March 7, 2013

Norma Pembanding

Great minds discuss ideas
Average minds discuss events
Small minds discuss people

Apakah seorang anak yang mendapatkan nilai 55 dalam ujian Matematika dapat dikatakan sebagai anak yang bodoh? Tunggu dulu… lihat dulu nilai teman-teman sekelasnya. Kalau nilai rata-rata teman sekelasnya adalah 90, sah-sah saja menilai anak tersebut sebagai anak yang bodoh. Akan tetapi, lain cerita jika teman-teman sekelasnya hanya mendapat nilai rata-rata 25, kedudukan anak yang mendapat nilai 55 tadi bukanlah seorang bodoh, tapi CERDAS.

Apakah seorang karyawan yang mendapat gaji 10 juta perbulan dapat disebut sebagai karyawan yang mendapat gaji tinggi? Sekali lagi, tunggu dulu… lihat dulu kolega-kolega dalam satu perusahaannya. Kalau rata-rata pendapatan para karyawan di perusahaan tersebut adalah 500 ribu, maka karyawan kita tadi sangat boleh dikatakan sebagai karyawan yang bergaji istimewa tinggi, tapi jika kebanyakan koleganya di perusahaan bergaji 100 juta ke atas, maka gaji 10 juta milik si karyawan belum ada apa-apanya.

Satu contoh lagi, masih tentang karywan yang tadi, apakah dia dapat disebut sebagai karyawan yang bergaji rendah ketika kolega-kolega di perusahaan tempatnya bekerja mendapat gaji 100 juta perbulan?

Jawabannya (dan jawaban untuk semua pertanyaan yang setipe) adalah tergantung norma yang dipakai sebagai pembandingnya. Kalau norma yang dipakai adalah norma di perusahaan tersebut, boleh jadi si karyawan termasuk ke dalam golongan pegawai yang bergaji rendah. Akan tetapi, jika norma yang dipakai adalah norma masyarakat di tempat tinggalnya, yang mana mereka masih kesulitan mencari sesuap nasi, maka gaji karyawan kita tadi sudah masuk ke dalam golongan “dewa”.
Ilustrasi perbandingan (sumber: dailysocial.id)

Kota Jogja vs Kota X
Saya sengaja menyampaikan contoh-contoh di atas untuk menggambarkan bagaimana perasaan saya ketika harus menjalani hidup di dua tempat yang sangat kontras perbedaan karakteristik penduduknya, yaitu kota Jogja dan Kota X (sebutlah demikian). Di Jogja, saya merasa kerdil dalam berbagai aspek, terutama untuk urusan agama dan pengetahuan.

Oke, mari kita bahas dari segi agama. Di kota ini, saya sontak merasa sangat “cupu” ketika mengetahui bahwa anak-anak di sekitar saya memiliki hafalan al-Qur’an yang luar biasa. Suatu waktu, saat saya sedang mengajar TPA, saya iseng bertanya kepada anak SD kelas 4 yang sudah hampir hafal juz 30, “Azka (nama santri tersebut) sejak kapan menghafal surat An-Naba?” Dengan gaya kanak-kanaknya, dia menjawab, “Sejak kelas 3. Itu ngafalnya di sekolah kok Kak. Kalo kelas 1-3 ngafal juz 30. Kalo kelas 4 ngafal juz 29. Terus kalo kelas 5 ngafal juz 28.” Saya tercengang, “Berarti Azka sudah hafal juz 29?”, kejar saya, penasaran. “Belum, baru dikit” ujarnya.

Masya Allah… saya benar-benar merinding ketika mendengarnya pertama kali dan bagi anda yang juga baru mendengarnya pertama kali, maka anda harus siap-siap merinding lebih lama lagi karena anak-anak yang sehebat Azka jumlahnya bejibun di Jogja sehingga hal itu (seolah) menjadi hal yang biasa. Kesimpulan: anak SD yang hafal juz 30 adalah anak yang biasa di Jogja.
Saya jadi merenung, apa yang saya lakukan saat saya kelas 4 SD dulu? Hmm… sebentar, saya list dulu: main layangan, main bola, main Nintendo, bikin Umi marah karena baju yang kotor dahsyat sehabis bermain… apa lagi ya… Ah, udah cukup, malu-maluin aja membuka pengalaman masa lalu.

Oke, kembali ke topik, kalau anak-anak SD nya saja punya hafalan sehebat itu, lalu bagaimana orang dewasanya? Saya belum pernah bertanya langsung kepada mereka dan memang “kurang enak” menanyakan hal itu, tapi saya husnudzan bahwa hafalan mereka tentu juga luar biasa. Apalagi hafalan teman-teman dari kalangan mahasiswa, wedew… mending gak usah ditanya dah, bikin malu diri sendiri…
Lalu bagaimana ranking saya di antara mereka? Wah, pertanyaannya nyindir banget nih.

Well, saya sadar, jika norma pembanding yang dipakai adalah norma Jogja, maka ranking saya jauh berada di dasar palung, tapi lain cerita jika norma pembanding yang dipakai adalah norma Kota X, saya yakin ranking saya tidak merosot-merosot amat.

Memang bagaimana karakteristik penduduk Kota X?

Oke, sebelum membahas itu, perlu saya terangkan dulu bahwa saya secara berkala harus menetap di Kota X. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Dan kalau sudah berada di Kota X tersebut, saya merasa diri saya tidak “buruk-buruk” amat lah dalam beragama karena di sana tidak banyak figur-figur seperti “Azka kecil” dan “Azka dewasa” yang mudah saya temui di Jogja.

Kalau anda mau tau bagaimana karakteristik mereka, anda bisa membaca lagi tiga kalimat pembuka di awal tulisan ini. Tiga kalimat itu sedikit banyak menggambarkan bagaimana kecenderungan mereka, para sejawat saya di Kota X. Ketika kolega-kolega saya di Jogja antusias membicarakan islamisasi ilmu, kajian-kajian, dan hal-hal lain berkaitan dengan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia (sebenarnya saya kurang cocok dengan dikotomisasi seperti ini), mereka (para sejawat saya di Kota X) lebih antusias membicarakan si anu1 yang baru beli motor, anu2 yang baru putus pacaran, anu3 yang di-PHK, dan anu-anu lainnya. Oleh karena itu, ketika berada di Kota X, saya jarang sekali keluar sarang.

Ya, saya sadari bahwa perasaan ini (merasa diri lebih unggul) sangat berbahaya karena sebagai seorang muslim, tidak seharusnya saya merasa ada orang lain yang lebih rendah dibanding diri sendiri. But dude, it’s like an automatic procedure. Sulit sekali untuk menghilangkan atau sekedar menetralisir perasaan ini. Laksana melihat kuping sendiri tanpa bantuan cermin. Semakin dikejar, semakin jauh. *contohnya ngarang dan setelah dicermati, kayaknya gak nyambung*

Berita netralnya (saya bingung mau mengklasifikan ini sebagai berita baik atau buruk), kemungkinan besar saya akan meninggalkan Jogja dan tinggal lebih lama di Kota X. Wedew…

Kalau sudah seperti itu, tidak ada pilihan lain selain bebersih hati… (nulis kata “bebersih” jadi inget sama uler, wkwkwk).

#pojok kamar wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment