Kisah ini agak konyol sebenarnya,
tapi saya mau menuliskannya karena saya ingin. Kalau tidak ingin, ya, tidak
saya tuliskan.
Jadi, saya baru saja “mendarat”
di rumah saya (Tangerang) beberapa hari lalu karena ada urusan di Jakarta. Nah,
dua malam yang lalu, saya dikunjungi oleh Tompi (bukan nama sebenarnya, dan
bukan artis juga). Tompi ini, supaya kamu tau, adalah teman rumah saya. Teman
main sejak kecil, tapi usianya lebih tua dari saya. Kalau dihitung, mungkin
selisihnya tiga tahun. Kalau tidak dihitung selisihnya juga akan tetap tiga
tahun.
Untung tak dapat diraih, malang
tak dapat ditolak. Sekitar lima tahun lalu, Tompi mengalami kecelakaan yang
membuatnya kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Sejak itu, Tompi mengalami
keterbatasan dalam banyak hal. Dia kehilangan pekerjaannya sehingga setiap hari
dia lebih sering duduk di rumah. Dia juga jadi jarang keluar untuk sekedar
ngobrol atau nongkrong bareng teman-teman. Singkatnya, Tompi menghadapi
stressor yang luar biasa dahsyat.
Meskipun demikian, pada awalnya
saya melihat Tompi baik-baik saja dalam menghadapi semua ini. Akan tetapi sejak
kejadian kemarin malam saya mulai meyakini ada sesuatu yang berbeda dari dia
(psychologist mode: on).
Malam itu, sepulangnya saya
sholat Isya, dia sudah ada di rumah saya. Dia bawa motor saat itu. Kaget juga
saya, dengan kondisinya yang memiliki keterbatasan itu, masih berani juga dia bawa
motor “standar” (maksudnya tidak dimodif agar bisa sesuai dengan kondisinya –
mudah-mudahan kamu mengerti maksud saya).
Kami pun ngobrol panjang lebar
malam itu. Obrolan yang teramat sangat panjang dan lebar karena baru berakhir
pukul 03.30 pagi sejak dimulai pukul 19.30. Bagi saya yang sangat tidak
terbiasa begadang, diajak ngobrol selama itu sungguh merupakan ujian berat. Belum
lagi di luar banyak nyamuk-nyamuk Ibukota yang katanya lebih kejam dari Ibutiri
(Tompi menolak diajak ngobrol di dalam rumah), semakin membuat saya berkeluh
kesah. Tapi set mental saya sebagai seorang muslim yang juga memelajari
psikologi mengatakan: saya harus menemani Tompi karena dia jarang mendapat
teman ngobrol selama ini, selain dia juga seorang tamu yang harus saya
muliakan.
Anehnya, kalau saya perhatikan
obrolan panjang semalaman suntuk itu lebih seperti refleksi. Tompi sedang
merefleksikan pemikiran dan kejadian yang dia hadapi. Dia seperti berbicara
sendiri. Menyampaikan buah renungan-renungan yang selama ini berputar di
otaknya kepada saya. Sayangnya, ada banyak renungan-renungan itu yang menurut
saya keliru. Semisal, dia mengatakan bahwa sholat Tahajud lebih baik dilakukan
sesekali saja, yaitu saat kita benar-benar ingin, agar kita bisa benar-benar
khusyuk ketika mengerjakannya. Kalau sholat Tahajud dilakukan setiap malam,
nanti sholat itu jadi kurang spesial lagi. Begitu kira-kira logika Tompi.
Wahai Tompi, ingin sekali saya
mengatakan kepadamu bahwa ajaran untuk sering-sering sholat tahajud itu justru
datang dari Rasulullah saw dan merupakan kebaikan, tapi saya urungkan. Menurut
saya hal itu belum saatnya saya sampaikan kepadamu karena sebelumnya pun kamu telah
membantah saya dengan mengatakan: “Darimana kita tau gak berdosa? Emangnya kita
bisa melihat dosa?” ketika saya bilang bahwa Rasulullah saw yang tidak berdosa
dan dijamin masuk Syurga saja selalu tahajud sebagai bentuk syukur beliau. Sejujurnya
saya shock ketika kamu mengatakan hal itu, tapi saya tahan keterkejutan saya
dan tidak mendebatmu. Oleh karena itu, malam itu saya hanya berperan sebagai
pendengarmu saja. Semoga kamu senang.
Ketika hari sudah berganti (jam
12 malam lewat), Tompi jadi lebih sering diam. Percakapan diantara kami
berlangsung singkat-singkat saja. Jam 02.30, setelah sunyi yang cukup lama,
Tompi mengagetkan saya dengan mengatakan: Nyari nasi goreng, yuk. Masya Allah…
Kaget bukan kepalang saya dibuatnya. Bro, itu sudah jam 02.30 dan kami sudah
sangat lama ngobrol, saya kira dia akan bilang, “Saya pamit pulang ya”, tapi
nyatanya tidak. Malah justru mau nyari nasi goreng.
Ah, Tompi, tapi saya yakin
kamu sedang tidak bercanda. Maka saya turuti kemauanmu setelah sebelumnya saya
bertanya kepadamu, “Emang masih ada yang buka?” dan kau jawab, “Masih”.
Faktanya, setelah lebih dari
setengah jam berputar untuk mencari tukang nasi goreng, tidak satupun diantara mereka
yang kami temukan masih buka. Wajar lah, itu kan jam 02.30. Setelah
pencarian yang tidak membuahkan hasil itu, saya kira dia akan langsung segera
pulang, tapi nyatanya tidak. Dia kembali membuka obrolan dan pembukaan obrolan
ini yang kemudian mengantarkan saya pada satu kesimpulan bahwa ada yang tidak
beres pada diri Tompi.
Saat itu dia mengatakan, “Nah,
tadi kan kita sudah berputar-putar, sekarang kita sharing, apa yang kamu
lihat di perjalanan tadi? Lumayan buat bahan obrolan sampai pagi.”
Jeng..jeng..jeng.. Kalimat Tompi bagai
petir di hari yang bagus, benar-benar membuat saya kaget. Setidaknya ada dua
hal yang mengagetkan saya dari kalimatnya itu: (1) saya tidak mengerti apa yang
dia maksud dengan “melihat” dalam pertanyaannya itu. Saya menduga hal ini
berhubungan dengan metafisik; (2) dan ini yang sangat bikin shock, dia mau
ngobrol sampai pagi. Bundo….
Karena saya memang tidak paham
dengan pertanyaannya, maka saya jawab dengan berbalik tanya, “Maksudnya melihat
bagaimana, Tom?”
“Ya tadi kan kita sudah banyak
melewati tempat, mungkin kamu cerita apa saja yang kamu lihat.” Jawab Tompi
santai.
Otak saya segera membadai,
berusaha mencari tau apa maksud dibalik pertanyaannya ini, tapi untuk menutupi
badai itu, saya dahului dengan menjawab, “Ya tadi saya melihat orang ronda,
warung yang masih buka…”
“Itu kan yang jelas, yang
kelihatan, yang gak jelas kamu melihat juga kan? Soalnya tadi saya merasakan
motor saya bergetar, kamu seperti deg-degan.” Potong Tompi ketika saya berusaha
mengingat apa saja yang saya lihat.
Tuh kan, bener. Metafisik. Ah…
“Lah, yang jelas kelihatan aja
banyak yang terlewat, bagaimana mungkin saya bisa melihat yang gak jelas?”
timpal saya. Saya langsung merasa tidak nyaman dengan obrolan seperti ini
(Ingat, saya tidak nyaman, bukannya takut. Ini berbeda). Ditambah lagi dia juga
bilang bahwa saya deg-degan tadi. Jelas itu tebakan yang asal, hanya untuk
menguatkan pendapatnya.
“Gak apa-apa, kamu cerita saja.
Biar kita sharing.” Tompi mencoba meyakinkan saya.
“Saya harus cerita apa? Karena
memang saya tidak melihat apa-apa. Emangnya kamu melihat apa?” Akhirnya saya
balik tanya, walaupun sebenarnya saya tidak ingin membahas hal itu.
Diam dia. Lama juga dia diam. Dia
palingkan wajahnya ke arah sana, yaitu tidak menghadap saya. Saya kira
pertanyaan itu sudah membuat skak-mat, tapi oh sayang, tidak semudah itu
ternyata. Dia kembali membuat saya kaget dengan mengatakan, “Sudah boleh tuh
katanya. Kamu sudah diperbolehkan cerita. Tadi sudah saya tanya”
Oh, Tompi… rupanya kamu
memalingkan wajah supaya saya mengira kamu sedang berbicara dengan makhluk yang
saya tidak bisa melihatnya. Tompi, seandainya saya tidak sangat ngantuk dan masih
men-set mental saya sebagai seorang psikolog bagimu, maka saya akan pura-pura percaya
atas apa yang kamu lakukan kemudian mendengarkan analisismu sampai kamu merasa
senang. Tapi Tompi, sepandai-pandainya tupai melompat, dia tetaplah tupai,
bukan psikolog (gak nyambung). Psikolog profesional pun membatasi waktu
konselingnya hanya sekitar 2 jam, Tompi. Ini sudah 8 jam saya menemanimu. Saya
sudah tidak mampu menyembunyikan sisi “kemanusiawian” saya bahwa saya lelah.
Saya berusaha sekuat tenaga untuk
bisa menjaga perilaku saya agar tidak menyakiti perasaan Tompi ketika saya
sudah lelah dan dia malah mencoba membicarakan masalah metafisik, tapi sepertinya
saya gagal. Mungkin Tompi menangkap perilaku saya yang berubah itu, yang mulai
lelah dan semakin tidak nyaman karena obrolan metafisik itu. Tidak lama
kemudian, sekitar pukul 03.30, dia pulang.
Oh, Tompi, maafkan saya jika
kurang memahamimu. Saya ngantuk.
Sejujurnya saya sangat
mengasihani Tompi. Saya ingin agar dia bisa berdaya, setidaknya agar dia tidak
hanya diam di rumah, tapi apalah daya saya. Saya sudah pernah mencari info
tentang LSM yang dapat memberdayakan orang dengan keterbatasan fisik, berharap
agar Tompi bisa menjadi salah satu bagiannya, tapi belum juga saya temukan
tempat yang ideal itu. Saya semakin sedih jika Tompi pada akhirnya lebih
menekuni dunia metafisik. Saya semakin sedih jika ujian besar yang dia terima
justru semakin membuatnya “berbalik ke belakang”.
Oh, Tompi, maafkan saya.
Maafkan.
NB: Saya baru saja selesai
membaca buku yang agak “mendekonstruksi” tatanan bahasa, jadi harap dimaklumi
kalau bahasa saya di tulisan ini juga agak kacau.
#Kamar saya, yang kini jadi kamar
Fachrul
0 comments:
Post a Comment