Hari Kepulangan
Saya sebenarnya tidak biasa naik
kereta untuk perjalanan Jakarta-Jogja (pernah saya ceritakan di tulisan yang
lalu-lalu). Akan tetapi, karena terminal Lebak Bulus, yang merupakan terminal terdekat
dengan tempat tinggal saya, ditutup akibat proyek MRT, saya mau tidak mau harus
membiasakan diri untuk naik kereta. Selain itu, belakangan ini jadwal bis juga
semakin berantakan karena kondisi jalan dan hal lainnya sehingga waktu tiba di
Jogja selalu telat. Padahal hari Senin jadwal kuliah saya sangat padat. Full
seharian.
Anyway, kereta saya (Bogowonto)
dijadwalkan akan berangkat pukul 18.30. Meski begitu, saya sudah berangkat dari
rumah selepas Ashar karena khawatir dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang
tidak bisa diperkirakan macet/lancarnya. Adik saya juga hanya bisa mengantar
sampai Pasar Jumat karena stasiun Senen terlalu jauh.
Well, kondisi jalan sore itu
cukup lancar. Menggunakan metromini yang telah disulap seperti transjakarta,
saya tiba di Senen masih cukup sore, sekitar 16.45. Sambil menunggu kedatangan
kereta, saya buka “mainan” saya yang telah non aktif selama kurang lebih 4
hari. Smartphone memang sengaja saya non aktifkan untuk menghindari pertanyaan
para kepo-ers, haha. Dan benar saja, ketika dinyalakan, para kepo-ers itu telah
melontarkan pertanyaannya via WhatsApp mengenai misi agung saya.
Walaupun ditodong pertanyaan,
saya tidak (atau belum) memberikan jawaban saya sama sekali. Hal ini memang
sengaja saya lakukan untuk membuat mereka semakin penasaran, haha (senyum
kemenangan). Dan saya rasa hal itu cukup berhasil, wkwkwk.
Ketika waktu sudah memasuki pukul
18.00, saya segera masuk ke peron dan menunaikan ibadah sholat Maghrib yang
langsung dijamak dengan Isya. Sekitar pukul 18.15 kereta Bogowonto datang dan
langsung disambut hiruk pikuk para penumpang untuk mencari tempat duduk. (Heran
juga gw, padahal tiap orang punya nomor kursi sendiri-sendiri, kenapa harus
berebutan masuk?).
Perjalanan kami dengan Bogowonto cukup
lancar, setidaknya sampai stasiun Cirebon. Setelah stasiun Cirebon dilalui,
kira-kira pukul 22.40 kami mengalami kejadian yang mengerikan. Kereta yang kami
tumpangi tiba-tiba menabrak sesuatu yang menimbulkan suara dentuman cukup keras
dan membuat gerbong saya oleng. Secara refleks saya mengambil tas punggung
kemudian menunduk sambil melindungi kepala dengan tas tersebut. Jaga-jaga kalau
nanti kereta terguling atau kaca pecah. Selang beberapa detik setelah dentuman,
kereta berhenti!!!
Kemudian ada penumpang yang
spontan keluar dan berteriak, “Kereta anjlok..kereta anjlok..cepat keluar..”,
teriaknya. Intonasi dan cara beliau menyampaikan serta merta membuat semua
penumpang panik, termasuk saya. Saya khawatir jika gerbong saya akhirnya terguling
juga atau meledak karena tumpahan bahan bakar (ah, terlalu banyak nonton
Hollywood nih, tapi emang bau bahan bakar tumpah sih).
Maka saya pun ikut berhamburan
keluar bersama penumpang yang lain. Ketika sudah diluar, penumpang yang tadi
mengomando kembali berteriak, “Awas, jangan ke sawah. Banyak ular!”. Saya
benar-benar bingung dengan komando orang itu. Lha bagaimana mungkin kami tidak
ke sawah sedangkan kereta kami memang berhenti di tengah sawah? Aku kudu piye
tweeps? :p
Peringatan laki-laki muda itu
tidak saya hiraukan. Bukan karena saya tidak takut ular, tapi karena saat itu
saya lebih takut kereta meledak daripada ular, hehe. Saya pun segera melihat
keadaan sekitar, terutama kondisi kereta. Karena saya berada di gerbong
terdepan, maka hal pertama yang bisa saya tengok adalah bagian depan, yaitu
lokomotif. Kondisi lokomotif saat itu ternyata sudah terguling. Saya kaget
juga. Kalau lokomotif sampai terguling, berarti tabrakannya lumayan parah. Yah,
dari guncangan yang saya rasakan memang cukup membuat shock sih.
