Sewaktu pulang ke rumah sebulan
penuh kemarin, saya secara intensif berinteraksi dengan adik saya yang paling
kecil, yaitu Fahri (7 tahun). Dari semua keluarga saya, kepada Fahri lah saya
menaruh rasa kasihan yang paling dalam karena di usia yang sebegitu dini, dia
sudah kehilangan sosok ibu yang seharusnya menjadi penyuplai utama kasih sayang
kepadanya. Oleh karena itu, saya berusaha semaksimal mungkin merawat, mendidik,
dan mengasihinya meski semua usaha itu tidak sebanding dengan apa yang
dilakukan seorang ibu. Saya juga mengusahakan sekuat tenaga untuk tidak
menunjukkan muka cemberut kepadanya walau beberapa kali sempat jengkel juga
karena kenakalannya. Well, semoga Allah mengampuni segala khilaf saya.
Meski masih bocah, Fahri tidak
jarang menceritakan sesuatu yang bersifat “pribadi” kepada saya. Suatu malam,
dia pernah bertanya kepada saya dengan suara berbisik, “Aa mau punya ibu baru?”
Deg. Saya sangat kaget mendengar pertanyaannya itu. Mengapa dia tiba-tiba
bertanya seperti itu? Awalnya saya mengira anak sekecil dia belum punya pikiran
ke arah sana, tapi ternyata dugaan saya salah. Belum sempat saya menjawab, dia
sudah menuturkan opininya, “Kalo Fahri mah gak mau punya ibu baru.” Saya
benar-benar tidak bisa melanjutkan dialog yang mengagetkan itu, maka dari itu
saya buru-buru mengalihkan ke pembicaraan lain.
Pada kesempatan lain, Fahri juga pernah bertanya dengan pertanyaan yang menghujam dada. Dia pernah bertanya seperti ini, “Aa kangen sama Umi?” Jujur, saya senang mendengar dia bertanya seperti itu karena hal itu menunjukkan bahwa dia punya perhatian kepada umi, tapi saya juga heran dengan pertanyaannya yang keluar secara tiba-tiba itu. Dengan mantap saya jawab kepadanya, “Ya kangen. Kalo Fahri kangen gak?” “Kangen juga” dia menjawab singkat.
Tidak berhenti sampai di situ,
dia melanjutkan pertanyaannya lagi, “Dulu waktu Umi meninggal, Aa kenapa
nangis?” Saya mulai tertarik dengan pembicaraannya dan ingin mengungkap lebih
jauh perasaannya pada masa lalu dan kini. “Aa sedih. Emang Fahri gak sedih?”
Jawab saya sambil mengorek perasaannya pada waktu itu. “Sedih. Dulu Fahri juga
mau nangis, tapi air matanya gak keluar.” Hmm…sekarang taulah saya perasaan dia
yang sebenarnya. Dulu saya mengira Fahri masih belum mengenal konsep kematian
karena wajahnya terlihat “enjoy-enjoy” saja saat umi meninggal, tapi rupanya
dia juga memiliki perasaan yang sama dengan kami. Ekspresinya saja yang
berbeda.
Suatu ketika, dia menuturkan
kisahnya yang haru sekaligus lucu ketika dia menjalani ujian sekolah. Awalnya,
saya lah yang memantiknya dengan pertanyaan, “Fahri kemarin dapat ranking
berapa?” “14” jawabnya singkat. “Tapi ini di rapor kok gak ada rankingnya?”
saya memastikan. “Iya, emang gak ada, tapi kata Ibu Guru ranking 14” jelasnya.
Kemudian, tanpa diminta dia
bercerita pengalamannya waktu ulangan, “A, kemarin, waktu ulangan, kan ada
pertanyaan, ‘Waktu saya sakit, ibu mengantar saya ke…’ terus Fahri jawabnya ‘ke
restoran’”. Saya tergelak. Tak sanggup saya menahan tawa karena ceritanya. “Lah
kok ke restoran?” saya mencoba mencari tahu alasannya. “Iya, kan dulu kalo
Fahri sakit, umi biasanya ngajak ke McD” jawabnya polos.
Masya Allah… hati saya langsung
berdesir mendengarnya. Memang, umi saya (hampir) selalu mengajak Fahri ke McD
kalau dia sedang sakit dan biasanya McD memang lebih ampuh daripada obat
dokter. Tapi saya tidak menyangka kalau “kebiasaan” itu rupanya sangat membekas
di memorinya sampai-sampai “kebiasaan” itulah yang keluar menjadi jawaban atas
pertanyaan di atas.
“Ya Allah, jadikan kami anak
yang sholih, yang tau balas budi kepada orangtua”
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment