May 18, 2014

Melankolia Jaka Tingkir-Bogowonto #1


Harus dituliskan. Saya rasa perjalanan pulang saya ke Jakarta sekitar tiga minggu yang lalu harus dituliskan mengingat banyaknya drama yang terjadi dalam perjalanan tersebut. Sejak dari awal pemberangkatan hingga perjalanan kembali lagi ke Jogja. 

Well, 29 April yang lalu saya pulang ke Jakarta. Sebenarnya kepulangan ini tergolong tiba-tiba karena baru direncanakan seminggu sebelumnya. Jadi, seminggu sebelum kepulangan saya mendapatkan misi yang sangat agung dari “Pak Bos”. Misi yang sangat rahasia! Top Secret! Menyangkut dunia akhirat (nah lho). Kalau misi ini tidak segera dituntaskan, maka bisa berdampak negatif bagi banyak pihak. Walau pada awalnya sempat kaget dan ragu, tapi akhirnya saya menerima misi tersebut. Yah, kalaupun saya mengelak saat itu, di kesempatan lain saya toh akan tetap menjalani misi ini juga :p

Jadwal kepulangan saya saat itu sebenarnya agak kurang strategis karena berdekatan dengan hari libur nasional, 01 Mei (Hari Buruh Internasional) yang jatuh pada hari Kamis sehingga Jumat pun menjadi hari kejepit nasional (harpitnas). Biasanya kalau kondisinya seperti ini, tiket kereta akan sulit didapat. Dan benar saja, tiket kereta andalan saya untuk pp Jogja-Jakarta, Progo (hehe), telah ludes terjual. Tiket Bengawan yang harganya sama dengan tiket Progo pun ludes juga. Akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus hunting kereta lain.

Pilihan mengarah pada kereta Jaka Tingkir. Walaupun ini kereta ekonomi, tapi harganya relatif mahal, yaitu dua kali harga Progo, padahal keberangkatannya dari Solo. Meski begitu, waktu keberangkatan dan kedatangannya sangat strategis. Berangkat dari Lempuyangan jam 18.37 dan tiba di Pasar Senen jam 05.00 sehingga saya bisa langsung capcus ke halte busway tanpa perlu lama menunggu apalagi bermalam di stasiun. Akhirnya, saya pinang juga Jaka Tingkir ini.
Kereta api Jaka Tingkir (sumber : merdeka.com)

Selain membeli tiket keberangkatan, saya juga langsung memburu tiket pulang agar tidak kehabisan. Saya merencanakan pulang antara Sabtu atau Minggu (3 atau 4 Mei). Tapi sayangnya semua tiket kereta ekonomi pada tanggal tersebut ternyata sudah laris manis (tentu tidak manis bagi saya). Untung masih ada kereta Bogowonto yang relatif murah. Yah, demi misi agung yang saya emban, urusan harga menjadi prioritas terakhir, hehe.

Fix! Berangkat dari Jogja menggunakan Jaka Tingkir tanggal 29 April. Pulang dari Jakarta menggunakan Bogowonto tanggal 04 Mei.

Di hari-H keberangkatan, saya meminta teman untuk mengantar ke stasiun. Dia sebenarnya bukan teman kost. Saya meminta tolong dia agar motor saya bisa dimaksimalkan selama saya tidak di Jogja mengingat dia baru kehilangan motor dan pasti sangat membutuhkan transportasi tersebut. Selepas Maghrib saya langsung capcus ke kosannya. Dia pun sudah bersiap.

Kami berangkat dari kosan jam 18.10. Sebenarnya masih ada waktu yang sangat cukup untuk perjalanan ke stasiun karena normalnya waktu tempuh perjalanan hanya sekitar 15 menit. Akan tetapi, Allah berkehendak bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan abnormal. Ban motor saya bocor di perempatan lampu merah MM UGM!!! Kalau menunggu ditambal, tidak akan cukup waktunya. Sedangkan di sekitar situ tidak ada ojek sama sekali. Berusaha meredam kepanikan, saya menelepon teman kost untuk minta diantar. Beruntung dia sedang luang dan bisa mengantar.

