June 24, 2013

Kembalinya Sendal Gunung

Hari Rabu kemarin (19/06/13), saya kehilangan sendal gunung saya di masjid dekat kost (Masjid Al Ikhlas). Ini adalah sendal gunung kedua yang hilang setelah sebelumnya juga pernah raib di masjid Fakultas Kehutanan. Sebenarnya bukanlah kebiasaan bagi saya pergi ke masjid memakai sendal ini (biasanya saya memakai sendal jepit atau sendal biasa), tapi entah mengapa saat itu saya ingin memakai sendal tersebut. Yah, namanya juga qodarullah, kalau memang sudah saatnya hilang, ya akan hiilang.
Ilustrasi Sendal Gunung (sumber: tokopedia.com)

Di kost, saya memikirkan hikmah dari kejadian ini. Jangan-jangan ada keburukan yang sering saya perbuat dengan sendal ini? Hmm…

Belum lengkap saya menghimpun hikmah dari kejadian tersebut, keesokan harinya saya dihadapkan lagi pada peristiwa yang tidak kalah mengagetkannya. Kamis (20/06/13), ketika saya sholat zuhur di maskam, saya kaget karena melihat sendal gunung yang mirip sekali dengan sendal saya yang kemarin hilang. Saya perhatikan bentuk dan ciri-cirinya, sama persis. Tidak salah lagi, ini adalah sendal gunung saya.

Sejenak saya kehilangan arah, apa yang harus saya lakukan? Langsung bawa pulang sendal saya atay tunggu sampai orangnya datang? Pilihan pertama sepertinya sangat beresiko karena bisa jadi saya yang disangka malingnya. Akhirnya, saya inisiatif menunggu “pelaku”nya.

Selagi menunggu, saya mencari satpam untuk meminta pendampingan menghadapi masalah ini. Saya khawatir jika nanti bertemu dengan orang yang memakai sendal tersebut, ada peristiwa yang tidak diinginkan *halah, gayanya, gak sekalaian aja lw cari pengacara*. Setelah bertemu Pak Satpam, dia meminta saya menunggui sendal tersebut, nanti kalau sudah ketemu orangnya, baru saya diminta memanggilnya lagi.

Saya pun mengintai dengan penuh kecemasan (Sherlock Holmes mode: on). Agak gerogi juga saya menghadapi situasi seperti ini. Dalam benak saya, sudah terbayang hal-hal yang aneh. Saya berusaha menenangkan diri. Seorang Bapak juga coba menentramkan suasana dengan memberikan perspektif yang berbeda, “Siapa tau malingnya sudah menjual sendal adek ke toko loak (barang bekas, red), terus dibeli sama orang yang sekarang? Jadi, nanti jangan emosi dulu ya!”. Ah, benar juga. Bisa juga seperti itu.

Cukup lama saya menunggu, tapi “lakon” yang ditunggu tidak tampil-tampil juga. Sampai hampir satu jam saya menunggu, saya akhirnya menyerah (karena sedang ada janji sebenarnya). Saya pun menitipkan pesan kepada ibu-ibu penjual buku di situ agar memerhatikan orang yang memakai sendal tersebut. “Bu, kalau ada orang yang memakai sendal tersebut, tolong ditanya, dia belinya dimana. Kalau sampai ashar tidak ada yang mengambil sendal tersebut, nanti saya ambil. Insyaallah saya sholat ashar di sini”, pesan saya kepada si ibu setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang saya alami. Untungnya si ibu terlihat sangat kooperatif, hehe.

Ketika kembali ke Maskam untuk sholat Ashar, hati saya berbunga-bunga karena melihat sendal saya masih ter-onggok manis di tempat semula. Setelah sholat, saya laporan ke Pak Satpam, maksudnya ingin meminta kejelasan, apa sendal itu boleh saya bawa pulang atau gimana. Pak Satpam menjelaskan bahwa sendal itu sebenarnya sudah ada sejak kemarin sore. Kemarin sore ada bapak-bapak yang kehilangan sepatu dan hanya tersisa sendal tersebut, tapi bapak itu tidak mau membawa sendalnya. Akhirnya sendal itu dibiarkan di situ sampai akhirnya pemilik aslinya, yaitu saya, menemukannya kembali, hehe.

Kalau analisis Pak Satpam sih begini, jadi si maling mengambil sendal saya di Masjid Al-Ikhlas ketika Zuhur, kemudian menukarnya dengan sendal atau sepatu lain di Maskam ketika Ashar. Pola seperti itu menurut Pak Satpam sering dilakukan oleh maling. Walaupun sudah ada beberapa maling yang tertangkap basah dan dipukuli, tapi rupanya mereka belum jera juga. Ckckck. 

#pojok Perpus Psikologi

0 comments:

Post a Comment