#ditulis pada tanggal 05
Desember 2012
Beberapa hari ini, saya sedang
mendapat ujian. Skripsi saya bermasalah. Ujian pendadaran yang saya jadwalkan
akan berlangsung di awal Desember ini sepertinya tidak berjalan mulus, justru
makin jauh panggang dari api. Well,
tapi saya sedang tidak ingin membicarakan hal itu di sini. Insyaallah di
kesempatan mendatang akan saya tuliskan pengalaman itu supaya jadi pelajaran
bagi siapapun, khususnya saya. Dalam tulisan kali ini saya ingin berbagi
tentang film yang baru saja saya tonton.
Patut diakui, permasalahan yang
saya alami sangat menyita waktu dan perhatian. Saya tegang, sekaligus jenuh. Untuk
menghibur diri dari permasalahan itu, saya memilih menonton film. Film yang
baru saja saya tonton adalah “Tanah Surga…Katanya”. Saya tertarik menonton film
ini karena dari berita yang saya baca di Kompas, film ini masuk dalam berbagai
nominasi FFI. Saya sendiri sebenarnya jarang menonton film, apalagi film
Indonesia.
Well, dari
judulnya kita sudah tau bahwa film ini pasti bermuatan isu-isu nasionalisme.
Dan memang benar, setelah saya tonton, film ini memang banyak menyampaikan
pesan-pesan kecintaan terhadap tanah air.
Film ini bercerita tentang
kehidupan rakyat Indonesia di perbatasan. Settingnya berada di perbatasan
Kalimantan Barat dengan Serawak (Malaysia). Kehidupan rakyat Indonesia yang
serba sulit banyak diekspos di film ini. Bagi saya pribadi, sebenarnya tidak
ada isu segar yang dihadirkan dalam film ini karena isu-isu tersebut sudah
sering saya baca, dengar, dan saksikan melalui media sejak saya SMA.
Sejak masa-masa sekolah
nasionalisme saya memang menggapai-gapai langit. Rasa haru yang mudah terpantik
ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya beramai-ramai setidaknya bisa menjadi
salah satu indikatornya. Akan tetapi, perasaan itu sedikit demi sedikit berubah
ketika saya masuk kuliah. Kini saya merasa bahwa paham nasionalisme yang banyak
dikampanyekan para nasionalis itu adalah paham yang cacat, yang hanya akan
menyempitkan pandangan manusia untuk berbuat baik.
Lah kok bisa? Just keep reading, Bro
Oke, kita kembali ke film dulu,
menurut saya film ini cukup berbahaya, apalagi jika ditonton oleh anak-anak dan
remaja. Pasalnya, pesan-pesan nasionalisme yang disampaikan dalam film ini
mengandung unsur fanatisme buta yang akan menanamkan sikap benci dan permusuhan
terhadap bangsa lain. Juga memperuncing ketegangan antara Indonesia dengan
Malaysia.
Mengapa? Don’t be bawel,
just keep your eyes on the text
Salah satu drama dalam film
tersebut bercerita tentang seorang kakek dari tokoh utama (Salman), yang menderita
suatu penyakit. Anaknya, yaitu ayahnya Salman (diperankan oleh Ence), mengajak
sang Kakek pindah ke Malaysia untuk tinggal bersamanya agar bisa mendapatkan
perawatan yang lebih baik. Ayah Salman sendiri sudah lebih dahulu menetap di
sana setahun belakangan dan memilih menjadi warga negara Malaysia. Akan tetapi,
sang Kakek menolak karena alasan nasionalisme. Kakek tersebut kemudian
meninggal dalam perjalanan di atas sampan menuju Rumah Sakit.
Alih-alih terharu dengan drama tersebut, saya menganggap sang kakek telah berbuat dzholim terhadap dirinya karena lebih memilih sakit (menyiksa diri) daripada berobat di Malaysia. Menurut saya, bukan penyakit yang merenggut nyawanya, melainkan fanatisme buta terhadap tanah air lah yang menjadi biang keroknya.
Man, jangan terlalu fanatik lah dengan “bendera kebangsaan”. Tidak seharusnya seorang muslim menempatkan kedudukan “bendera” lebih tinggi dibanding kedudukan “aqidah”. Malaysia itu negara Islam. Banyak saudara-saudara kita yang seiman di sana. Mengapa kita harus membenci mereka? Rasul saw mengatakan bahwa sesama muslim itu saudara dan diibaratkan bagai satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka bagian lain akan merasakan sakit. Film ini, menurut saya, justru mengajarkan sebaliknya, makanya saya bilang film ini berbahaya.
Saya yakin semua muslim sepakat bahwa Islam itu agama rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Jika tiap muslim ber-Islam dengan benar dan sungguh-sungguh, maka bukan hanya saudara sebangsa saja yang sejahtera, tapi semua umat. Baik yang Islam, maupun yang non Islam. Prototype-nya kan sudah ada waktu zaman Rasulullah saw. Maka dari itu, di atas saya bilang bahwa nasionalisme adalah paham yang cacat karena jauh sebelum nasionalisme itu hadir, Islam sudah mengajarkan cinta, bahkan dalam spektrum yang lebih luas, bukan hanya dalam lingkup negara.
Well, bukannya saya melarang untuk mencintai tanah air dan segala yang ada di dalamnya. Bukan itu. Boleh-boleh saja seseorang cinta kepada tanah airnya. Sah-sah saja jika anda memelihara burung Garuda *gak nyambung*. Akan tetapi, jika rasa cinta terhadap “Indonesia” mengerdilkan cinta kepada saudara seiman, maka sudah seharusnya kita mengoreksi cinta tersebut karena boleh jadi kita telah salah dalam mengoperasikan cinta .
Ingat, muslim itu selamat dan menyelamatkan. Bukan muslim namanya kalau orang lain merasa terancam berada di dekatnya.
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment