Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui bahwa Gunung Kelud baru saja erupsi
Februari 2014 lalu. Dalam erupsi kejadian tersebut, banyak kerugian yang
diderita oleh masyarakat, baik itu kerugian materi maupun non materi. Kerugian
materi diantaranya adalah rusaknya ribuan rumah, sarana prasarana, lahan
pertanian, dan terganggunya pariwisata.
Selain kerugian materi, Koentjoro (2005) mengatakan bahwa
setiap kejadian bencana alam dapat menimbulkan gangguan psikologis berupa
kecemasan, stres, dan trauma bagi para korbannya. Tidak hanya orang dewasa,
Ronan & Johnston (2005) mengatakan bahwa remaja merupakan kelompok yang
berisiko tinggi terhadap bencana. Watson
(2003) mengatakan bahwa remaja memenuhi kriteria sebagai kelompok yang
“terganggu berat” akibat bencana, sedangkan orang dewasa hanya 32% dan 7% dari kelompok
relawan.
Salah satu kecamatan yang paling banyak menderita kerugian
pada erupsi Kelud lalu adalah Kec. Puncu. Satu-satunya SMA yang ada di Puncu
bahkan rusak berat yang menyebabkan remaja kehilangan aktivitas harian dan
ketidakpastian masa depan. Mereka membutuhkan pola adaptasi yang baik untuk
bisa segera kembali hidup normal seperti sebelum terjadi bencana.
Penelitian ini dilakukan di SMA N 1 Puncu yang terletak di
Desa Asmorobangun, Kec Puncu, Kab Kediri
Kejadian bencana menyebabkan remaja menghadapi beberapa stressor, yaitu rasa takut, rasa bosan, rasa tidak pasti dan gangguan psikologis. Gangguan psikologis yang dapat muncul diantaranya kecemasan, stres, dan trauma. Oleh karena itu, remaja membutuhkan pola adapatasi yang baik, yaitu resiliensi. Resiliensi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya optimisme dan faktor demografi.
Tujuan penelitian ini ada empat, yaitu
1.
Menganalisis tingkat resiliensi remaja penyintas di
Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri pasca erupsi Kelud
2.
Menganalisis tingkat optimisme remaja penyintas di
Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri pasca erupsi Kelud
3.
Mengungkap faktor demografi yang paling berpengaruh
terhadap tinggi atau rendahnya resiliensi remaja penyintas di Kecamatan Puncu
Kabupaten Kediri pasca erupsi Kelud
4.
Menganalisis hubungan antara resiliensi dengan
optimisme dan faktor demografi pada remaja penyintas di Kecamatan Puncu
Kabupaten Kediri pasca erupsi Kelud
Landasan Teori
Luthar, dkk (2000) mendefinisikan
resiliensi sebagai suatu adaptasi positif terhadap kesengsaraan atau situasi
yang mengancam. Connor & Davidson menyatakan bahwa resiliensi terdiri atas
5 aspek, yaitu kompetensi diri, toleransi pada pengaruh negatif, menghadapi perubahan
dengan penerimaan yang positif, kontrol diri (pengendalian diri untuk mencapai
tujuan), dan pengaruh spiritual.
Herman, dkk (2011) menyebutkan bahwa resiliensi dipengaruhi
oleh 3 faktor, yaitu faktor personal (kepribadian), faktor biologis, dan faktor
sistem lingkungan, yang terdiri dari mikrosistem (keluarga dan teman) dan
makrosistem (komunitas, sekolah, dsb).
Seligman (2008) mendefinisikan optimisme sebagai keyakinan
individu bahwa kejadian buruk atau kegagalan yang menimpa hanya bersifat sementara,
tidak akan memengaruhi semua aktivitas, dan bukan mutlak disebabkan oleh
kesalahan diri.
Optimisme terdiri dari tiga aspek (Seligman, 2008), yaitu
permanence, pervasive, personalization.
Kemudian beberapa penelitian menyatakan bahwa resiliensi
berkorelasi dengan faktor demografi. Barends (2004) mengungkapkan bahwa faktor
usia, jenis kelamin, ras, dan pendapatan berhubungan erat dengan tinggi
rendahnya resiliensi individu.
Dari pemaparan masalah dan landasan teori yang tadi sudah
dijelaskan, peneliti menyusun hipotesis, yaitu terdapat hubungan positif antara
tingkat resiliensi dengan optimisme dan faktor demografi pada remaja.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
metode survei. Variabel dependennya adalah resiliensi dan variabel
independennya adalah optimisme dan faktor demografi. Faktor demografi terdiri
atas empat, yaitu jenis kelamin, struktur keluarga, tingkat pendapatan
keluarga, dan jumlah saudara kandung.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah menganalisis
resiliensi remaja penyintas bencana. Variabel utamanya adalah resiliensi. Data
resiliensi remaja dikumpulkan dengan menggunakan instrumen pengukuran berupa
skala resiliensi dari Connor dan Davidson (2003).
Tujuan kedua adalah menganalisis tingkat optimisme remaja
penyintas bencana. Variabel utamanya adalah optimisme. Data optimisme remaja
dikumpulkan dengan menggunakan instrumen pengukuran berupa skala optimisme yang
disusun berdasarkan teori Seligman (2008).
Tujuan ketiga adalah mengungkap faktor demografi yang paling
berpengaruh terhadap tingkat resiliensi remaja. Variabel utamanya adalah faktor
demografi. Data faktor demografi dikumpulkan dengan menggunakan isian identitas
diri.
Tujuan keempat adalah menganalisis hubungan antara resiliensi
dengan optimisme dan faktor demografi pada remaja. Ada tiga variabel, yaitu
resiliensi sebagai variabel dependen, serta optimisme dan faktor demografi
sebagai variabel independen. Data dikumpulkan dari instrumen pengukuran berupa
skala resiliensi, optimisme, dan faktor demografi.
Dalam penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan teknik
random sampling dimana jumlah sampelnya ditentukan dengan menggunakan rumus
Isaac & Micahel.
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh remaja
berusia 15-18 tahun yang ada di SMAN 1 Puncu, yaitu sebanyak 570 siswa.
Berdasarkan rumus Isaac & Micheal, jumlah siswa yang menjadi sampel
penelitian adalah 61 siswa. Karena di SMAN 1 Puncu ada 15 rombongan belajar,
maka di setiap rombel akan diambil 5 siswa untuk menjadi sampel. Pengambilan
sampel di tiap kelas dilakukan dengan menggunakan undian nomor urut absen.
Data dianalisis dengan beberapa tahapan, yaitu yang pertama
adalah skoring, kategorisasi, kemudian uji analisis regresi berganda.
Variabel resiliensi memiliki 4 alternatif respon yang
menggambarkan keadaan diri remaja, yaitu STS, TS, S, dan SS. Skoring bergerak
dari angka 1 sampai 4 dimana STS memiliki skor = 1, TS = 2, S = 3, dan SS = 4.
Variabel optimisme juga memiliki 4 alternatif respon dimana aitem-aitemnya
terbagi menjadi aitem favorable dan aitem unfavorable. Untuk aitem favorable,
nilai dari masing-masing respon adalah STS=1, TS=2, S=3, dan SS=4, sedangkan
untuk aitem unfavorable, nilainya adalah STS=4, TS=3, S=2, dan SS=1.
Setelah diskoring, langkah selanjutnya adalah melakukan
kategorisasi sebagai langkah pemberian makna (interpretasi) terhadap skor
mentah yang didapat dari skala penelitian. Skor total dikategorisasi berdasar
model distribusi normal menjadi tiga, yaitu rendah, sedang, dan tinggi sesuai
dengan rumus dari Azwar (2004).
Selanjutnya dilakukan uji analisis berganda. Sebelum
dilakukan uji analisis berganda, dilakukan uji asumsi, berupa uji normalitas,
uji linieritas, dan uji multikolinieritas. Uji normalitas untuk mengetahui
apakah apa penyimpangan frekuensi hasil penelitian dari frekuensi hipotetik.
Selanjutnya dilakukan uji linieritas untuk mengetahui linier atau tidaknya
hubungan antar variabel. Lalu dilakukan uji multikolinieritas untuk mengetahui
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel
independen.
0 comments:
Post a Comment