Belakangan ini saya memperhatikan
animo mahasiswa untuk melanjutkan studinya di luar negeri semakin meninggi.
Wajar sih, karena peluangnya memang semakin terbuka lebar. Beasiswa yang pemerintah
tawarkan untuk studi di luar negeri memang sangat menggiurkan. Apalagi sejak
ada LPDP, program beasiswa yang tidak kalah menterengnya dengan program
beasiswa dari luar, terutama dari segi tunjangan hidup.
Banyak alasan orang ingin studi
di luar negeri, ada yang karena memang ingin mencari kualitas kampus yang lebih
baik, ada yang cuma karena ingin merasakan tinggal di luar negeri, ada juga
yang hanya sekedar gengsi atau ikut-ikutan. Well, saya hanya bisa bilang:
Innamal a’malu binniyat. Amal itu tergantung niat dan mereka akan mendapatkan
sesuai apa yang mereka niatkan.
Meski studi di luar negeri
menawarkan banyak keuntungan, tapi perlu dicermati bahwa studi di luar negeri juga
bisa membuat kita (umat Islam) kehilangan beberapa nikmat, apalagi kalau kita
studi di negeri yang muslimnya menjadi minoritas, seperti kebanyakan di
negara-negara Eropa. Niscaya kita akan benar-benar merindukan nikmatnya tinggal
di Indonesia. Beberapa nikmat yang (menurut saya) hilang itu diantaranya adalah:
a.
Hilangnya Romantisme
Mendengar Senandung Adzan
Di negara-negara yang muslimnya menjadi minoritas, terutama
di Eropa, suara adzan tidak boleh dikumandangkan dengan menggunakan speaker
karena menurut mereka itu adalah hal yang mengganggu. Kita akan merasakan
betapa berbedanya suasana di sana dibandingkan dengan di Indonesia. Tidak ada
lagi suara muadzin yang sahut-menyahut di langit untuk mengingatkan bahwa waktu
sholat telah masuk, kemudian mengajak kita sholat berjamaah. Kita harus selalu
sadar dan ingat kapan waktu sholat itu tiba. Jika lalai, maka bisa jadi kita
tidak sadar bahwa kita telah masuk waktu sholat berikutnya. Terlebih waktu
sholat di Indonesia dengan di Eropa sangat berbeda.
Kalau kita datang ke masjid bersamaan dengan waktu
sholat tiba, mungkin kita masih beruntung bisa mendengarkan suara adzan karena
muadzin tetap boleh adzan di dalam masjid tanpa speaker. Akan tetapi apakah
kita selalu bisa seperti itu? Dan lagi, romantisme ketika langit ramai dengan
suara muadzin yang mengagungkan asma Allah tidak akan bisa terganti dengan
hanya mendengarkan suara seorang muadzin di dalam masjid saja.
b.
Hilang/Berkurangnya
Kesempatan I’tikaf (Berdiam Diri di Masjid)
Tidak semua masjid buka 24 jam. Ada masjid yang hanya
dibuka ketika waktu sholat tiba dan ditutup lagi setelah sholat berjamaah
selesai dilaksanakan. Bagi mereka yang tau keutamaan berdiam diri lebih lama di
masjid, hal ini tentu akan sangat merugikan. Ada banyak sekali kebaikan yang
akan berkurang atau hilang, misalnya kebaikan didoakan oleh malaikat, diampuni
dosa, dihujamkan ketenangan, dan ditumbuhkan rasa cinta kepada Allah.
c.
Rusaknya Sholat Berjamaah
Bagi laki-laki, saya bisa mengatakan bahwa studi di
luar negeri bisa menjadi pintu utama dalam merusak kebiasaan mereka dalam sholat
berjamaah. Ada banyak sekali penghalangnya, mulai dari letak masjid yang sangat
jauh, suara adzan yang tidak berkumandang
sehingga tidak menyadari bahwa waktu sholat telah masuk, hingga cuaca
yang tidak bersahabat, terlebih ketika memasuki musim dingin. Alhasil, kalau
tekad tidak kuat, maka penghalang-penghalang tersebut akan selalu menjadi
pembenaran bagi kita untuk tidak sholat berjamaah.
d.
Terbatasnya Makanan Halal
Beruntung kalau kita tinggal di negara yang memiliki
kelompok umat muslim yang kuat karena biasanya mereka akan memfasilitasi umat
muslim lainnya dalam banyak hal, terutama penyediaan makanan halal. Di Belanda
misalnya, ada komunitas muslim dari Turki yang sangat kuat (meski mereka tetap
menjadi minoritas di Belanda). Mereka memiliki beberapa toko yang menyediakan
makanan-makanan halal, baik yang mentah maupun yang sudah siap santap. Meskipun
dalam beberapa hal harganya bisa lebih mahal.
Masalah harga ini saya lihat cukup menjadi penggoyah
juga bagi beberapa orang sehingga tidak sedikit yang akhirnya memilih membeli
di tempat yang harganya lebih murah meskipun tidak jelas kehalalannya. Pertanyaannya,
tidakkah kita khawatir dengan nasib kita ketika datang hari penghisaban nanti?
e.
Terbatasnya Majelis Ilmu
Kalau di Indonesia, kita bisa dengan mudah menemukan
majelis ilmu di masjid-masjid. Tetapi kalau di luar negeri tidak semudah itu.
Majelis ilmu cukup jarang dilaksanakan dan kalaupun dilaksanakan, biasanya
menggunakan bahasa “mereka” masing-masing. Di Belanda misalnya, karena banyak
imigran dari Turki, biasanya majelis ilmu mereka juga menggunakan Bahasa Turki.
Ada juga majelis ilmu yang menggunakan Bahasa Belanda dan Arab. Saya sendiri
belum pernah menemukan majelis ilmu yang menggunakan Bahasa Inggris. Beruntung
teman-teman dari Indonesia punya majelis ilmu sendiri yang biasanya diadakan
sepekan sekali.
Well, mungkin kita masih bisa mengobati kerinduan
bermajelis seperti di Indonesia dengan cara mendengarkan via web streaming. Tapi
perlu diingat juga bahwa kita akan banyak kehilangan berkah dari majelis ilmu
kalau kita hanya mendengar via web streaming, misalnya berkah berkumpul bersama
orang sholih, berkah menempuh perjalanan menuntut ilmu (kan kalau web steaming
tinggal duduk di depan laptop sambil ngemil :p), serta berkah berdiam diri di
masjid.
Dengan berbagai nikmat yang
banyak berkurang itu, maka muslim yang baik harus benar-benar memperhitungkan
jika ia hendak belajar ke luar negeri yang minoritas muslim. Sehingga
kepergiannya ke sana dapat membuat kualitas dirinya sebagai hamba Allah
bertambah-tambah, bukan justru semakin terkikis dan tergerus karena pengaruh
negeri yang dikunjungi. Harus diingat bahwa kerugian bukanlah ketika kita gagal
pergi ke luar negeri, tapi kerugian adalah ketika kita jauh dari Allah. Meskipun
gagal ke luar negeri, tapi kalau tambah dekat dengan Allah, maka sejatinya dia
untung.
#Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment