August 15, 2015

Tompi dan Bukan Penyanyi


Kisah ini agak konyol sebenarnya, tapi saya mau menuliskannya karena saya ingin. Kalau tidak ingin, ya, tidak saya tuliskan. 

Jadi, saya baru saja “mendarat” di rumah saya (Tangerang) beberapa hari lalu karena ada urusan di Jakarta. Nah, dua malam yang lalu, saya dikunjungi oleh Tompi (bukan nama sebenarnya, dan bukan artis juga). Tompi ini, supaya kamu tau, adalah teman rumah saya. Teman main sejak kecil, tapi usianya lebih tua dari saya. Kalau dihitung, mungkin selisihnya tiga tahun. Kalau tidak dihitung selisihnya juga akan tetap tiga tahun.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sekitar lima tahun lalu, Tompi mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Sejak itu, Tompi mengalami keterbatasan dalam banyak hal. Dia kehilangan pekerjaannya sehingga setiap hari dia lebih sering duduk di rumah. Dia juga jadi jarang keluar untuk sekedar ngobrol atau nongkrong bareng teman-teman. Singkatnya, Tompi menghadapi stressor yang luar biasa dahsyat.

Meskipun demikian, pada awalnya saya melihat Tompi baik-baik saja dalam menghadapi semua ini. Akan tetapi sejak kejadian kemarin malam saya mulai meyakini ada sesuatu yang berbeda dari dia (psychologist mode: on).

Malam itu, sepulangnya saya sholat Isya, dia sudah ada di rumah saya. Dia bawa motor saat itu. Kaget juga saya, dengan kondisinya yang memiliki keterbatasan itu, masih berani juga dia bawa motor “standar” (maksudnya tidak dimodif agar bisa sesuai dengan kondisinya – mudah-mudahan kamu mengerti maksud saya).

Kami pun ngobrol panjang lebar malam itu. Obrolan yang teramat sangat panjang dan lebar karena baru berakhir pukul 03.30 pagi sejak dimulai pukul 19.30. Bagi saya yang sangat tidak terbiasa begadang, diajak ngobrol selama itu sungguh merupakan ujian berat. Belum lagi di luar banyak nyamuk-nyamuk Ibukota yang katanya lebih kejam dari Ibutiri (Tompi menolak diajak ngobrol di dalam rumah), semakin membuat saya berkeluh kesah. Tapi set mental saya sebagai seorang muslim yang juga memelajari psikologi mengatakan: saya harus menemani Tompi karena dia jarang mendapat teman ngobrol selama ini, selain dia juga seorang tamu yang harus saya muliakan.

Anehnya, kalau saya perhatikan obrolan panjang semalaman suntuk itu lebih seperti refleksi. Tompi sedang merefleksikan pemikiran dan kejadian yang dia hadapi. Dia seperti berbicara sendiri. Menyampaikan buah renungan-renungan yang selama ini berputar di otaknya kepada saya. Sayangnya, ada banyak renungan-renungan itu yang menurut saya keliru. Semisal, dia mengatakan bahwa sholat Tahajud lebih baik dilakukan sesekali saja, yaitu saat kita benar-benar ingin, agar kita bisa benar-benar khusyuk ketika mengerjakannya. Kalau sholat Tahajud dilakukan setiap malam, nanti sholat itu jadi kurang spesial lagi. Begitu kira-kira logika Tompi.

Wahai Tompi, ingin sekali saya mengatakan kepadamu bahwa ajaran untuk sering-sering sholat tahajud itu justru datang dari Rasulullah saw dan merupakan kebaikan, tapi saya urungkan. Menurut saya hal itu belum saatnya saya sampaikan kepadamu karena sebelumnya pun kamu telah membantah saya dengan mengatakan: “Darimana kita tau gak berdosa? Emangnya kita bisa melihat dosa?” ketika saya bilang bahwa Rasulullah saw yang tidak berdosa dan dijamin masuk Syurga saja selalu tahajud sebagai bentuk syukur beliau. Sejujurnya saya shock ketika kamu mengatakan hal itu, tapi saya tahan keterkejutan saya dan tidak mendebatmu. Oleh karena itu, malam itu saya hanya berperan sebagai pendengarmu saja. Semoga kamu senang.

Ketika hari sudah berganti (jam 12 malam lewat), Tompi jadi lebih sering diam. Percakapan diantara kami berlangsung singkat-singkat saja. Jam 02.30, setelah sunyi yang cukup lama, Tompi mengagetkan saya dengan mengatakan: Nyari nasi goreng, yuk. Masya Allah… Kaget bukan kepalang saya dibuatnya. Bro, itu sudah jam 02.30 dan kami sudah sangat lama ngobrol, saya kira dia akan bilang, “Saya pamit pulang ya”, tapi nyatanya tidak. Malah justru mau nyari nasi goreng.

Ah, Tompi, tapi saya yakin kamu sedang tidak bercanda. Maka saya turuti kemauanmu setelah sebelumnya saya bertanya kepadamu, “Emang masih ada yang buka?” dan kau jawab, “Masih”.

Faktanya, setelah lebih dari setengah jam berputar untuk mencari tukang nasi goreng, tidak satupun diantara mereka yang kami temukan masih buka. Wajar lah, itu kan jam 02.30. Setelah pencarian yang tidak membuahkan hasil itu, saya kira dia akan langsung segera pulang, tapi nyatanya tidak. Dia kembali membuka obrolan dan pembukaan obrolan ini yang kemudian mengantarkan saya pada satu kesimpulan bahwa ada yang tidak beres pada diri Tompi.

Saat itu dia mengatakan, “Nah, tadi kan kita sudah berputar-putar, sekarang kita sharing, apa yang kamu lihat di perjalanan tadi? Lumayan buat bahan obrolan sampai pagi.” Jeng..jeng..jeng..  Kalimat Tompi bagai petir di hari yang bagus, benar-benar membuat saya kaget. Setidaknya ada dua hal yang mengagetkan saya dari kalimatnya itu: (1) saya tidak mengerti apa yang dia maksud dengan “melihat” dalam pertanyaannya itu. Saya menduga hal ini berhubungan dengan metafisik; (2) dan ini yang sangat bikin shock, dia mau ngobrol sampai pagi. Bundo….

Karena saya memang tidak paham dengan pertanyaannya, maka saya jawab dengan berbalik tanya, “Maksudnya melihat bagaimana, Tom?”

“Ya tadi kan kita sudah banyak melewati tempat, mungkin kamu cerita apa saja yang kamu lihat.” Jawab Tompi santai.

Otak saya segera membadai, berusaha mencari tau apa maksud dibalik pertanyaannya ini, tapi untuk menutupi badai itu, saya dahului dengan menjawab, “Ya tadi saya melihat orang ronda, warung yang masih buka…”

“Itu kan yang jelas, yang kelihatan, yang gak jelas kamu melihat juga kan? Soalnya tadi saya merasakan motor saya bergetar, kamu seperti deg-degan.” Potong Tompi ketika saya berusaha mengingat apa saja yang saya lihat.

Tuh kan, bener. Metafisik. Ah…

“Lah, yang jelas kelihatan aja banyak yang terlewat, bagaimana mungkin saya bisa melihat yang gak jelas?” timpal saya. Saya langsung merasa tidak nyaman dengan obrolan seperti ini (Ingat, saya tidak nyaman, bukannya takut. Ini berbeda). Ditambah lagi dia juga bilang bahwa saya deg-degan tadi. Jelas itu tebakan yang asal, hanya untuk menguatkan pendapatnya.

“Gak apa-apa, kamu cerita saja. Biar kita sharing.” Tompi mencoba meyakinkan saya.

“Saya harus cerita apa? Karena memang saya tidak melihat apa-apa. Emangnya kamu melihat apa?” Akhirnya saya balik tanya, walaupun sebenarnya saya tidak ingin membahas hal itu.

Diam dia. Lama juga dia diam. Dia palingkan wajahnya ke arah sana, yaitu tidak menghadap saya. Saya kira pertanyaan itu sudah membuat skak-mat, tapi oh sayang, tidak semudah itu ternyata. Dia kembali membuat saya kaget dengan mengatakan, “Sudah boleh tuh katanya. Kamu sudah diperbolehkan cerita. Tadi sudah saya tanya”

Oh, Tompi… rupanya kamu memalingkan wajah supaya saya mengira kamu sedang berbicara dengan makhluk yang saya tidak bisa melihatnya. Tompi, seandainya saya tidak sangat ngantuk dan masih men-set mental saya sebagai seorang psikolog bagimu, maka saya akan pura-pura percaya atas apa yang kamu lakukan kemudian mendengarkan analisismu sampai kamu merasa senang. Tapi Tompi, sepandai-pandainya tupai melompat, dia tetaplah tupai, bukan psikolog (gak nyambung). Psikolog profesional pun membatasi waktu konselingnya hanya sekitar 2 jam, Tompi. Ini sudah 8 jam saya menemanimu. Saya sudah tidak mampu menyembunyikan sisi “kemanusiawian” saya bahwa saya lelah.

Saya berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjaga perilaku saya agar tidak menyakiti perasaan Tompi ketika saya sudah lelah dan dia malah mencoba membicarakan masalah metafisik, tapi sepertinya saya gagal. Mungkin Tompi menangkap perilaku saya yang berubah itu, yang mulai lelah dan semakin tidak nyaman karena obrolan metafisik itu. Tidak lama kemudian, sekitar pukul 03.30, dia pulang.

Oh, Tompi, maafkan saya jika kurang memahamimu. Saya ngantuk.

Sejujurnya saya sangat mengasihani Tompi. Saya ingin agar dia bisa berdaya, setidaknya agar dia tidak hanya diam di rumah, tapi apalah daya saya. Saya sudah pernah mencari info tentang LSM yang dapat memberdayakan orang dengan keterbatasan fisik, berharap agar Tompi bisa menjadi salah satu bagiannya, tapi belum juga saya temukan tempat yang ideal itu. Saya semakin sedih jika Tompi pada akhirnya lebih menekuni dunia metafisik. Saya semakin sedih jika ujian besar yang dia terima justru semakin membuatnya “berbalik ke belakang”.

Oh, Tompi, maafkan saya. Maafkan.

NB: Saya baru saja selesai membaca buku yang agak “mendekonstruksi” tatanan bahasa, jadi harap dimaklumi kalau bahasa saya di tulisan ini juga agak kacau.


#Kamar saya, yang kini jadi kamar Fachrul

0 comments:

Post a Comment