March 9, 2013

Mental Fakir

Memasuki tahun 2013, saya belajar membenahi mental saya. Perlu dicatat, pembenahan mental ini bukan merupakan bagian dari resolusi saya menghadapi tahun baru karena saya sendiri tidak pernah membuat resolusi apa-apa di tiap momen pergantian tahun. Dan bagi saya, mendeklarasikan mimpi tidak harus menunggu momen tahun baru karena hal itu jauh dari prinsip efisien. 

Oke..oke.. gak usah sewot, kita di sini lagi ngomongin mental, bukan resolusi. *elus-elus dada*

Back to topic, saya meyakini mental yang ingin saya benahi ini adalah mental yang sudah lazim beredar di masyarakat *su’udzan aja lw* sehingga selama ini saya pun tidak sadar kalau ternyata mental tersebut kurang pas menempel di jiwa saya sebagai seorang muslim. Permisifitas masyarakat ditambah terlalu sedikitnya waktu yang saya luangkan untuk berpikir dan berkontemplasi (merenung) membuat mental ini sulit terendus unsur “ketidakbaikannya”.

Well, mental apakah itu?

Saya menyebutnya mental fakir. *jeng…jeng…* Ya, mental fakir. Mental ini berwujud “permintaan traktir” oleh kita kepada orang lain, terutama teman dekat. Modusnya bisa bermacam-macam, tapi yang paling sering muncul adalah modus ulang tahun dan perayaan kesuksesan.
Ilustrasi meminta (sumber: qurancordoba.com)

Disadari atau tidak, kita (baca: saya) terlampau sering mengucapkan kata “traktir” sebagai bentuk pasif. Momen bertambahnya usia teman (khususnya teman dekat) selalu menjadi sasaran empuk bagi kita (baca: saya) untuk memperbaiki gizi atau sekedar menjaga isi dompet tetap utuh pada hari itu. Belum lagi kalau mereka (teman-teman kita) baru saja diwisuda, meraih beasiswa, mendapat gaji pertama atau meraih kesuksesan lainnya, bentuk pasif “traktir” bak gelombang yang meluncur deras tak terbendung dari mulut kita.

Kita jarang sekali mengucapkan kata “traktir” sebagai bentuk aktif, padahal sedari kecil kita telah diajari bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Kebiasaan ini sudah sepatutnya diwaspadai karena (setuju atau tidak) permintaan traktir merupakan sarana efektif pembentuk mental kefakiran. Kita menjadi senang diberi, padahal uswah hasanah kita jauh-jauh hari telah mengatakan bahwa pembuka pintu rezeki hakiki adalah memberi (sedekah). Bukan sebaliknya.

Well, mungkin self defense saya mengatakan bahwa esensi minta ditraktir sebenarnya bukan terletak di perut, melainkan di hati. Maksudnya, permintaan traktir hanyalah simbol kecil bahwa kita turut bersuka cita atas pencapaian teman kita.

Wedew, simbol kecilnya aja minta traktir, jangan-jangan simbol besarnya minta Apple, hehe.

Hmm… kalau wujud suka cita atas keberhasilan teman disimbolkan dengan permintaan traktir, saya sungguh tidak mampu membayangkan ekspresi Rasulullah ketika Abu Bakar berhasil “mengislamkan” banyak sahabat. Atau ketika Umar berhasil menjadi panglima perang yang disegani. Juga ketika Utsman sukses besar dalam berniaga. Atau ketika Ali selamat dalam perjalanan hijrahnya dari Mekah ke Madinah seorang diri. Sungguh tidak bisa dibayangkan.

Menurut saya, cukuplah kata selamat yang dibungkus dengan doa “baarokalloh” menjadi simbol bahwa kita juga bersuka cita kita atas keberhasilan teman-teman kita. Mudah-mudahan itu lebih berguna. Perkara dia mau merayakan keberhasilannya dengan mentraktir kita, itu perkara lain. Anggap aja rejeki. Yang penting kita gak minta. Hehe…

#pojok kamar wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment