Miris. Benar-benar miris saya
melihatnya. Seorang tetangga kos “mengabaikan” ibu dan adik kecil yang sedang
mengunjunginya. Dia meninggalkan ibu dan adiknya berdua di kamar dan lebih
memilih mengobrol dengan tetangga kos yang lain sejak semalam. Ibunya dicuekin.
Kedatangan ibunya diacuhkan.
Sejak kedatangannya semalam, saya
belum mendengar percakapan antara mereka berdua. Padahal saya tau, teman kos saya itu berasal
dari luar Jawa. Artinya, kemungkinan besar ibunya pun datang dari luar Jawa.
Hal ini menambah daftar kemirisan hati saya. Mengapa seorang anak begitu tega
“mengacuhkan” orangtua (apalagi Ibu) yang sudah jauh-jauh datang dari kampung?
Kenapa dia bisa sampai hati memilih menghabiskan waktu bersama teman kosnya
yang setiap hari ada di situ daripada dengan ibunya yang hanya sesekali datang?
Bahkan ketika matahari baru akan
terbit, ia bukannya men-treat ibu dan adiknya dengan menyediakan
sarapan, teh hangat, atau makanan ringan, tapi malah keluar kamar lagi untuk
melanjutkan obrolannya yang semalam. Masya Allah. Bagi saya, itu sudah sangat
keterlaluan.
Saya saja selalu memimpikan ibu
saya (sewaktu beliau masih ada) bisa mengunjungi saya di sini, tapi karena satu
dan lain hal, beliau belum bisa berkunjung ke Jogja. Rencananya ibu akan datang
saat wisuda saya, tapi hal itu sudah tidak mungkin lagi karena beliau sudah
wafat bulan Ramadhan tahun lalu.
Oleh karena itu, setiap kali ada
teman kos yang dikunjungi orangtuanya, terutama ibu, saya menjadi begitu
emosional (dalam artian psikologis). Saya bahkan pernah menitikkan air mata
ketika seorang teman dikunjungi ibunya. Ibunya itu begitu perhatian dan sangat
ramah kepada anak kos lain. Kasih sayang ibu tersebut mengingatkan saya kepada
umi.
Itulah mengapa saya begitu
“sensitif” dengan perilaku abai teman saya itu. Pesan untuk anda: jangan
mempertontonkan perilaku abai anda terhadap ibu di depan saya!
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment