“Dari dulu beginilah dunia, senang dan sedih
selalu dipergilirkan. Agar tidak euforia ketika senang tiba. Supaya tidak
melankolis saat sedih tertulis. Karena keduanya akan selalu saling
menggantikan.”
Dalam suatu kajian, guru saya
pernah berkata seperti ini: Senang dan susah itu datang silih berganti. Rahmat
Allah itu lebih dekat kepada orang-orang yang susah. Oleh karena itu,
seharusnya berbahagialah kalau orang yang sedang ditimpa kesusahan karena
dengan begitu dia sedikitnya akan mendapatkan dua kebaikan, pertama, Rahmat
Allah. Kedua, akan segera datang kepadanya kesenangan, karena tidak mungkin
hidup ini berisi kesusahan terus menerus (Al-Insyirah (94); 5-6). Sebaliknya,
orang yang sedang diberikan kesenangan seharusnya “berjaga-jaga” karena akan
datang padanya kesusahan.
Sebelum membahas susah dan senang
lebih jauh, saya akan memberikan sedikit pengantar tentang Rahmat Allah. Rahmat
Allah, dalam terminologi guru saya, memiliki tiga definisi. Pertama, Rahmat
Allah adalah kekayaan langit yang membuat hati kita dipenuhi oleh cinta dan
bahagia dengan segala yang baik (Rahmat Al-Imtitsaliyah). Kedua, Rahmat Allah
adalah kekayaan langit yang membuat hati kita dipenuhi oleh keinginan untuk
menjauhi dosa (Rahmat Al-Ijtinabiyyah). Ketiga, Rahmat Allah adalah kekayaan
langit yang membuat hati kita dipenuhi oleh rasa sayang dan cinta kepada sesama
(Rahmat At-Tarhimiyyah).
Nah, ketika kita sudah
mendapatkan ketiga macama Rahmat tersebut, maka sesungguhnya kita telah
menyelesaikan hidup kita. Menyelesaikan hidup berbeda dengan mengakhiri hidup.
Akhir hidup adalah urusan Allah (kapan, dimana, dan bagaimana), sedangkan
menyelesaikan hidup adalah urusan kita. Hidup harus segera diselesaikan agar
saat sakaratul maut datang kita tidak panik karena urusan yang belum selesai
itu. Sebaliknya, kita akan ikhlas meninggalkan kehidupan ini.
Kalau untuk dapat menyelesaikan
hidup kita membutuhkan Rahmat Allah dan Rahmat itu lebih dekat kepada
orang-orang yang susah, maka sejatinya kita lebih membutuhkan kesusahan
daripada kesenangan. Senang itu lebih dekat kepada kelalaian, sedangkan susah
lebih dekat kepada ketaatan. Sangat jarang manusia di bumi ini yang seperti
Abdurrahman bin Auf radiyallahu ‘anhu yang senantiasa istiqomah dalam
ketaatan ketika diberikan kesenangan. Sebaliknya, sangat banyak orang-orang
seperti Qarun di dunia ini, yang lalai ketika pintu dunia dibukakan untuknya.
Ketika konsep ini sudah
benar-benar mendarah daging dalam jiwa seorang muslim, maka sesungguhnya
kehidupan dunia ini sudah tidak akan menarik lagi baginya. Kalau mendapatkan
kesenangan, dia tidak akan euforia sehingga lalai dengan kewajibannya. Dia akan
ingat bahwa dibalik kesenangan ini akan datang masa-masa sulit. Pun begitu
ketika datang masa sulit, dia tidak akan dirundung sedih yang berlarut karena
yakin bahwa akan segera datang baginya kesenangan.
Ah, dari dulu beginilah dunia.
NB: Ini baru teori ya, jangan tanya
prakteknya sama saya, hehe.
#Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment