Berita tentang kecelakaan maut yang terjadi di Tol Jagorawi Km 8
pada Minggu (8/9/2013) dini hari dan merenggut 7 korban jiwa begitu ramai
dibincangkan belakangan ini. Tersedotnya perhatian publik tersebut setidaknya
disebabkan oleh dua hal, pertama, karena supir yang menjadi tersangka
penabrakan (AQJ) ternyata masih di bawah umur. Kedua, selain di bawah umur, AQJ
juga merupakan anak dari pasangan selebritis, yaitu Ahmad Dhani dan Maia
Estianty.
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para
orangtua untuk tidak memberikan kebebasan kepada anaknya yang masih di bawah
umur untuk mengendarai kendaraan bermotor karena secara fisik dan psikologis
mereka belum siap untuk berkendara.
Secara fisik, kebanyakan anak-anak di bawah usia 17 tahun, selain
belum diperkenankan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), mereka juga masih
belum memiliki fisik yang ideal untuk mengendalikan kendaraan bermotor.
Ketidakidealan itu akan membuat keseimbangan mereka mudah terganggu sehingga
dapat membahayakan dirinya dan orang lain.
Kalaupun secara fisik mereka sudah ideal, tetapi bukan berarti
mereka sudah bisa bebas berkendara karena ada aspek lain yang harus menjadi
perhatian, yaitu aspek psikologis. Anak-anak di bawah usia 17 tahun umumnya
belum memiliki kematangan dalam berpikir dan cenderung impulsif. Impulsifitas
itu ditunjukkan dengan mudah terpancingnya mereka ketika ada pengendara lain
yang menyusulnya sehingga tanpa pikir panjang mereka menancap gas lebih kencang
lagi agar bisa menyusul pengendara di depannya.
Ketidaksiapan fisik dan psikologis tersebut seharusnya sudah cukup
untuk membuat orangtua sadar sehingga mereka tidak memberikan fasilitas
kendaraan kepada anak. Sayangnya, pertaruhan harga diri dan gengsi antar
orangtua yang dibungkus dengan label “sayang anak”, sangat sulit dielakkan.
Orangtua dengan bangga memberikan kendaraan bermotor kepada anak karena mereka melihat
orangtua yang lain pun melakukan hal serupa.
Pada akhirnya, muncul permisifitas di tengah masyarakat terhadap
penyalahgunaan kendaraan bermotor oleh anak di bawah umur. Permisifitas
masyarakat seperti inilah yang membuat anak-anak semakin berani mengendarai
kendaraan bermotor, padahal kunci keberhasilan pencegahan penyalahgunaan
kendaraan bermotor ada pada masyarakat.
Kecelakaan Lalu Lintas sebagai
Bencana Sosial
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dapat diketahui
bahwa jalan raya merupakan pembunuh nomor tiga di dunia setelah penyakit
Jantung Koroner dan Tubercolosis. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Polri,
selama 2012 telah terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal
dunia sebanyak 27.441 orang (republika.co.id). Angka fantastis ini setidaknya
membuat kecelakaan lalu lintas sudah layak untuk disebut sebagai bencana
sosial.
Bencana sosial sendiri, berdasarkan Undang-undang No 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia.
Tingginya angka kecelakaan lalu lintas dan korban jiwa yang jatuh
sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Pemerintah, aparat penegak
hukum, dan masyarakat sudah seharusnya bersatu padu untuk menekan angka
kecelakaan lalu lintas.
Lalu lintas masuknya kendaraan bermotor ke Indonesia sudah
seharusnya diperketat. Seperti kita ketahui, Indonesia laksana surga bagi
produsen kendaraan bermotor negara-negara maju karena leluasanya importir
memperdagangkan produk mereka di sini. Dalam hal ini, pemerintah memiliki
peran penting dalam membuat regulasi agar Indonesia tidak lagi menjadi sasaran
empuk para importir.
Selain itu, pemerintah juga semestinya menyediakan sarana
transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman sehingga masyarakat mau beralih
dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Buruknya layanan transportasi masal
dan mudahnya memperoleh kendaraan bermotor selama ini ditengarai sebagai biang
keladi permasalahan transportasi di Indonesia.
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga semestinya mampu bertindak
tegas dalam menindak para pelaku penyalahgunaan kendaraan bermotor. Akan
tetapi, patut diakui bahwa sampai saat ini kita masih skeptis dengan efek jera
dari hukuman yang diberikan. Perilaku oknum aparat yang korup, yang mudah
menegosiasikan hukum, membuat efek jera baru sebatas hayalan.
Terakhir, masyarakat juga harus mampu menahan diri dari sikap
konsumtif sehingga tidak mudah tertarik untuk membeli kendaraan bermotor. Kita
kadang mengelus dada melihat satu keluarga yang setiap anggotanya memiliki
kendaraan sendiri, padahal mereka masih bisa berbagi kendaraan dengan anggota
keluarga lainnya. Oleh karena itu, egoisme harus dikesampingkan dan budaya
menggunakan transportasi umum harus dibangun.
#ditulis pada tanggal 04 September 2013. Dikirimkan ke Media, tapi
tidak dimuat, wkwk
0 comments:
Post a Comment