dosen disini berkata kepada mahasiswa Indonesia,
“Kalian kalau sudah dapat LoA (beasiswa), silahkan diurus. Datanglah ke Saudi.
Kalau kalian tidak betah, silahkan pulang lagi ke Indonesia. Yang penting
kalian sudah haji.” Bagi saya, perkataan ini terasa sangat menentramkan. Beliau
memahami bahwa kondisi lingkungan di Saudi sangat berbeda dengan di Indonesia.
Hal itu berpotensi besar membuat mahasiswa tidak betah. Nah, beliau melapangkan
hati kami dengan mempersilahkan kembali ke Indonesia kalau kami tidak betah di
Saudi, asalkan rukun Islam kelima telah ditunaikan.
Ada pula pengalaman kawan-kawan
yang dibantu oleh para syaikh untuk berbagai urusan, mulai dari penyediaan sarana
tempat tinggal (bagi yang membawa keluarga), sarana penunjang belajar, bahkan sampai
urusan finansial. Ah, menentramkan sekali rasanya.
Meski demikian, tidak jarang pula
orang Saudi yang bermental sebaliknya. Bahkan berita buruknya, sampai bulan
ketiga ini saya lebih sering bertemu dengan mereka yang berjenis “ini” di
kampus. Sehingga banyak urusan menjadi repot dan berbelit. Apa yang menjadi hak
kita, bisa jadi tidak kita terima. Dan apa yang bukan hak mereka, bisa jadi
mereka tuntut.
Ah, saya teringat dulu ketika akan
berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, di bagian penyetoran bagasi ada orang Arab
yang komplain karena dia tidak diperbolehkan memasukkan barang bawaannya ke
bagasi. Sebabnya sederhana, kelebihan beban. Dia terlihat ngotot kepada petugas
yang kebetulan saat itu perempuan. Saya yang merasa kasihan, baik kepada petugas
maupun orang Arab tersebut, mencoba menengahi. Saya lihat di timbangan, beban
bawaan orang Arab itu memang berlebih dan lebihnya lumayan banyak, sekitar 5 kg
kalau tidak salah. Saya mencoba menjelaskan semampu saya bahwa dia harus membayar extra charge untuk bawaannya,
tapi dia tidak mau dan memaksa petugas untuk membolehkan tanpa harus membayar
lebih. Petugas tetap tidak mengizinkan. Akhirnya orang Arab itu pergi dengan
bersungut-sungut.
Beda lagi dengan kisah teman.
Waktu itu dia sedang berada di terminal di Jeddah. Ketika sedang menunggu bis,
datanglah orang Saudi menemui seorang petugas dan ingin naik bis juga. Ketika
dilihat tiketnya, petugas bilang bisnya sudah berangkat beberapa jam yang lalu.
(Ingat, beberapa jam yang lalu lho.) Tapi orang Saudi ini tidak mau tau, dia ingin
tetap naik bis dengan tiket yang sama, tanpa harus membeli lagi. Dia berargumen
keterlambatannya datang ke terminal bukan karena kesalahannya, tapi karena salah
jalanan yang macet total. Saya yang mendengar cerita ini agak terkekeh sambil
mengernyitkan dahi. Kok ada ya yang seperti itu? Celakanya, teman saya bilang
hal itu biasa bagi orang Saudi. *tepok jidat.
Cerita lainnya, seorang mahasiswa
Indonesia terpaksa rela bekerja part-time tanpa bayaran di kampus selama
satu semester. Karena setiap kali meminta haknya (yang dibayar di akhir semester),
dia selalu dioper kesana-kesini sampai akhirnya dia menyerah karena begitu
melelahkan, baik fisik maupun hati. Dan masih banyak kisah lainnya yang mengundang
tarikan nafas panjang, baik yang saya alami sendiri maupun orang lain.
Berbagai kisah ini menyeret saya
untuk merefleksikan kisah dakwah Rasulullah saw. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana beratnya perjuangan beliau dalam menyiarkan Islam di tengah kaum yang
“ngeyel” ini. Tak terbayang luar biasa sabarnya beliau dalam menghadapi kaumnya
sendiri. Saya yang baru berapa bulan saja rasanya sudah sangat sewot. Bawaannya
pengen ngomel aja :).
Benar-benar didikte menjadi sabar
oleh orang Saudi.
Asrama 27 kamar 301
0 comments:
Post a Comment