Hari Rabu kemarin (19/06/13),
saya kehilangan sendal gunung saya di masjid dekat kost (Masjid Al Ikhlas). Ini
adalah sendal gunung kedua yang hilang setelah sebelumnya juga pernah raib di
masjid Fakultas Kehutanan. Sebenarnya bukanlah kebiasaan bagi saya pergi ke masjid
memakai sendal ini (biasanya saya memakai sendal jepit atau sendal biasa), tapi
entah mengapa saat itu saya ingin memakai sendal tersebut. Yah, namanya juga
qodarullah, kalau memang sudah saatnya hilang, ya akan hiilang.
Di kost, saya memikirkan hikmah
dari kejadian ini. Jangan-jangan ada keburukan yang sering saya perbuat dengan
sendal ini? Hmm…
Belum lengkap saya menghimpun
hikmah dari kejadian tersebut, keesokan harinya saya dihadapkan lagi pada
peristiwa yang tidak kalah mengagetkannya. Kamis (20/06/13), ketika saya sholat
zuhur di maskam, saya kaget karena melihat sendal gunung yang mirip sekali
dengan sendal saya yang kemarin hilang. Saya perhatikan bentuk dan
ciri-cirinya, sama persis. Tidak salah lagi, ini adalah sendal gunung saya.
Sejenak saya kehilangan arah, apa
yang harus saya lakukan? Langsung bawa pulang sendal saya atay tunggu sampai
orangnya datang? Pilihan pertama sepertinya sangat beresiko karena bisa jadi
saya yang disangka malingnya. Akhirnya, saya inisiatif menunggu “pelaku”nya.
Selagi menunggu, saya mencari
satpam untuk meminta pendampingan menghadapi masalah ini. Saya khawatir jika
nanti bertemu dengan orang yang memakai sendal tersebut, ada peristiwa yang
tidak diinginkan *halah, gayanya, gak sekalaian aja lw cari pengacara*. Setelah
bertemu Pak Satpam, dia meminta saya menunggui sendal tersebut, nanti kalau
sudah ketemu orangnya, baru saya diminta memanggilnya lagi.
Saya pun mengintai dengan penuh
kecemasan (Sherlock Holmes mode: on). Agak gerogi juga saya menghadapi situasi
seperti ini. Dalam benak saya, sudah terbayang hal-hal yang aneh. Saya berusaha
menenangkan diri. Seorang Bapak juga coba menentramkan suasana dengan
memberikan perspektif yang berbeda, “Siapa tau malingnya sudah menjual sendal
adek ke toko loak (barang bekas, red), terus dibeli sama orang yang sekarang?
Jadi, nanti jangan emosi dulu ya!”. Ah, benar juga. Bisa juga seperti itu.
Cukup lama saya menunggu, tapi
“lakon” yang ditunggu tidak tampil-tampil juga. Sampai hampir satu jam saya
menunggu, saya akhirnya menyerah (karena sedang ada janji sebenarnya). Saya pun
menitipkan pesan kepada ibu-ibu penjual buku di situ agar memerhatikan orang
yang memakai sendal tersebut. “Bu, kalau ada orang yang memakai sendal
tersebut, tolong ditanya, dia belinya dimana. Kalau sampai ashar tidak ada yang
mengambil sendal tersebut, nanti saya ambil. Insyaallah saya sholat ashar di
sini”, pesan saya kepada si ibu setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang
saya alami. Untungnya si ibu terlihat sangat kooperatif, hehe.
Ketika kembali ke Maskam untuk
sholat Ashar, hati saya berbunga-bunga karena melihat sendal saya masih
ter-onggok manis di tempat semula. Setelah sholat, saya laporan ke Pak Satpam,
maksudnya ingin meminta kejelasan, apa sendal itu boleh saya bawa pulang atau
gimana. Pak Satpam menjelaskan bahwa sendal itu sebenarnya sudah ada sejak
kemarin sore. Kemarin sore ada bapak-bapak yang kehilangan sepatu dan hanya
tersisa sendal tersebut, tapi bapak itu tidak mau membawa sendalnya. Akhirnya
sendal itu dibiarkan di situ sampai akhirnya pemilik aslinya, yaitu saya,
menemukannya kembali, hehe.
Kalau analisis Pak Satpam sih
begini, jadi si maling mengambil sendal saya di Masjid Al-Ikhlas ketika Zuhur,
kemudian menukarnya dengan sendal atau sepatu lain di Maskam ketika Ashar. Pola
seperti itu menurut Pak Satpam sering dilakukan oleh maling. Walaupun sudah ada
beberapa maling yang tertangkap basah dan dipukuli, tapi rupanya mereka belum
jera juga. Ckckck.
#pojok Perpus Psikologi
0 comments:
Post a Comment