Wow… Pressure yang saya
rasakan selama 2 pekan kebelakang benar-benar memaksa saya untuk bilang “wow”. Stressor
datang bertubi-tubi dengan rupanya yang beraneka ragam. Rupa yang paling dominan
muncul tidak lain dan tidak bukan, tentu dalam bentuk “tugas kuliah”.
Ya, selama 2 pekan ke belakang
saya benar-benar dibuat mati gaya oleh tugas kuliah. Hampir semua dosen
memberikan tugasnya masing-masing. Semua tugas berformat paper. Banyak paper
kelompok, tapi ada juga yang individu. Dan semua itu harus dipresentasikan
dalam waktu yang berdekatan. Andai saja tugas-tugas itu mengenal aturan
muhrim/bukan muhrim, tentu saya sudah melarang mereka untuk berada di waktu
yang berhimpit. Tapi karena tidak ada aturan itu, maka saya pasrah saja melihat
mereka berkhalwat. Saking dekatnya, kemarin bahkan ada hari dimana saya harus
presentasi di semua matakuliah pada hari itu. Edan!
Sekedar refleksi, meski tugas
kelompok terlihat lebih ringan karena tanggung jawab bisa didistribusikan ke
semua anggota, tapi rupanya hal ini yang paling menyita energi psikologis. Ego
yang enggan untuk merunduk dan komitmen yang terpecah belah karena tiap anggota
juga punya tugasnya masing-masing, baik individu maupun kelompok, membuat
friksi antar anggota menjadi penghias kegiatan kami selama mengerjakan tugas. Untunglah
tidak sampai mutung-mutungan. Yah, sudah S2 juga sih, malulah kalau masih suka
mutung.
Well, karena kesibukan tersebut,
mau tidak mau saya harus mengubah pola hidup dan tidur saya. Mungkin kalau dirata-rata,
dalam 2 pekan kemarin saya cuma tidur 3-4 jam sehari. Yah, kadang-kadang bisa “nyolong”
tidur di kelas waktu jeda antar kuliah sekitar setengah jam. Meski begitu,
tetap saja ada efek sampingnya. Kondisi kebugaran dan kesehatan saya jadi tidak
stabil. Saya jadi mudah sekali nge-drop.
***
Meski kurang menyenangkan, tapi
saya bersyukur telah diberikan kesempatan mencicipi fase tersebut. Karena fase
itu, saya terpantik untuk melakukan satu eksperimen yang teori dasarnya saya
dapati sewaktu dulu menyaksikan acara semacam motivasi di televisi.
Narasumber dalam acara tersebut
memaparkan materi tentang The Power of Doing Nothing. Well, pada intinya
beliau menganjurkan pemirsa untuk tidak melakukan apa-apa ketika kita merasa
tak berdaya atau lelah dengan rutinitas kita. Tidak pula memikirkannya.
Pokoknya, bebaskan pikiran dan tindakan dari rutinitas tersebut. Jika hal itu (doing
nothing) dilakukan, setidaknya 3 sesi perhari (@10 menit), niscaya semangat
dan energi anda akan te-recharge kembali. Begitu kira-kira beliau
berpromosi, hehe.
Di tengah pressure
kemarin, saya mencoba mempraktikan “terapi” itu, tapi dengan sedikit
modifikasi. Meski modifikasinya sedikit, tapi hal ini menjadi pembeda yang
sangat besar di antara keduanya. Kalau “doing nothing”
hanya bernilai dunia (yaitu energi yang te-recharge – itupun baru klaim,
hehe), maka terapi modifikasi ini insya Allah bernilai dunia dan akhirat karena
selain dapat me-recharge tenaga, juga akan menambah timbangan
kebaikan. Saya menyebut terapi ini dengan sebutan “The Power of Doing Something”.
Apa itu?
Well, intinya tetap sama, saya
tidak memikirkan dan melakukan apapun terkait tugas-tugas saya, tapi saya
mengisi kekosongan tersebut dengan aktivitas yang lain, yang bernilai ibadah. Bukan
kemudian diam saja. Aktifitas yang saya lakukan yaitu tilawah (baca al-Qur’an)
dan i’tikaf (berdiam diri di masjid).
Tilawah yang saya maksudkan di
sini adalah tilawah di luar rutinitas kita. Kalau biasanya kita tilawah sehabis
sholat, maka yang saya maksud di sini adalah tilawah di luar itu. Tapi tilawah
yang selepas sholat tetap dikerjakan. Jadi agenda tilawah menjadi dua, yang
biasa kita kerjakan dan yang terapi “doing something” sehingga jumlah
bacaan Qur’an kita (seharusnya otomatis) menjadi lebih banyak dari biasanya. Tilawah
ini saya lakukan sebagai metode istirahat. Kalau fisik dan pikiran sudah lelah,
maka saya istirahatkan diri dan pikiran dengan tilawah itu.
Sedangkan kalau kondisi saya
sudah benar-benar suntuk. Kalau saya sudah tidak tau apa yang harus saya kerjakan
dengan tugas-tugas saya, maka yang saya lakukan adalah i’tikaf. I’tikaf yang
saya lakukan biasanya tidak terlalu lama, hanya pada jeda waktu antara sholat Magrib
dan Isya saja. Itupun tidak terlalu sering, hanya beberapa kali saja ketika
kondisi sudah benar-benar stuck.
Dengan 2 metode tersebut
alhamdulillah saya dapat melalui 2 pekan yang penuh pressure itu. Hasilnya
pun cukup memuaskan. Selain semua tugas dapat dilibas, saya juga mendapat kredit
tersendiri dari salah satu dosen atas pekerjaan saya. Alhamdulillah.
***
Saya jadi teringat dengan metode Rasulullah
saw dalam me-recharge tenaganya. Beliau yang mulia mengistirahatkan diri beliau
dan para sahabat dengan sholat. “Ya Bilal, istirahatkan kami dengan sholat”,
begitu sabda beliau yang diriwayatkan dalam hadits Abu Daud dan Ahmad. Artinya,
tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Apalagi waktu yang terbuang untuk
perilaku dosa. Semua waktu digunakan secara produktif, kalau tidak bekerja, ya
ibadah (kerja juga ibadah ding). Masya Allah…
WARNING: Dengan tulisan di atas, saya
harap anda TIDAK over-rated dalam menilai saya. Saya tidak sebegitu sholihnya.
Apa yang saya lakukan di atas hanya eksperimen. Dalam kondisi biasa
(sehari-hari), saya tidak melakukan hal itu, hehehe. Tapi kalau mau didoakan
agar saya bisa seperti itu, saya ucapkan jazakallahu bi ahsanil jaza.
Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment