Saya sedang berada di Kediri
untuk keperluan penelitian tesis. Saya berangkat dari Jogja hari Kamis
(07/05/15) pukul 05.30 WIB dengan menggunakan sepeda motor. Sendiri!!! Kemudian
sampai di gerbang Kediri (perbatasan Nganjuk) sekitar pukul 11.15 WIB. Tiba di
daerah kota sekitar pukul 12.00. Well, tapi di sini saya bukan ingin
membicarakan perjalanan saya, melainkan hal lain. Semoga di kesempatan
berikutnya saya bisa menuliskan pengalaman touring sendirian itu agar bisa
dikenang. Hehe.
Dalam tulisan ini, saya ingin
menceritakan tentang fenomena yang saya anggap aneh. Jadi, sehari setelah
sampai di Kediri, yaitu hari Jumat, saya mengurus perizinan pengambilan data ke
Badan Kesbangpolinmas. Siangnya, saya memutuskan untuk sholat Jumat di Masjid
An-Nur, Masjid Agung yang ada di Kecamatan Pare. Seperti kebanyakan Masjid
Agung, jamaah sholat Jumat di Masjid An-Nur juga sangat banyak. Untung
masjidnya besar, mungkin 2x lebih besar dari Maskam UGM yang memiliki daya
tampung lebih dari 2000 jamaah.
Masjid An-Nur Pare (Sumber: Google) |
Setelah Jumatan selesai, saya
memutuskan untuk tetap berada di masjid hingga Ashar karena beberapa alasan.
Singkat cerita, tibalah waktu Ashar. Karena wudhu saya belum batal, maka
setelah adzan saya langsung sholat rawatib. Kekagetan pertama saya adalah,
begitu saya selesai sholat rawatib, muadzin langsung iqomat. What? Cepat
sekali, padahal saya berniat tilawah Qur’an. Jeda antara adzan dengan iqomat di
masjid sebesar itu menurut saya tergolong sangat cepat, bahkan mungkin lebih
cepat daripada musholla kecil dekat kost saya.
Kekagetan saya kemudian berlanjut
ketika melihat jumlah jamaah yang hadir ketika sholat sudah dimulai. Hanya 4
orang!!! Plus 1 imam (dan sepertinya ada 1 jamaah putri di sebelah kanan).
Masya Allah… Saya benar-benar geleng-geleng kepala menyaksikan hal ini. Masjid segede
gaban dan terletak di tengah kota gitu jamaah Asharnya cuma 4 orang? Ini
serius? Well, ketika salam saya memang melihat ada jamaah masbuk, sehingga
totalnya 8 orang. Tapi tetap saja jumlah segitu masih tidak sebanding dengan
megahnya bangunan masjid. Bahkan Musholla dekat kost saya yang kecil mungil
saja bisa lebih dari 10 orang jamaah sholat Asharnya. Pertanyaan saya adalah,
kemana ribuan jamaah yang tadi sholat Jumat?
Oya, sebelum sholat dimulai saya
melihat ada tiga orang remaja yang ngobrol-ngobrol di selasar masjid. Saya
perhatikan sudah cukup lama mereka ada di situ, mungkin sudah satu jam. Nah,
ketika salam, saya melihat ketiga remaja tadi masih ngobrol-ngobrol di masjid.
Ini membuat kekagetan saya bertamabah-tambah, menjadi tiga. Masya Allah… Hal
ini benar-benar tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Bagaimana mungkin,
orang yang sudah ada di masjid, mendengar dengan jelas adzan dan iqomat, tapi
tidak ikut melaksanakan sholat berjamaah? Edan!!! Saya garuk-garuk kepala
memikirkan hal ini. Bagi saya ini tidak logis. Sangat sangat tidak logis.
Saya jadi bertanya-tanya, mengapa
masjid dibangun sebesar ini kalau belum bisa dimakmurkan secara maksimal?
Padahal perintah untuk memakmurkan masjid datang langsung dari Allah:
“Hanya yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian…” (At-Taubah (09) : 18)
Kalau begini keadaannya,
rasa-rasanya bukan masyarakat yang memakmurkan masjid, tapi masjid lah yang
dijadikan simbol kemakmuran masyarakat, sekaligus juga simbol kebanggaan. Duh,
semoga kejadian yang saya alami itu cuma insidental yah. Artinya, itu terjadi
hanya saat itu saja. Mudah-mudahan biasanya masjid itu ramai dengan orang yang
mau beribadah.
#Pare – Kediri
Benar...seperti itulah ironisnya masjid besar An Nuur Pare yg bangunannya saja yg megah tapi sayang sekali saat ini menuju apa yg umum di masa sekarang...masjid yg menjauhkan umatnya dari masjid..masjid yg hanya didatangi saat selesai adzan sholat jamaah dan selepasnya menjadi seperti kuburan tak boleh dimanfaatkan oleh umat bahkan mengusir umat yg sekedar menumpang berteduh sehabis perjalanan jauh, selesai sholat dan bicara muamalah di dekat ruang takmir. Sementara mungkin orang yg merasa sbg pengurus masjid tak merasa bersalah merokok di masjid. Sungguh masjid besar pare ini hanya jadi bangunan besar yg tak sanggup menjadi sarana pendekatan umat untuk masjid dan jika para pengurus masjid masih merasa seperti pejabat maka suatu saat nanti tak akan ada suara anak kecil yg ceria menemani ortunya yg mengenalkannya untuk sholat jamaah dan mencintai masjid atau jangan2 bahkan orang mengaji di sekitar ruang takmir pun akan disuruh pergi. Sungguh nasib masjid dan umatnya yg menggenaskan...masjid yg berlomba kemegahan dan tinggi bangunan tp tak bisa memberi manfaat lebih selain hanya sbg tempat sholat dan tempat aktivitas mereka yg katanya termasuk pengurus masjid. Masjid yg ekslusif ini begitu malang karena pengurusnya tak peduli/tak tahu sejarah ttg masjid masa Rasul dan tak bisa mengelola masjid dengan bijaksana. Sungguh beda dengan para pengurus masjid Jogokariyan Jogya..apalagi dibanding masa Rasulullah.
ReplyDeleteMasjid besar An Nuur Pare hanyalah sebuah masjid untuk sholat yg kemegahannya menjadi beban umat dan membuat umat tak dekat dengan masjid atau bisa jadi benci berdekat dengan masjid. Sungguh dakwah masjid yg telah gagal dilakukan oleh pengurusnya yg seolah merasa menjadi pemilik masjid.
Semoga masukan ini menjadi pertimbangan agar masjid besar Pare Kediri berbenah dan tidak menjadi seperti kantor perusahaan milik pribadi alias ekslusif yg mengusir umat yg berhak utk berteduh di masjid setelah sholat. Semoga ironi masjid megah tapi seperti kuburan akan berakhir. Masukan ini juga terbuka bagi masjid2 lain utk meninjau kembali sejarah masjid di masa Rasul agar berbenah diri menjadi pusat aktivitas umat Islam yg dicintai umatnya. Sekaligus meninjau kembali bagaimana seharusnya dana utk menggaji para pengurusnya.
Tembusan:
duniamasjid@islamic-center.or.id