Jam 18.20 teman kost saya baru tiba di tkp. Saya langsung pamit ke teman yang saya titipkan motor sambil menitipkan uang untuk biaya tambal. Meski masih punya waktu sekitar 17 menit untuk tiba di stasiun, tapi karena sudah dikondisikan dengan kejadian itu, detak jantung saya mulai meningkat tanpa dikomando. Dan keringat semakin membasahi tubuh manakala melihat kemacetan di persimpangan kereta dekat stasiun. Ada kereta yang lewat. “Jangan-jangan, ini keretanya (Jaka Tingkir, pen)”, saya membatin. Untunglah itu cuma sekedar paranoid karena yang lewat ternyata kereta barang.

Tepat jam 18.30 saya tiba di stasiun. Kepanikan berangsur mereda ketika petugas yang berjaga mengatakan bahwa kereta Jaka Tingkir belum datang. Hanya berselang beberapa menit, kereta datang dan sayapun langsung mengambrukan diri di kursi kemudian memikirkan strategi yang jitu untuk menunaikan misi agung esok lusa.

Hari-H (D-Day)
Walaupun eksekusi misi agung baru bisa dilakasanakan hari Kamis, tapi saya sengaja berangkat dari Jogja hari Selasa agar saya bisa istirahat dan survey lokasi hari Rabunya mengingat lokasi pelaksanaan misi tersebut cukup jauh dan saya belum memiliki gambaran sama sekali (ini dari bahasanya kayaknya ngeri banget).

Akan tetapi, rencana tinggallah rencana. Hari Rabu ternyata badan saya nge-drop. Rencana survey terpaksa saya batalkan. “Daripada berantakan pas hari-H, mending istirahat aja deh”, pikir saya saat itu. Maka untuk menyiasatinya, saya minta teman saya yang sudah tau medan untuk mengantar ke lokasi pada hari-H. Beruntung, dia tidak ada kegiatan hari itu dan bersedia mengantar!

Kami berangkat dari rumah pukul 08.00. Misi itu harus saya eksekusi pukul 10.00. Perkiraan teman saya, insya Allah pukul 09.30 sudah sampai di lokasi sehingga masih ada sisa waktu 30 menit yang bisa digunakan untuk istirahat. Ah, rencana yang sangat matang dan strategis.

Akan tetapi, sekali lagi, rencana tinggallah rencana. Harapan untuk tiba 30 menit sebelum eksekusi misi ternyata meleset. Keterpelesetan itu sebenarnya sudah terendus di tengah jalan. Ketika itu, saya heran, mengapa kami bablas terus padahal gapura “Selamat Jalan” dari kota tujuan kami telah terlewati. Tidak mau ambil resiko terlalu besar, saya memutuskan untuk berpindah posisi. Kalau sebelumnya saya yang menyetir, kini gantian saya yang dibonceng.

Beruntung mainan baru (baca: smartphone) saya dilengkapi dengan GPS sehingga saya bisa memaksimalkan fitur tersebut untuk kondisi seperti ini. Saya segera membuka GPS tersebut dan langsung mencari lokasi tujuan kami. Aneh bin ajaib, ternyata kami bergerak berlawanan arah dengan lokasi tujuan kami. Semakin lama semakin jauh. Artinya, lokasi tujuan telah terlewat!!!

Saya langsung meminta teman saya untuk putar haluan dan mengikuti petunjuk GPS. Pukul 09.50 saya sms ke pihak terkait misi ini untuk menjelaskan bahwa saya akan datang terlambat karena masih mencari lokasi. Celakanya, seperti yang sudah saya sebutkan di awal, hari itu adalah Hari Buruh Internasional sehingga banyak sekali buruh yang berdemo saat itu. Perjalanan pun menjadi sangat terhambat karenanya.

Alhamdulillah, pukul 10.20 saya tiba di lokasi. Setelah meminta izin kepada pihak terkait misi untuk istirahat sejenak agar bisa memperoleh ketenangan (ingat bro, ini misi penting, hehe), saya langsung mengeksekusi misi agung tersebut.

Segala puji bagi Allah, misi berhasil dieksekusi dengan lancar dan efektif. Tingkat kesuksesan pun cukup memuaskan. Yah, kalau dikasih skor 1-10, dapat 8 lah kira-kira, hehe. Meski begitu, misi tersebut menghasilkan guncangan yang sangat hebat bagi jiwa saya. Sejujurnya saya mengalami “kegilaan” minimal 2x24 jam setelah misi tersebut.

#Wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment