Memasuki tahun 2013, saya
belajar membenahi mental saya. Perlu dicatat, pembenahan mental ini bukan
merupakan bagian dari resolusi saya menghadapi tahun baru karena saya sendiri
tidak pernah membuat resolusi apa-apa di tiap momen pergantian tahun. Dan bagi
saya, mendeklarasikan mimpi tidak harus menunggu momen tahun baru karena hal
itu jauh dari prinsip efisien.
Oke..oke.. gak usah sewot, kita
di sini lagi ngomongin mental, bukan resolusi. *elus-elus dada*
Back to topic, saya meyakini
mental yang ingin saya benahi ini adalah mental yang sudah lazim beredar di
masyarakat *su’udzan aja lw* sehingga selama ini saya pun tidak sadar kalau ternyata
mental tersebut kurang pas menempel di jiwa saya sebagai seorang muslim. Permisifitas
masyarakat ditambah terlalu sedikitnya waktu yang saya luangkan untuk berpikir
dan berkontemplasi (merenung) membuat mental ini sulit terendus unsur
“ketidakbaikannya”.
Well, mental apakah itu?
Saya menyebutnya mental fakir. *jeng…jeng…*
Ya, mental fakir. Mental ini berwujud “permintaan traktir” oleh kita kepada
orang lain, terutama teman dekat. Modusnya bisa bermacam-macam, tapi yang
paling sering muncul adalah modus ulang tahun dan perayaan kesuksesan.
Disadari atau tidak, kita
(baca: saya) terlampau sering mengucapkan kata “traktir” sebagai bentuk pasif.
Momen bertambahnya usia teman (khususnya teman dekat) selalu menjadi sasaran
empuk bagi kita (baca: saya) untuk memperbaiki gizi atau sekedar menjaga isi
dompet tetap utuh pada hari itu. Belum lagi kalau mereka (teman-teman kita) baru
saja diwisuda, meraih beasiswa, mendapat gaji pertama atau meraih kesuksesan
lainnya, bentuk pasif “traktir” bak gelombang yang meluncur deras tak
terbendung dari mulut kita.
Kita jarang sekali mengucapkan
kata “traktir” sebagai bentuk aktif, padahal sedari kecil kita telah diajari
bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Kebiasaan ini sudah
sepatutnya diwaspadai karena (setuju atau tidak) permintaan traktir merupakan
sarana efektif pembentuk mental kefakiran. Kita menjadi senang diberi, padahal uswah
hasanah kita jauh-jauh hari telah mengatakan bahwa pembuka pintu rezeki hakiki
adalah memberi (sedekah). Bukan sebaliknya.
Well,
mungkin self defense saya mengatakan bahwa esensi minta ditraktir
sebenarnya bukan terletak di perut, melainkan di hati. Maksudnya, permintaan
traktir hanyalah simbol kecil bahwa kita turut bersuka cita atas pencapaian
teman kita.
Wedew, simbol kecilnya aja
minta traktir, jangan-jangan simbol besarnya minta Apple, hehe.
Hmm… kalau wujud suka cita atas
keberhasilan teman disimbolkan dengan permintaan traktir, saya sungguh tidak
mampu membayangkan ekspresi Rasulullah ketika Abu Bakar berhasil “mengislamkan”
banyak sahabat. Atau ketika Umar berhasil menjadi panglima perang yang
disegani. Juga ketika Utsman sukses besar dalam berniaga. Atau ketika Ali
selamat dalam perjalanan hijrahnya dari Mekah ke Madinah seorang diri. Sungguh
tidak bisa dibayangkan.
Menurut saya, cukuplah kata
selamat yang dibungkus dengan doa “baarokalloh” menjadi simbol bahwa kita juga
bersuka cita kita atas keberhasilan teman-teman kita. Mudah-mudahan itu lebih
berguna. Perkara dia mau merayakan keberhasilannya dengan mentraktir kita, itu
perkara lain. Anggap aja rejeki. Yang penting kita gak minta. Hehe…
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment