Entah
mengapa sejak zaman reformasi dimulai, pejabat tinggi negara seperti memiliki
hobi baru. Satu persatu dari mereka bergantian menyayat hati rakyat dengan
perilaku amoralnya. Dan perilaku amoral paling berbahaya sekaligus paling
sering dilakukan adalah korupsi. Hampir semua elemen petinggi negara pernah
tersangkut kasus korupsi. Terakhir, pada Rabu malam (02/10) kita dipaksa
menghela nafas panjang tatkala mendengar berita bahwa ketua Mahkamah Konstitusi
(MK), Akil Mochtar, ditangkap KPK.
Berita
itu benar-benar menghentak bumi Indonesia. Kita tidak menyangka, lembaga yang
sejatinya menjadi benteng terakhir penegakan keadilan, justru diketuai oleh seorang
hakim bermental korup. Bukan hanya mencoreng wajah MK sebagai lembaga
peradilan, perisitwa ini juga membuat luka di hati rakyat semakin menganga
hingga rakyat semakin skeptis dan bertanya, masih mungkinkah korupsi diberantas
jika pelaku penegak keadilan pun bermental korup?
Sikap
skeptis yang muncul dalam diri rakyat memang wajar adanya karena dari ke hari
rakyat disuguhkan “drama” tingkat tinggi pemberantasan korupsi yang seolah tak
berkesudahan. Semakin diberantas, korupsi bukannya semakin hilang, tapi justru
semakin subur berkembang.
Menurut
hemat penulis hal itu adalah kewajaran, karena selama ini rakyat terlalu
bergantung kepada KPK. Padahal, peran KPK hanya memberantas, sedangkan upaya
pencegahan sepenuhnya bergantung kepada rakyat itu sendiri.
Seperti
kata Bibit Samad Riyanto, korupsi di Indonesia
ibarat gunung es; yang
berada di atas permukaan laut hanyalah tindak
pidana korupsinya,
sedangkan akar masalahnya berada di bawah permukaan air laut. Jadi, seberapapun gunung es di atas permukaan air laut diterabas, tetap akan muncul gunung es baru selama gunung es yang berada di bawah permukaan air laut
belum diterabas.
Perilaku
korup merupakan manifestasi dari mental yang tidak sehat. Dan agen terdekat
pembina mental individu adalah keluarga. Sedari kecil, orangtua sudah semestinya
memberikan pendidikan karakter untuk anak-anak demi kemajuan perkembangan
kepribadian mereka. Pemupukan karakter yang baik sejak dini akan mempermudah
pembentukan sifat dan sikap baik anak.
Peran
sekolah, masyarakat, dan negara sesungguhnya hanyalah sebagai pelengkap,
sedangkan peran sentral pembentukan karakter anak harus tetap dipegang
keluarga. Seberapapun institusi pendidikan aktif dalam mengampanyekan
pendidikan karakter, jika tidak ditindaklanjuti dalam keluarga, maka hal itu
hanya akan menjadi kesiaan belaka karena walau bagaimanapun keluarga adalah
tempat dimana anak banyak menghabiskan waktunya.
Dengan
pendidikan karakter kepada anak sedini mungkin, kita berharap ke depannya
korupsi benar-benar bisa diberantas sampai ke akarnya sebelum korupsi
memberantas rakyat dalam nestapa.
#ditulis 04 Oktober 2013. Dikirim ke Kedaulatan Rakyat, tapi tidak dimuat, wkwk
0 comments:
Post a Comment