Barang siapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. dan memberinya
rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. (Ath-Thalaaq
2-3)
Kalau diingat-ingat, momen wisuda
yang baru saja saya lalui rasanya cukup membuat saya tersenyum simpul. Bukan
karena prestasi cum laude yang saya dapatkan *sekali lagi lw ngomong cum laude,
gw jitak lw, Jar*, tapi karena sesuatu yang diluar kebiasaan. Yap, benar-benar
di luar kebiasaan. Kalau biasanya wisudawan hanya diantar oleh orangtuanya
saja, yah paling banter sama adik atau kakaknya juga lah, nah kalau saya
diantar oleh orang satu bis. *benar-benar keluarga yang anti mainstream*
Well, sebenarnya hal itu pun
terjadi dengan sangat mendadak. Awalnya, Bapak saya bilang bahwa hanya ada
maksimal kira-kira 7 orang yang akan berangkat ke Jogja, mereka adalah adik (2
orang), bapak, 1 teman (Boim), Bu’de, Bu’le, dan supir, tapi ternyata isu
wisuda ini berhembus dengan sangat liarnya.
Beberapa hari setelah Bapak mengatakan
hal tersebut, saya ditelepon oleh Bu’le yang kemudian mengabari bahwa ada
saudara-saudara Ibu (Paman-Bibi) yang juga ingin ikut sehingga jika ditotal
jumlahnya mencapai 12 orang. Bu’le menanyakan kesediaan saya, apakah saya
mengizinkan atau tidak.
Bagi saya pribadi sebenarnya
tidak masalah jika mereka ingin ikut. Saya justru senang karena hal itu
menunjukkan eratnya tali silaturahim di antara kami. Akan tetapi, saya khawatir
jika keinginan untuk mendampingi saya wisuda justru malah menjadi beban yang
memberatkan bagi mereka mengingat masing-masing dari mereka tentu punya
kesibukan sendiri. Menanggapi kekhawatiran saya itu, Bu’le saya dengan tegas
mengatakan bahwa mereka tidak akan merasa terbebani. “Yowis, silahkan
saja”, saya mengizinkan.
Berhubung mobilnya cuma satu,
akhirnya diputuskanlah rencana untuk menyewa mobil Elf (kapasitas 12=14 orang).
Ingat, ini baru rencana karena tidak lama setelah itu keputusan ternyata berubah
lagi. Selang beberapa hari setelah telepon Bu’le saya, saya ditelepon lagi oleh
Pak’de (dari Ibu). Beliau mengabari bahwa ternyata masih ada lagi kerabat Ibu
yang ingin ikut sehingga jika ditotal, jumlahnya kini mencapai 18 orang.
Pak’de menanyakan kepada saya, apakah
saya keberatan dengan jumlah orang yang segitu banyak. Secara spontan saya
menjawab tidak keberatan. Bahkan saya benar-benar senang dengan respon keluarga
besar yang seperti itu. Mereka sangat perhatian kepada keluarganya.
Mendengar respon saya, mereka
kemudian berembug lagi sampai akhirnya diputuskanlah untuk menyewa bis ukuran
tanggung (kapasitas 25 orang). What a number, bro!!!
Saya baru sadar bahwa perkara ini
bukan perkara ringan ketika Pak’de datang ke rumah (pada saat itu saya sedang
pulang kampung) dan mengatakan bahwa beliau membayar uang muka untuk bis. Ya, ini
bukan perkara ringan karena saya harus memikirkan akomodasi (penginapan) untuk
20 orang dengan harga yang sangat miring hampir jatuh.
Tadinya, ketika jumlah rombongan “baru”
mencapai 12 orang, saya sudah mengontak Nadia (teman kampus) untuk meminjam
rumahnya selama semalam. Saya pun sudah menjelaskan keadaan saya kepada Nadia.
Alhamdulillah dia mengizinkan. Akan tetapi, jika kerabat yang ikut mencapai 20
orang atau lebih (dan saya haqqul yakin akan lebih dari 20 orang jika naik bis),
maka saya tentu tidak enak kepada Nadia. Pertama, tidak enak karena kapasitas
rumahnya pun terbatas. Kedua, karena lingkungan rumahnya yang kurang mendukung
untuk dimasuki bis. Dan ketiga, karena lingkungan rumahnya yang berada di
perumahan, yang cenderung privat.
Well, saya akhirnya kebakaran
jenggot sampai H-1 kedatangan rombongan. Saya minta bantuan Mas Wiwit (anak
dari Ibu Kost saya yang lama) untuk mencarikan rumah yang sekiranya bisa
dipakai untuk semalaman saja. Sayangnya, sampai H-1 Mas Wiwit tidak mendapatkan
rumah yang saya cari. Saya pun tidak menemukan rumah yang sesuai untuk
dijadikan tempat menginap. Akhirnya, dengan berat hati, saya minta kesediaan
Mas Wiwit dan Ibu Siti (Ibu Kost saya) untuk direpotkan selama semalam saja.
Saya minta izin untuk memakai rumah mereka sebagai tempat singgah rombongan
dari Jakarta. Alhamdulillah, mereka mengizinkan.
Rombongan berangkat dari Jakarta
jam 8 kurang dan baru tiba di Jogja jam 12 malam. *aje gile lamanye*. Saya
tidak bisa berlama-lama menemani mereka karena esoknya harus wisuda. Maka dari
itu, jam 1 dini hari saya pamit pulang ke kost. Sebelum pulang, saya menanyakan
kepada mereka, apa saja rencana esok hari. Pakde mengatakan bahwa rencana
mereka adalah, ketika saya wisuda, mereka akan jalan-jalan ke Parangtritis.
Yang mau ke wisuda, dipersilahkan, dan yang mau ke Parantritis juga
dipersilahkan. Kemudian nanti bertemu lagi di penginapan ketika saya telah
selesai wisuda. *jadi gw gak diajak jalan-jalan nih? wkwkwkwk…*
Usut punya usut, ternyata
keesokan paginya mereka batal ke Parangtritis. Hampir semua dari mereka justru
pergi ke wisuda sehingga pada hari itu mereka tidak jalan ke mana-mana. Saya
sendiri tidak tau kalau ternyata mereka pergi ke wisuda karena tidak ada yang
mengabari saya. Mereka baru mengabari ketika saya sudah berada di fakultas
untuk mengikuti acara pelepasan wisudawan di kampus.
Rombongan keluarga saya tidak
berlama-lama di Jogja. Hari itu juga, Selasa 21 Mei 2013 mereka pulang ke
Jakarta. Sebelum pulang mereka memberikan selamat kepada saya untuk yang
terakhir kalinya. Hampir semua yang memberikan selamat, menitipkan “lembaran
harum” di tangan saya. Saya merasa sangat tidak enak. Saya berusaha menolaknya
karena saya sadar bahwa mereka pun pasti sudah banyak berkorban untuk hadir ke
Jogja. Tapi sekuat tenaga saya menolak, sekuat tenaga pula mereka memaksa saya
untuk menerimanya. Akhirnya, saya terima juga pemberian mereka.
Sontak dada saya bergemuruh
ketika mengetahui jumlah “lembaran harum” tersebut yang ternyata sama dengan
jumlah biaya pendaftaran untuk seleksi S2. Allahu Akbar…!!!
Selama ini saya bermuram durja
memikirkan biaya tersebut. Allah dengan kasih sayang-Nya memberikan solusi
tanpa terpikirkan sama sekali oleh saya. Benar-benar rejeki yang datang dari
arah yang tidak disangka-sangka. Allahu Akbar…!!!
Inilah salah satu hikmah menjaga
silaturahim. Seandainya keluarga yang datang cuma 12 orang, belum tentu saya
bisa mendaftar S2.
Dan saya pun tersenyum simpul.
Lagi.
#Jogja di kala senja
0 comments:
Post a Comment