April 5, 2013

Di Antara Arab dan Korporat, Ada Indonesia

Bimbang. Lagi-lagi pikiran saya berkubang di lembah kebimbangan. Kebimbangan kali ini datang dari pilihan karir setelah lulus kuliah. Mau apa saya setelah lulus kuliah nanti?
Sumber: ceciliaadrianto.wordpress.com

Saat ini, setidaknya saya memiliki tiga opsi. Opsi pertama adalah melanjutkan kuliah di Arab. Dulu saya pernah mendaftar beasiswa di King Saud University (KSU). Saat mendaftar, sebenarnya saya tidak menyertakan ijazah S1 karena saya memang belum lulus, tapi saya menjanjikan kepada mereka bahwa saya akan lulus paling lambat bulan Mei 2013. Setelah beberapa bulan tidak ada kabar dari mereka, kemarin Rabu (03/04), melalui email mereka memberikan respon yang menurut saya cukup positif. Mereka bertanya kepada saya apakah saya sudah lulus atau belum dan kalau sudah, saya diminta menyertakan ijazahnya.

Dulu sebenarnya saya tertarik ikut program ini karena mereka menyediakan prodi khusus “Psikometri”. Saya tertarik dengan prodi Psikometri karena menurut saya bidang inilah yang paling “ilmiah” dan menantang di antara bidang-bidang psikologi lainnya. Akan tetapi, ketika saya mendaftar dan memilih jurusan secara online, ternyata prodi yang disediakan melalui jalur beasiswa hanya Psikologi Klinis, sedangkan Psikometri tidak tersedia. Padahal saya tidak begitu tertarik dengan Psikologi Klinis.

Alasan kedua mengapa saya mengikuti beasiswa ini adalah karena saya ingin pergi haji dan umroh dengan cara yang lebih mudah dan murah, hehe. KSU ini sendiri lokasinya ada di Riyadh, tidak terlalu jauh dari Mekkah sehingga kalau nanti saya jadi kuliah di KSU, insyaallah saya bisa bolak-balik Masjidil Harom sepuasnya. Ihiyy…

Akan tetapi sekali lagi, karena bidang yang tersedia hanya Psikologi Klinis, saya jadi berpikir ulang untuk meneruskan proses pengurusan beasiswa ini karena pada dasarnya saya memang tidak begitu tertarik dengan bidang tersebut.

Ya, dulu saya memang pernah menyampaikan bahwa saya ingin menjadi dosen dan beasiswa ini bisa mengantarkan saya menuju pintu tersebut, tapi jika harus menjadi dosen psikologi klinis, saya sepertinya harus banyak-banyak tafakur karena menurut saya bidang inilah yang paling “rentan”. Saya takut jika nanti pertanggungjawabannya di akhirat akan memberatkan saya karena telah mengajarkan terapi-terapi psikologis yang agak mengkhawatirkan dari sisi aqidah, meski tidak semuanya nyeleneh. *no offense ya bapak/ibu dosen klinis*

Well, opsi kedua adalah mengikuti program beasiswa S2 di dalam negeri. Di Indonesia sendiri ada beberapa beasiswa S2 yang ditawarkan, tapi yang paling logis dan cocok (menurut saya) adalah beasiswa calon dosen melalui program BPP-DN DIKTI (dulu namanya Beasiswa Unggulan). Mengapa saya katakan paling logis dan cocok? Karena beasiswa ini meng-cover seluruh keperluan mahasiswa, mulai dari SPP, biaya bulanan, buku, penelitian, bahkan perjalanan. Selain itu, beasiswa ini juga memberlakukan sistem ikatan dinas yang masa baktinya adalah 1n+1. Kalau S2 nya dua tahun, berarti masa baktinya 3 tahun.

