Harus dituliskan. Saya rasa
perjalanan pulang saya ke Jakarta sekitar tiga minggu yang lalu harus
dituliskan mengingat banyaknya drama yang terjadi dalam perjalanan tersebut.
Sejak dari awal pemberangkatan hingga perjalanan kembali lagi ke Jogja.
Well, 29 April yang lalu saya
pulang ke Jakarta. Sebenarnya kepulangan ini tergolong tiba-tiba karena baru
direncanakan seminggu sebelumnya. Jadi, seminggu sebelum kepulangan saya
mendapatkan misi yang sangat agung dari “Pak Bos”. Misi yang sangat rahasia! Top
Secret! Menyangkut dunia akhirat (nah lho). Kalau misi ini tidak segera
dituntaskan, maka bisa berdampak negatif bagi banyak pihak. Walau pada awalnya sempat
kaget dan ragu, tapi akhirnya saya menerima misi tersebut. Yah, kalaupun saya
mengelak saat itu, di kesempatan lain saya toh akan tetap menjalani misi ini
juga :p
Jadwal kepulangan saya saat itu
sebenarnya agak kurang strategis karena berdekatan dengan hari libur nasional,
01 Mei (Hari Buruh Internasional) yang jatuh pada hari Kamis sehingga Jumat pun
menjadi hari kejepit nasional (harpitnas). Biasanya kalau kondisinya seperti
ini, tiket kereta akan sulit didapat. Dan benar saja, tiket kereta andalan saya
untuk pp Jogja-Jakarta, Progo (hehe), telah ludes terjual. Tiket Bengawan yang
harganya sama dengan tiket Progo pun ludes juga. Akhirnya, mau tidak mau, suka
tidak suka, saya harus hunting kereta lain.
Pilihan mengarah pada kereta Jaka
Tingkir. Walaupun ini kereta ekonomi, tapi harganya relatif mahal, yaitu dua
kali harga Progo, padahal keberangkatannya dari Solo. Meski begitu, waktu
keberangkatan dan kedatangannya sangat strategis. Berangkat dari Lempuyangan
jam 18.37 dan tiba di Pasar Senen jam 05.00 sehingga saya bisa langsung capcus
ke halte busway tanpa perlu lama menunggu apalagi bermalam di stasiun. Akhirnya,
saya pinang juga Jaka Tingkir ini.
Selain membeli tiket
keberangkatan, saya juga langsung memburu tiket pulang agar tidak kehabisan.
Saya merencanakan pulang antara Sabtu atau Minggu (3 atau 4 Mei). Tapi
sayangnya semua tiket kereta ekonomi pada tanggal tersebut ternyata sudah laris
manis (tentu tidak manis bagi saya). Untung masih ada kereta Bogowonto yang
relatif murah. Yah, demi misi agung yang saya emban, urusan harga menjadi
prioritas terakhir, hehe.
Fix! Berangkat dari Jogja
menggunakan Jaka Tingkir tanggal 29 April. Pulang dari Jakarta menggunakan
Bogowonto tanggal 04 Mei.
Di hari-H keberangkatan, saya
meminta teman untuk mengantar ke stasiun. Dia sebenarnya bukan teman kost. Saya
meminta tolong dia agar motor saya bisa dimaksimalkan selama saya tidak di
Jogja mengingat dia baru kehilangan motor dan pasti sangat membutuhkan
transportasi tersebut. Selepas Maghrib saya langsung capcus ke kosannya. Dia
pun sudah bersiap.
Kami berangkat dari kosan jam
18.10. Sebenarnya masih ada waktu yang sangat cukup untuk perjalanan ke stasiun
karena normalnya waktu tempuh perjalanan hanya sekitar 15 menit. Akan tetapi,
Allah berkehendak bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan abnormal. Ban
motor saya bocor di perempatan lampu merah MM UGM!!! Kalau menunggu ditambal,
tidak akan cukup waktunya. Sedangkan di sekitar situ tidak ada ojek sama
sekali. Berusaha meredam kepanikan, saya menelepon teman kost untuk minta
diantar. Beruntung dia sedang luang dan bisa mengantar.
Jam 18.20 teman kost saya baru
tiba di tkp. Saya langsung pamit ke teman yang saya titipkan motor sambil
menitipkan uang untuk biaya tambal. Meski masih punya waktu sekitar 17 menit
untuk tiba di stasiun, tapi karena sudah dikondisikan dengan kejadian itu,
detak jantung saya mulai meningkat tanpa dikomando. Dan keringat semakin
membasahi tubuh manakala melihat kemacetan di persimpangan kereta dekat
stasiun. Ada kereta yang lewat. “Jangan-jangan, ini keretanya (Jaka Tingkir,
pen)”, saya membatin. Untunglah itu cuma sekedar paranoid karena yang lewat
ternyata kereta barang.
Tepat jam 18.30 saya tiba di
stasiun. Kepanikan berangsur mereda ketika petugas yang berjaga mengatakan
bahwa kereta Jaka Tingkir belum datang. Hanya berselang beberapa menit, kereta
datang dan sayapun langsung mengambrukan diri di kursi kemudian memikirkan
strategi yang jitu untuk menunaikan misi agung esok lusa.
Hari-H (D-Day)
Walaupun eksekusi misi agung baru
bisa dilakasanakan hari Kamis, tapi saya sengaja berangkat dari Jogja hari
Selasa agar saya bisa istirahat dan survey lokasi hari Rabunya mengingat lokasi
pelaksanaan misi tersebut cukup jauh dan saya belum memiliki gambaran sama
sekali (ini dari bahasanya kayaknya ngeri banget).
Akan tetapi, rencana tinggallah
rencana. Hari Rabu ternyata badan saya nge-drop. Rencana survey terpaksa saya
batalkan. “Daripada berantakan pas hari-H, mending istirahat aja deh”, pikir
saya saat itu. Maka untuk menyiasatinya, saya minta teman saya yang sudah tau
medan untuk mengantar ke lokasi pada hari-H. Beruntung, dia tidak ada kegiatan
hari itu dan bersedia mengantar!
Kami berangkat dari rumah pukul
08.00. Misi itu harus saya eksekusi pukul 10.00. Perkiraan teman saya, insya
Allah pukul 09.30 sudah sampai di lokasi sehingga masih ada sisa waktu 30 menit
yang bisa digunakan untuk istirahat. Ah, rencana yang sangat matang dan
strategis.
Akan tetapi, sekali lagi, rencana
tinggallah rencana. Harapan untuk tiba 30 menit sebelum eksekusi misi ternyata meleset.
Keterpelesetan itu sebenarnya sudah terendus di tengah jalan. Ketika itu, saya
heran, mengapa kami bablas terus padahal gapura “Selamat Jalan” dari kota
tujuan kami telah terlewati. Tidak mau ambil resiko terlalu besar, saya
memutuskan untuk berpindah posisi. Kalau sebelumnya saya yang menyetir, kini
gantian saya yang dibonceng.
Beruntung mainan baru (baca:
smartphone) saya dilengkapi dengan GPS sehingga saya bisa memaksimalkan fitur
tersebut untuk kondisi seperti ini. Saya segera membuka GPS tersebut dan
langsung mencari lokasi tujuan kami. Aneh bin ajaib, ternyata kami bergerak
berlawanan arah dengan lokasi tujuan kami. Semakin lama semakin jauh. Artinya,
lokasi tujuan telah terlewat!!!
Saya langsung meminta teman saya
untuk putar haluan dan mengikuti petunjuk GPS. Pukul 09.50 saya sms ke pihak
terkait misi ini untuk menjelaskan bahwa saya akan datang terlambat karena
masih mencari lokasi. Celakanya, seperti yang sudah saya sebutkan di awal, hari
itu adalah Hari Buruh Internasional sehingga banyak sekali buruh yang berdemo
saat itu. Perjalanan pun menjadi sangat terhambat karenanya.
Alhamdulillah, pukul 10.20 saya
tiba di lokasi. Setelah meminta izin kepada pihak terkait misi untuk istirahat
sejenak agar bisa memperoleh ketenangan (ingat bro, ini misi penting, hehe),
saya langsung mengeksekusi misi agung tersebut.
Segala puji bagi Allah, misi berhasil
dieksekusi dengan lancar dan efektif. Tingkat kesuksesan pun cukup memuaskan.
Yah, kalau dikasih skor 1-10, dapat 8 lah kira-kira, hehe. Meski begitu, misi
tersebut menghasilkan guncangan yang sangat hebat bagi jiwa saya. Sejujurnya
saya mengalami “kegilaan” minimal 2x24 jam setelah misi tersebut.
#Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment