March 30, 2014

Optimalisasi Peran Psikologi untuk Meningkatkan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana

Sebagai negara rawan bencana, Indonesia dihadapkan pada tantangan berat untuk mewujudkan bangsa yang tangguh bencana. Bangsa yang tangguh berarti bangsa yang mampu menekan risiko sampai tingkat terendah meski bahaya (hazard) yang dihadapi tinggi.

Dalam paradigma kebencanaan, risiko dirumuskan sebagai interaksi antara tingkat kerentanan dengan bahaya. Artinya, semakin tinggi tingkat kerentanan dan bahaya, maka semakin besar pula risiko yang dihadapi. Bahaya, khususnya yang bersumber dari alam, bersifat tetap karena merupakan bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi (Bakornas PB, 2007). Dengan kata lain, bahaya merupakan sesuatu yang tidak bisa kita kontrol.

Dengan begitu, peluang penekanan tingkat risiko lebih mungkin diusahakan melalui upaya peningkatan kapasitas. Kapasitas yang tinggi akan berefek pada penurunan tingkat kerentanan yang kemudian dapat menurunkan tingkat risiko.

Secara umum, kapasitas digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan (infrastruktur fisik). Dua yang disebutkan terakhir bukan merupakan ranah yang berhubungan langsung dengan psikologi. Peran sentral psikologi sejatinya dapat dioptimalkan dalam upaya peningkatan kapasitas sosial masyarakat melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Dalam siklus kebencanaan, posisi kapasitas sosial sebenarnya tidak hanya terletak pada saat pra bencana. Maksudnya, kapasitas sosial bukanlah semata tentang bagaimana kesiapan seseorang atau sekelompok masyarakat dalam menghadapi suatu bencana. Lebih dari itu, kapasitas sosial juga menyangkut isu tentang bagaimana mereka mampu bangkit kembali ke kondisi normal setelah kejadian bencana. Dalam paradigma kebencanaan, kapasitas yang dimaksud sering disebut sebagai resiliensi.
Ilustrasi psikologi (sumber : tapchitaichinh.vn)
 Psikologi mengenal resiliensi sebagai suatu adaptasi positif terhadap kesengsaraan atau situasi yang mengancam (Luthar, dkk, 2000). Individu dikatakan memiliki tingkat resilien yang tinggi apabila mereka mampu beradaptasi dengan perubahan setelah peristiwa yang menekan dengan cara konstruktif.

Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas peran psikologi dalam mewujudkan bangsa tangguh bencana melalui peningkatan resiliensi. Apa itu resiliensi, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi, dan bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkannya akan didiskusikan kemudian.

Related Posts:

  • Puasa dan Belenggu Amarah Ramadhan 1441 H menyisakan babak final. Al-asyru al-awakhir yang biasa kita songsong dengan i’tikaf di masjid tahun ini akan berbeda mengingat pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Mau tidak mau, kita akan melepas bulan su… Read More
  • Beri Aku Satu Reynhard Sinaga, Niscaya Kuguncang Dunia Berikut tulisan saya yang dimuat di The Columnist. Tak perlu sepuluh pemuda, seperti yang diminta Bung Karno, untuk mengguncang dunia. Reynhard Sinaga berhasil beri bukti bahwa dirinya seorang sudah cukup untuk menggeger… Read More
  • Mohammad Natsir dan Jejak Remaja Ideal Izinkan saya mengajak anda kembali ke masa lampau, sekira tahun 1920-an, zaman ketika Belanda masih menghisap Indonesia. Anggaplah anda sebagai salah satu orang yang beruntung mampu bersekolah hingga tingkat Algemene Mid… Read More
  • Hiburan yang Tidak MenghiburBegitu mudah manusia zaman sekarang mengakses hiburan. Dengan usap-usap layar hp saja, kita sudah bisa hadir dalam konser musik musisi kenamaan, menyaksikan film favorit, menonton acara lawak, bahkan merasakan sensasi berburu… Read More
  • Menjaga Kewarasan di Tengah Kecemasan Hari-hari ini kita dihadapkan pada situasi yang sulit. Covid-19 yang semula dianggap remeh oleh sebagian kalangan nyatanya menjadi monster yang mengacaukan tatanan dunia. Setelah berbulan-bulan sejak kasus pertama ditemukan… Read More

0 comments:

Post a Comment