Setelah melihat bagian depan
kereta, saya langsung menuju bagian belakang untuk memeriksa gerbong bagian
belakang (udah kayak petugas KAI aja gw) dan mencari tau apa yang sebenarnya
terjadi. Saya benar-benar kaget ketika sampai di bagian ekor kereta. Di sebelah
kiri gerbong sudah tergolek kepala truk yang cukup besar. Tidak salah lagi,
kereta pasti menabrak truk ini. Tapi mengapa cuma ada kepala truknya saja,
dimana badannya?
Subhanallah, ternyata badan truk
ada di sisi gerbong sebelah kanan. Dengan kata lain, truk terbelah dua!!! Dari
ciri-ciri fisiknya, truk ini adalah truk trailer yang biasa dipakai untuk
mengangkut mobil-mobil baru, tapi saat itu untungnya truk tidak berisi muatan
apa-apa. Kemungkinan truk terbelah di bagian sambungan antara kepala dengan
badan. Rasanya tidak mungkin kalau belahan itu ada di tengah badan truk karena
itu terbuat dari besi. Meski demikian, tetap saja tabrakan ini tergolong
dahsyat karena bisa menjungkirbalikan lokomotif dan membelah truk jadi dua.
Lalu bagaimana dengan kondisi
supir truk?
Dari informasi yang berhasil
dihimpun, supir truk selamat karena telah lari sebelum truk tertabrak. Jadi
ceritanya begini, truk itu sebenarnya mogok di tengah rel. Penjaga pos
perlintasan telah memberi tahu masinis bahwa ada truk yang mogok. Tapi karena
kereta sedang melaju kencang, maka masinis pun tidak mampu menahan lajunya
meski sudah direm. Mengetahui kereta akan segera datang, supir langsung
melarikan diri hingga akhirnya truk pun tertabrak kereta.
Meski benturan yang terjadi
lumayan keras, tapi alhamdulillah tidak ada korban jiwa yang jatuh. Masinis pun
hanya mengalami luka-luka saja. Penumpang juga sepertinya tidak ada yang
terluka. Hanya saja dampak terburuknya adalah, kami mengalami keterlambatan
yang amat sangat. Di jadwal, kereta seharusnya tiba di stasiun Tugu pukul 03.30
subuh, tapi karena kejadian itu kereta akhirnya baru sampai di Tugu pukul
15.30. Terlambat 12 jam bro!!!
Masih mending jika kami melakukan
perjalanan dengan normal. Artinya, bisa duduk dengan tenang dan ada yang bisa
dikonsumsi. Sayangnya, akibat tabrakan itu, gerbong saya (gerbong satu) tidak
bisa dipakai lagi sehingga seluruh penumpang di gerbong satu diminta untuk
mengungsi di gerbong lain. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya kereta ketika
gerbong kelebihan muatan. Beruntung saya masih dapat kursi. Penumpang lain
banyak yang tidak dapat kursi sehingga mau tidak mau bergeletakan di lantai
gerbong.
Selain itu, restorasi (dapur)
juga tidak bisa berfungsi normal sehingga tidak ada makanan yang dijual,
padahal berdasarkan aturan baru, asongan pun sudah tidak boleh masuk kereta.
Jadi, selama lebih dari 15 jam itu tidak ada yang bisa dikonsumsi!!! Pihak KAI
sebenarnya membagikan pop mie kepada para penumpang, tapi penumpang diminta
untuk menyeduh sendiri pop mie itu di dapur. Dengan kondisi gerbong yang ramai
seperti itu, bahkan untuk jalan pun sulit, saya tidak tertarik sama sekali
untuk bergerilya mencari air panas di dapur.
Well, perjalanan ini memang penuh
drama. Seandainya misi yang saya usung gagal dilaksanakan, mungkin drama itu
akan semakin membenamkan kondisi psikologis saya ke titik terendah. Tapi karena misi yang diemban
sukses dengan predikat cum laude (halah), maka berbagai drama itu semakin membuat
kisah ini tampak heroik dan sangat bernilai untuk diceritakan ke anak-cucu. Ceileh…
Wisma Pakdhe
Wah heroik banget ya mas Eden
ReplyDelete