January 20, 2014

Bencana di Jalan Raya

Berita tentang kecelakaan maut yang terjadi di Tol Jagorawi Km 8 pada Minggu (8/9/2013) dini hari dan merenggut 7 korban jiwa begitu ramai dibincangkan belakangan ini. Tersedotnya perhatian publik tersebut setidaknya disebabkan oleh dua hal, pertama, karena supir yang menjadi tersangka penabrakan (AQJ) ternyata masih di bawah umur. Kedua, selain di bawah umur, AQJ juga merupakan anak dari pasangan selebritis, yaitu Ahmad Dhani dan Maia Estianty. 
 
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para orangtua untuk tidak memberikan kebebasan kepada anaknya yang masih di bawah umur untuk mengendarai kendaraan bermotor karena secara fisik dan psikologis mereka belum siap untuk berkendara.

Secara fisik, kebanyakan anak-anak di bawah usia 17 tahun, selain belum diperkenankan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), mereka juga masih belum memiliki fisik yang ideal untuk mengendalikan kendaraan bermotor. Ketidakidealan itu akan membuat keseimbangan mereka mudah terganggu sehingga dapat membahayakan dirinya dan orang lain.

Kalaupun secara fisik mereka sudah ideal, tetapi bukan berarti mereka sudah bisa bebas berkendara karena ada aspek lain yang harus menjadi perhatian, yaitu aspek psikologis. Anak-anak di bawah usia 17 tahun umumnya belum memiliki kematangan dalam berpikir dan cenderung impulsif. Impulsifitas itu ditunjukkan dengan mudah terpancingnya mereka ketika ada pengendara lain yang menyusulnya sehingga tanpa pikir panjang mereka menancap gas lebih kencang lagi agar bisa menyusul pengendara di depannya.

Ketidaksiapan fisik dan psikologis tersebut seharusnya sudah cukup untuk membuat orangtua sadar sehingga mereka tidak memberikan fasilitas kendaraan kepada anak. Sayangnya, pertaruhan harga diri dan gengsi antar orangtua yang dibungkus dengan label “sayang anak”, sangat sulit dielakkan. Orangtua dengan bangga memberikan kendaraan bermotor kepada anak karena mereka melihat orangtua yang lain pun melakukan hal serupa.

Pada akhirnya, muncul permisifitas di tengah masyarakat terhadap penyalahgunaan kendaraan bermotor oleh anak di bawah umur. Permisifitas masyarakat seperti inilah yang membuat anak-anak semakin berani mengendarai kendaraan bermotor, padahal kunci keberhasilan pencegahan penyalahgunaan kendaraan bermotor ada pada masyarakat. 


Kecelakaan Lalu Lintas sebagai  Bencana Sosial
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dapat diketahui bahwa jalan raya merupakan pembunuh nomor tiga di dunia setelah penyakit Jantung Koroner dan Tubercolosis. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Polri, selama 2012 telah terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang (republika.co.id). Angka fantastis ini setidaknya membuat kecelakaan lalu lintas sudah layak untuk disebut sebagai bencana sosial.

Bencana sosial sendiri, berdasarkan Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia.

Tingginya angka kecelakaan lalu lintas dan korban jiwa yang jatuh sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sudah seharusnya bersatu padu untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas.

Lalu lintas masuknya kendaraan bermotor ke Indonesia sudah seharusnya diperketat. Seperti kita ketahui, Indonesia laksana surga bagi produsen kendaraan bermotor negara-negara maju karena leluasanya importir memperdagangkan produk mereka di sini.  Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran penting dalam membuat regulasi agar Indonesia tidak lagi menjadi sasaran empuk para importir.

Selain itu, pemerintah juga semestinya menyediakan sarana transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman sehingga masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Buruknya layanan transportasi masal dan mudahnya memperoleh kendaraan bermotor selama ini ditengarai sebagai biang keladi permasalahan transportasi di Indonesia.

Di sisi lain, aparat penegak hukum juga semestinya mampu bertindak tegas dalam menindak para pelaku penyalahgunaan kendaraan bermotor. Akan tetapi, patut diakui bahwa sampai saat ini kita masih skeptis dengan efek jera dari hukuman yang diberikan. Perilaku oknum aparat yang korup, yang mudah menegosiasikan hukum, membuat efek jera baru sebatas hayalan.

Terakhir, masyarakat juga harus mampu menahan diri dari sikap konsumtif sehingga tidak mudah tertarik untuk membeli kendaraan bermotor. Kita kadang mengelus dada melihat satu keluarga yang setiap anggotanya memiliki kendaraan sendiri, padahal mereka masih bisa berbagi kendaraan dengan anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, egoisme harus dikesampingkan dan budaya menggunakan transportasi umum harus dibangun.

#ditulis pada tanggal 04 September 2013. Dikirimkan ke Media, tapi tidak dimuat, wkwk

0 comments:

Post a Comment