Bagi saya pribadi, hal ini (masa bakti) tidak menjadi masalah, malah sebuah berkah karena dengan begitu saya tidak perlu repot-repot mendaftar menjadi dosen. Akan tetapi sayangnya, bidang keilmuan yang ditawarkan terbatas pada beberapa bidang saja dan berita buruknya (gak buruk-buruk juga sih) mereka tidak menyediakan beasiswa untuk jurusan psikologi, baik magister profesi maupun sains. *ternyata psikologi belum dianggap sebagai bidang keilmuan yang strategis, haha*

Meskipun begitu, ada satu bidang yang menurut saya cukup relevan dengan psikologi, yaitu Manajemen Penanganan Bencana. Setelah dipikir-pikir, saya rasa tidak masalah jika saya mengambil jurusan tersebut karena selain ke-psikologi-an saya juga sudah mulai “goyah”, jurusan ini juga menarik minat saya, mengingat Indonesia adalah salah satu negara rawan bencana, sedangkan penanganan bencana di negeri ini masih amburadul. *pengalaman menjadi relawan Merapi kemarin menjadi tolok ukurnya*

Akan tetapi, permasalahan muncul ketika saya memikirkan biaya yang harus dipersiapkan untuk “menyambut” beasiswa tersebut. Well, meskipun beasiswa itu sudah meng-cover keseluruhan biaya, tapi tetap saja ada biaya-biaya di awal masuk, misalnya biaya pendaftaran. Meskipun (kalau tidak salah) nanti akan diganti juga oleh mereka. Total biaya awal yang harus saya persiapkan untuk menyambut beasiswa ini paling sedikit setidaknya Rp 1 juta.

Saya sungguh bingung bagaimana harus menjelaskan hal ini kepada Bapak saya. Di satu sisi, saya tidak mau merepotkan beliau lagi dan ingin segera membantu beliau, terutama dalam hal ekonomi, tapi di sisi lain saya juga ingin mengejar cita-cita saya. Dan bekerja di korporat bukanlah impian saya yang sesungguhnya.

Sebenarnya dengan uang bulanan dari beasiswa BPP-DN itu pun sudah cukup untuk membantu Bapak saya, setidaknya membantu meringankan beban biaya untuk sekolah adik, tapi masalahnya ya itu tadi, saya tidak tau bagaimana harus menjelaskan dan meyakinkan beliau untuk “berinvestasi” sedikit lagi untuk mengurus biaya pendaftaran dan tetek bengeknya. Apalagi adik saya yang pertama juga mau lulus SMK dan berencana lanjut kuliah, pasti butuh banyak biaya.

Nah, semua kondisi itu mengarahkan saya kepada opsi ketiga, yaitu bekerja. Ini sebenarnya opsi yang paling unfavorable bagi saya, tapi saya benar-benar terhimpit pada keadaaan yang sangat dilematis. Bapak dan keluarga besar saya sudah pasti lebih menghendaki saya agar bekerja. Bu’de saya dulu dengan jelas meminta agar saya bekerja saja di sekitaran Jakarta. “Gak usah jauh-jauh, kerja aja di sini”, katanya tempo hari ketika saya bilang bahwa saya mendaftar beasiswa di Arab. Tapi, passion saya bukan di situ. Passion saya adalah buku dan hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan. Itulah yang membuat saya “hidup”. Setidaknya untuk saat ini.

Well, memang saya akui bahwa keluarga besar saya bukanlah keluarga yang memiliki background pendidikan yang kuat. Mereka lebih cenderung ke arah entrepreneur. Jadinya kebanyakan dari mereka tidak terlalu antusias dengan pendidikan. Saya sendiri heran, mengapa saya bisa menjadi begitu berbeda dengan mereka?

Anyway, semua analisis ini hanyalah kalkulasi saya sebagai makhluk yang lemah. Saya bilang ini bagus-itu jelek, tapi Allah tentu punya penilaian sendiri, perkara mana yang paling baik untuk saya. Sambil berdoa agar Allah menunjukkan jalan yang lurus, sekarang sempurnakan ikhtiar dulu deh. *siap-siap pendadaran Bung*

NB: Saya benar-benar mengapresiasi upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan belakangan ini. Langkahnya sangat progresif dan populis. Semoga tidak ada udang di balik bakwan ya, hehe.

#pojok kamar wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment