June 9, 2013

Mereka Bertanya Tentang Psikotes

Sebagai (mantan) mahasiswa Psikologi, saya seringkali ditodong dengan pertanyaan seputar psikotes oleh job hunters yang mulai stres karena belum mendapat pekerjaan. Pertanyaan yang biasanya dilontarkan adalah, “Kalau gambar pohon, yang bagus gimana sih biar bisa diterima?”, “Gw udah ngerjain soal itungan dan yakin banget bisa, tapi gw kok tetep gak lolos?”, “Masa cuma disuruh gambar pohon, orang, dan rumah aja gw gagal. Ini serius gak sih?”, “Gw mau tes anu besok, bagi triknya dong biar bisa lolos”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang setipe.

Sejujurnya saya sudah lelah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Kalau tidak dianggap tidak sopan, saya akan merekamkan jawaban saya agar nanti kalau ada yang bertanya lagi tinggal saya suruh dengarkan rekamannya saja. Simpel kan?
Ilustrasi Wawancara (sumber: medium.com)

Tapi sebagai Psikolog “setengah matang”, sudah semestinya saya tau bahwa melakukan hal itu sama saja dengan menunjukkan ketidak-empatian saya kepada penanya. Padahal, empati adalah syarat pertama yang harus dipenuhi oleh seorang Psikolog. Oleh karena itu, setiap kali ada job hunter yang bertanya tentang psikotes, saya usahakan menjawabnya dengan hati penuh.

Di sinilah letak permasalahannya. Meski sudah sepenuh hati menjawab pertanyaan mereka, mereka umumnya kecewa dengan jawaban yang saya berikan karena jawaban itu lebih bersifat “ceramah untuk direnungkan” ketimbang fixed solution. Well, saya akui bahwa jawaban saya ini tidak populis di telinga mereka (job hunters), tapi hal ini perlu saya lakukan agar mereka tidak terjebak dalam pola berpikir pragmatis. Lah, bagaimana tidak pragmatis kalau mereka sudah meminta jalan pintas (shortcut) untuk menaklukan psikotes? Keinginan mendapatkan jalan pintas itu tentu timbul, salah satunya, karena pemahaman mereka yang salah terhadap tes tersebut. Dan saya tidak rela menyesatkan mereka lebih jauh lagi dengan cara menunjukkan jalan pintas tersebut.

Oke, mari kita bahas apa yang saya sampaikan kepada mereka. Begini, mula-mula saya berikan pemahaman dulu bahwa ilmu psikologi dalam dunia kerja itu biasanya digunakan untuk mengungkap karakteristik, kepribadian atau kecenderungan para pelamar. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu digarisbawahi bahwa dalam dunia psikologi, tidak ada istilah tipe kepribadian yang baik dan buruk. Semuanya netral. Yang membedakan adalah konteks atau keadaan yang sedang dihadapi. Oke, agar lebih mudah, saya beri contoh.

Mungkin banyak orang yang mengira bahwa tipe kepribadian ekstrovert itu lebih baik daripada introvert karena orang yang ekstrovert lebih mudah bergaul, “rame”, dsb. Alhasil, mereka (job hunters) yang percaya dengan doktrin ini pun mempelajari tes psikologi agar hasil yang mereka dapatkan nanti menunjukkan bahwa dia adalah seseorang dengan tipe ekstorvert.

Perlu saya sampaikan dan tegaskan bahwa keyakinan seperti itu adalah keyakinan sesat karena tidak ada rumusnya dalam dunia psikologi bahwa ekstrovert itu lebih baik daripada introvert. Begitu juga sebaliknya, introvert pun tidak lebih baik dari ekstrovert. Mereka berdiri sendiri-sendiri. Baik-buruknya tergantung pada konteks yang dihadapi. Tipe ekstrovert tentu lebih baik untuk pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak, seperti sales, public relation, trainer, dan sejenisnya. Akan tetapi, jika seseorang ingin melamar menjadi pustakawan, maka kepribadian ekstrovert ini tentu menjadi poin yang sangat menjatuhkan karena dunia perpus adalah dunia hening. Butuh ketenangan, bukan “rame” seperti di pasar.

Oleh karena itu, setiap kali ada orang yang bertanya seputar psikotes, apalagi menanyakan tips dan trik, maka saya akan memberikan “ceramah untuk direnungkan” seperti di atas, kemudian mengarahkannya agar dia menjawab tes tersebut sesuai dengan kata hatinya. Istilah pasarannya, be your self!

Memanipulasi atau mengakali psikotes agar bisa lolos hanya akan merugikan kedua belah pihak, yaitu perusahaan dan pencari kerja. Perusahaan rugi karena mereka mendapatkan pekerja yang tidak sesuai dengan kriteria mereka karena pencari kerja telah memalsukan “identitas” yang sebenarnya. Pencari kerja juga rugi karena akan mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ciri sifat mereka. Hal ini akan menimbulkan stress kerja. Kalau sudah seperti ini, ujung-ujungnya mereka akan meminta resign (mengundurkan diri) dengan berbagai alasan. Hal ini akan membuat track record mereka buruk di mata perusahaan lain.

#pojok Tawangsari

0 comments:

Post a Comment