Dulu saya
pernah menjalani wawancara dengan seorang psikolog sebagai salah satu ujian
masuk di perusahaan BUMN. Beliau bertanya kepada saya, apa yang menjadi
kekurangan saya. Saya menjawab, kekurangan saya adalah saya mudah terpengaruh.
“Terpengaruh bagaimana maksudnya?”, beliau menyelidik. “Iya, saya mudah
terpengaruh. Contoh sederhananya begini, saya ingin beli sepatu dan tidak tau
harus membeli yang mana. Kemudian saya bertanya kepada penjaga toko, sepatu
mana yang bagus. Dia menunjuki sepatu sambil menerangkan kelebihannya kepada
saya. Maka saya akan cenderung memercayai omongan si penjaga toko itu kemudian
membeli sepatunya”, saya menjelaskan. “Oh, tapi tidak mudah terpengaruh dalam
urusan yang lebih prinsip?”, tanya beliau lagi. “Kalau yang prinsip saya tidak
mudah terpengaruh”, jawab saya.
Who am I? Siapa saya? Pertanyaan ini pertama kali saya
dapati ketika saya mengikuti ospek di Psikologi. Dulu saya menjawab sekenanya,
hanya untuk memenuhi syarat agar tidak dikenai sanksi karena tidak mengerjakan
tugas ospek. Dan pertanyaan yang sama kembali saya dapati hampir di tiap proses
kaderisasi dari organisasi yang saya ikuti. Who am I? Siapa saya? Jawaban saya
rasanya masih tidak jauh berbeda dengan jawaban ketika ospek dulu, hanya
sekedar formalitas untuk memenuhi tuntutan tugas saat itu.
Kini
pertanyaan itu kembali mengusik alam berpikir saya, tapi bukan karena orang
lain yang menanyakan, melainkan saya sendiri. Who am I?
Entah
mengapa saya jadi tertarik untuk menyelidiki dan mengenal lebih jauh diri saya
sendiri. Apakah karena sudah lama saya tidak belajar psikologi sehingga
kehausan? Atau karena ini memang merupakan kebutuhan manusia untuk mengenal
dirinya? Artinya, ini memang salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi.
Ah, entahlah. Saya tidak mau berpikir yang ruwet-ruwet dulu karena pikiran saya
pun sedang ruwet dengan tesis. Dalam tulisan kali ini, saya hanya ingin
membedah diri saya sendiri. Siapa saya?
Ketika
dihadapkan pada pertanyaan tersebut, orang-orang biasanya menjawab dengan
menyebutkan profesi, kedudukan, ciri sifat, cita-cita atau menjawabnya
berdasarkan tinjauan agama. Tidak ada yang salah dengan jawaban-jawaban itu
selama dijawab dengan jujur. *ini kayak mau ngasih kuesioner aja, haha. Saya
sendiri kali ini lebih menjawab dengan ciri sifat yang melekat pada diri saya.
Satu hal
yang belakangan saya sadari bahwa saya ini termasuk orang yang mudah
terpengaruh. Saya mudah percaya kepada orang lain. Ya, seperti yang sudah saya
ceritakan di awal tulisan, saya begitu mudah terbawa omongan orang, apalagi omongan
mereka yang baru saya kenal. Saya seperti tidak menaruh kecurigaan. Entah apa
sebabnya, tapi yang pasti hal ini kadang cukup mengganggu karena tidak jarang saya
ditipu. Saya seolah lupa, bahwa dunia ini dihuni oleh dua tipe manusia, yaitu
mereka yang baik dan jahat. Saya terlalu naïf sehingga menyangka semua orang
itu baik. Apalagi kalau tampilannya sudah mencerminkan bahwa dia itu baik. Ah,
makin lemahlah pertahanan saya. Makin mudahlah saya dibodohi.
Sifat mudah
terpengaruh ini tidak hanya melalui omongan sebenarnya, tapi juga melalui tulisan.
Ketika saya membaca buku A, maka pola berpikir saya akan sangat mudah terbawa
dengan pola berpikir penulis A atau isi dari buku A. Beralih ke buku B, maka
pola berpikir saya juga bisa dengan mudahnya switch to penulis B. Bahkan
tidak hanya pola berpikir sebenarnya, tapi juga gaya menulis. Ketika saya
membaca buku A, maka gaya menulis saya juga bisa terbawa dengan gaya si penulis
buku A. Edan!
Sisi
positifnya, saya merasa memiliki kemampuan replikasi yang cukup baik. Replikasi
yang saya maksud di sini bukanlah menyontek atau plagiasi isi/ide, tapi hanya
sekedar gaya penulisan. Style. Akan tetapi sisi negatifnya saya seperti
mengalami krisis identitas. Saya tidak punya orisinalitas. Sesuatu yang
mencirikan bahwa “inilah saya” karena apa yang saya tunjukan sebenarnya adalah “punya”
orang lain.
Dalam
lingkup yang lebih luas, saya merasa sampai saat ini saya hanya bisa menjadi
pengekor, bukan inovator. Pengikut, bukan pencetus. Jiwa saya bukan seperti jiwa-jiwa
para penemu yang punya ide-ide orisinil. Ah, padahal saya ingin sekali menjadi
penemu. I wanna be an inventor.
“Ya Allah,
hamba berlindung pada-Mu dari pengaruh-pengaruh yang tidak bermanfaat bagi
dunia & akhirat hamba”
Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment