Beberapa hari ke belakang saya
benar-benar merasakan kemelut. Bayangan tidak bisa mengikuti wisuda bulan Mei
terus menghantui karena sampai hari Jumat (19/04/13), saya belum mendapatkan
satu pun tanda tangan dosen sebagai tanda disahkannya skripsi saya. Padahal,
hari terakhir pengumpulan tanda tangan itu adalah hari Senin (22/04/13).
Jumat kemarin, saya rencananya
mau bertemu dengan Pak Azwar untuk memberikan revisi skripsi, tapi kemudian batal.
Beliau pergi ke Bali dan baru balik hari Minggu. Padahal, kata salah seorang
teman yang diuji juga oleh beliau, dia harus revisi sampai tiga kali sebelum
mendapat tanda tangan Pak Azwar. Kalau waktu sekali revisi diasumsikan satu
hari, berarti waktu yang dibutuhkan untuk mendapat pengesahan dari beliau kurang
lebih butuh tiga hari! Jelas ini tidak cukup!
Saya pun mengadukan nasib saya ke
Bu Yuni (urusan skripsi). Beliau menjawab, “Yaudah, dicoba aja dulu hari Senin,
mudah-mudahan langsung dapat tanda tangan”. Jawaban ini membuat hati saya
sedikit tersiram.
Sabtunya, saya mengajak Imron
untuk menemani saya ke kediaman Pak Budi untuk menyerahkan revisi skripsi.
Sebelumnya, saya telah bertemu dengan beliau pada hari Kamis (18/04/2013), tapi
saya masih disuruh merevisi. Seolah memahami kondisi saya yang sedang terdesak,
beliau mempersilahkan saya untuk datang ke rumahnya pada hari Sabtu atau
Minggu.
Rumah beliau terletak di Jalan
Wonosari. Alhamdulillah, tidak sulit mencarinya. Dengan sekali bertanya kepada
Ibu-ibu di angkringan, saya langsung bisa menemui rumahnya.
Singkat cerita, saya sampai di
rumahnya dan dipersilahkan masuk. Pak Budi kemudian memeriksa skripsi saya
lagi. Saya benar-benar deg-degan. Takut jika kejadian hari Kamis teulang lagi. FYI,
Kamis kemarin, beliau sebenarnya sudah hampir menandatangani skripsi saya.
Pulpen beliau sudah menempel di atas kertas. Hati saya sudah sumringah. Tapi sebelum
beliau tanda tangan, beliau bertanya, “Sudah diperbaiki toh ini?”. “Sudah,
Pak”, mantap sekali saya menjawabnya.
Entah angin apa yang berhembus
saat itu, beliau bukannya langsung tanda tangan, tapi justru memeriksa skripsi
saya lagi. Membaliknya lembar demi lembar dan menahan pandangannya agak lama di
Bab 1. Saya mulai cemas, kemudian lemas setelah mendengar komentar pembukanya.
“Lha ini masih begini...bla-bla-bla”. Tanpa saya lanjutkan komentarnya, rasanya
kita semua sudah mengerti bahwa masih ada yang salah dalam skripsi saya. Pulpen
yang sudah menempel di lembar tanda tangan pun akhirnya dicabut kembali.
Fyuuhh…
Di kesempatan kedua itu, beliau
membaca lagi dengan cukup seksama. Membalik lembar demi lembar dan menahan
pandangannya lagi di Bab 1. Beberapa menit berlalu, tapi belum juga ada
komentar dari beliau, sampai akhirnya beliau bertanya dengan pertanyaan yang
paling saya ingin dengar, “Mana halaman tanda tangannya?”. Ah… Keukenhoof (festival
bunga Tulip di Belanda) rasanya pindah ke hati saya. Beliau mencukupkan
pemeriksaannya hanya sampai Bab 1, setelah itu langsung menandatanganinya. Sip…
Satu tanda tangan telah didapat.
Setelah itu, saya hanya bisa
menunggu sampai hari Senin tiba karena dosen lainnya (Pak Azwar) baru bisa
ditemui hari Senin. Hikmahnya, saya bisa memberikan waktu saya untuk Indung
yang qodarullah di akhir pekan kemarin menginap di kost saya. Dia ingin
mengikuti kajian Syaikh Abdurrozaq di Maskam.
0 comments:
Post a Comment