March 5, 2013

Akad Pertama

Sabtu, 23 Februari 2013, sepupu saya, Dian (23 tahun), menikah dengan seorang gadis pilihannya yang usianya masih relatif muda (sekitar 20 tahun). Pertama kali mendengar beritanya dari encing (bibi) saya (bahwa Dian akan menikah), saya agak kaget. Kaget karena sepupu saya itu masih muda, bahkan lebih muda dari saya. Dengan usia segitu, dia sudah berani membentangkan layar bahtera untuk mengarungi samudera rumah tangga bersama sang istri. Salut…
Ilustrasi akad nikah (sumber: healthynutritiontips.info)

Ya, saya benar-benar salut kepadanya. Juga kepada istrinya karena mereka berani dan bernyali untuk menghadapi resiko-resiko yang kemungkinan akan dihadapi. Saya salut kepada mereka berdua karena mereka tidak menjadi pasangan yang pengecut, yang memuaskan diri bermesra-mesra sebelum ijab kabul dilantunkan. 

Memang, dewasa ini terlalu banyak pasangan muda-mudi yang pengecut, yang bersembunyi dibalik tembok “pacaran” untuk melakukan hubungan layaknya suami-istri. Pacaran sudah begitu dimaklumi oleh masyarakat. Bahkan mereka seolah sepakat bahwa sebelum menikah, ya harus pacaran dulu, agar bisa saling mengenal. Ckckck…

Meskipun demikian, saya yakin bahwa orangtua sebenarnya tidak terlalu mengetahui bagaimana liarnya gaya anak muda sekarang dalam berpacaran. Kalau mereka tahu, mungkin mereka memiliki sikap yang lebih keras terhadap pacaran.

Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi dan salut kepada mereka (cowok-ccewek) yang menikah di usia muda karena dengan begitu (insyaallah) dosa maksiat dan zina dapat terminimalisir. 

Hikmatnya Akad
Pada saat akad nikah sepupu saya itu, saya menyengaja diri menghadirinya. Sejujurnya, ini adalah kesempatan pertama saya menyaksikan akad nikah secara langsung dan full. Sebelumnya, saya belum pernah menyaksikan prosesi “serah terima” mempelai wanita seperti ini secara langsung.

Akad nikah dilangsungkan di kediaman mempelai wanita. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah saya. Hanya berjarak sekitar satu kilometer. Saya datang bersama Dayat dan abangnya, sepupu saya yang lain.  Dayat diminta bantuan oleh Dian untuk menjadi fotografer.

Pada saat kami datang, prosesi akad belum dimulai. Tidak lama setelah itu, hujan rintik mulai turun mengiringi akad yang akan segera dimulai.

Penghulu di pernikahan Dian rupanya sangat komunikatif. Meskipun masih muda (usianya mungkin masih di bawah 35 tahun), tapi beliau sepertinya sudah sangat berpengalaman. Beliau tidak jarang melemparkan joke kepada calon pengantin dan tamu yang hadir untuk mencairkan suasana yang agak tegang tersebut, terutama bagi calon pengantin.

Tidak lupa penghulu memberikan nasihat dan petuah-petuah bijak untuk kedua calon pengantin. Hati saya tiba-tiba terhenyak ketika penghulu mengucapkan kata-kata yang kurang lebih redaksinya seperti ini: “Bapak (berbicara kepada orangtua mempelai wanita), kewajiban Bapak dan Ibu sebagai orangtua sudah tuntas sampai di sini. Berikutnya, suami anak Bapak lah yang memiliki kewajiban untuk mengurusnya. Segala dosa dan kesalahan anak Bapak nantinya akan menjadi tanggung jawab suaminya.”

Subhanallah… mata saya berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Saya membayangkan betapa beratnya tugas dan tanggung jawab seorang suami. Dia menjadi pihak yang berdiri di garis paling depan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan istri dan anak-anaknya di dunia. Beruntunglah dia ketika mendapati istri dan anak-anaknya menjadi insan yang solih-solihah. Sebaliknya, celakalah dia ketika mereka membangkangi ketentuan Allah.

Mata saya semakin merembes ketika ijab kabul mulai dilantunkan. Saya membayangkan sosok umi saya. Bagaimana nanti pilunya akad pernikahan saya ketika umi tidak hadir mendampingi saya. Saya tidak bisa mencium tangannya. Memohon restunya. Dan meminta maaf atas kesalahan saya. Masya Allah…

#pojok kamar wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment