Bimbang. Lagi-lagi pikiran saya
berkubang di lembah kebimbangan. Kebimbangan kali ini datang dari pilihan karir
setelah lulus kuliah. Mau apa saya setelah lulus kuliah nanti?
Saat ini, setidaknya saya
memiliki tiga opsi. Opsi pertama adalah melanjutkan kuliah di Arab. Dulu saya
pernah mendaftar beasiswa di King Saud University (KSU). Saat mendaftar,
sebenarnya saya tidak menyertakan ijazah S1 karena saya memang belum lulus,
tapi saya menjanjikan kepada mereka bahwa saya akan lulus paling lambat bulan
Mei 2013. Setelah beberapa bulan tidak ada kabar dari mereka, kemarin Rabu
(03/04), melalui email mereka memberikan respon yang menurut saya cukup
positif. Mereka bertanya kepada saya apakah saya sudah lulus atau belum dan
kalau sudah, saya diminta menyertakan ijazahnya.
Dulu sebenarnya saya tertarik
ikut program ini karena mereka menyediakan prodi khusus “Psikometri”. Saya
tertarik dengan prodi Psikometri karena menurut saya bidang inilah yang paling “ilmiah”
dan menantang di antara bidang-bidang psikologi lainnya. Akan tetapi, ketika saya
mendaftar dan memilih jurusan secara online, ternyata prodi yang disediakan melalui
jalur beasiswa hanya Psikologi Klinis, sedangkan Psikometri tidak tersedia.
Padahal saya tidak begitu tertarik dengan Psikologi Klinis.
Alasan kedua mengapa saya
mengikuti beasiswa ini adalah karena saya ingin pergi haji dan umroh dengan
cara yang lebih mudah dan murah, hehe. KSU ini sendiri lokasinya ada di Riyadh,
tidak terlalu jauh dari Mekkah sehingga kalau nanti saya jadi kuliah di KSU,
insyaallah saya bisa bolak-balik Masjidil Harom sepuasnya. Ihiyy…
Akan tetapi sekali lagi, karena
bidang yang tersedia hanya Psikologi Klinis, saya jadi berpikir ulang untuk
meneruskan proses pengurusan beasiswa ini karena pada dasarnya saya memang
tidak begitu tertarik dengan bidang tersebut.
Ya, dulu saya memang pernah
menyampaikan bahwa saya ingin menjadi dosen dan beasiswa ini bisa mengantarkan
saya menuju pintu tersebut, tapi jika harus menjadi dosen psikologi klinis,
saya sepertinya harus banyak-banyak tafakur karena menurut saya bidang inilah
yang paling “rentan”. Saya takut jika nanti pertanggungjawabannya di akhirat
akan memberatkan saya karena telah mengajarkan terapi-terapi psikologis yang agak mengkhawatirkan dari sisi aqidah, meski tidak semuanya nyeleneh. *no offense ya bapak/ibu dosen klinis*
Well, opsi kedua adalah mengikuti
program beasiswa S2 di dalam negeri. Di Indonesia sendiri ada beberapa beasiswa
S2 yang ditawarkan, tapi yang paling logis dan cocok (menurut saya) adalah
beasiswa calon dosen melalui program BPP-DN DIKTI (dulu namanya Beasiswa
Unggulan). Mengapa saya katakan paling logis dan cocok? Karena beasiswa ini
meng-cover seluruh keperluan mahasiswa, mulai dari SPP, biaya bulanan, buku,
penelitian, bahkan perjalanan. Selain itu, beasiswa ini juga memberlakukan
sistem ikatan dinas yang masa baktinya adalah 1n+1. Kalau S2 nya dua tahun,
berarti masa baktinya 3 tahun.
Bagi saya pribadi, hal ini (masa
bakti) tidak menjadi masalah, malah sebuah berkah karena dengan begitu saya
tidak perlu repot-repot mendaftar menjadi dosen. Akan tetapi sayangnya, bidang
keilmuan yang ditawarkan terbatas pada beberapa bidang saja dan berita buruknya
(gak buruk-buruk juga sih) mereka tidak menyediakan beasiswa untuk jurusan
psikologi, baik magister profesi maupun sains. *ternyata psikologi belum
dianggap sebagai bidang keilmuan yang strategis, haha*
Meskipun begitu, ada satu bidang
yang menurut saya cukup relevan dengan psikologi, yaitu Manajemen Penanganan
Bencana. Setelah dipikir-pikir, saya rasa tidak masalah jika saya mengambil
jurusan tersebut karena selain ke-psikologi-an saya juga sudah mulai “goyah”,
jurusan ini juga menarik minat saya, mengingat Indonesia adalah salah satu
negara rawan bencana, sedangkan penanganan bencana di negeri ini masih
amburadul. *pengalaman menjadi relawan Merapi kemarin menjadi tolok ukurnya*
Akan tetapi, permasalahan muncul
ketika saya memikirkan biaya yang harus dipersiapkan untuk “menyambut” beasiswa
tersebut. Well, meskipun beasiswa itu sudah meng-cover keseluruhan biaya, tapi
tetap saja ada biaya-biaya di awal masuk, misalnya biaya pendaftaran. Meskipun
(kalau tidak salah) nanti akan diganti juga oleh mereka. Total biaya awal yang
harus saya persiapkan untuk menyambut beasiswa ini paling sedikit setidaknya Rp
1 juta.
Saya sungguh bingung bagaimana
harus menjelaskan hal ini kepada Bapak saya. Di satu sisi, saya tidak mau
merepotkan beliau lagi dan ingin segera membantu beliau, terutama dalam hal
ekonomi, tapi di sisi lain saya juga ingin mengejar cita-cita saya. Dan bekerja
di korporat bukanlah impian saya yang sesungguhnya.
Sebenarnya dengan uang bulanan
dari beasiswa BPP-DN itu pun sudah cukup untuk membantu Bapak saya, setidaknya
membantu meringankan beban biaya untuk sekolah adik, tapi masalahnya ya itu
tadi, saya tidak tau bagaimana harus menjelaskan dan meyakinkan beliau untuk “berinvestasi”
sedikit lagi untuk mengurus biaya pendaftaran dan tetek bengeknya. Apalagi adik
saya yang pertama juga mau lulus SMK dan berencana lanjut kuliah, pasti butuh
banyak biaya.
Nah, semua kondisi itu
mengarahkan saya kepada opsi ketiga, yaitu bekerja. Ini sebenarnya opsi yang
paling unfavorable bagi saya, tapi saya benar-benar terhimpit pada keadaaan
yang sangat dilematis. Bapak dan keluarga besar saya sudah pasti lebih
menghendaki saya agar bekerja. Bu’de saya dulu dengan jelas meminta agar saya bekerja
saja di sekitaran Jakarta. “Gak usah jauh-jauh, kerja aja di sini”, katanya
tempo hari ketika saya bilang bahwa saya mendaftar beasiswa di Arab. Tapi, passion
saya bukan di situ. Passion saya adalah buku dan hal-hal yang
berhubungan dengan pendidikan. Itulah yang membuat saya “hidup”. Setidaknya
untuk saat ini.
Well, memang saya akui bahwa
keluarga besar saya bukanlah keluarga yang memiliki background pendidikan yang
kuat. Mereka lebih cenderung ke arah entrepreneur. Jadinya kebanyakan dari
mereka tidak terlalu antusias dengan pendidikan. Saya sendiri heran, mengapa
saya bisa menjadi begitu berbeda dengan mereka?
Anyway, semua analisis ini
hanyalah kalkulasi saya sebagai makhluk yang lemah. Saya bilang ini bagus-itu
jelek, tapi Allah tentu punya penilaian sendiri, perkara mana yang paling baik
untuk saya. Sambil berdoa agar Allah menunjukkan jalan yang lurus, sekarang
sempurnakan ikhtiar dulu deh. *siap-siap pendadaran Bung*
NB: Saya benar-benar mengapresiasi
upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan belakangan ini. Langkahnya sangat
progresif dan populis. Semoga tidak ada udang di balik bakwan ya, hehe.
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment