Sabtu, 23 Februari 2013, sepupu
saya, Dian (23 tahun), menikah dengan seorang gadis pilihannya yang usianya
masih relatif muda (sekitar 20 tahun). Pertama kali mendengar beritanya dari
encing (bibi) saya (bahwa Dian akan menikah), saya agak kaget. Kaget karena
sepupu saya itu masih muda, bahkan lebih muda dari saya. Dengan usia segitu,
dia sudah berani membentangkan layar bahtera untuk mengarungi samudera rumah
tangga bersama sang istri. Salut…
Ya, saya benar-benar salut
kepadanya. Juga kepada istrinya karena mereka berani dan bernyali untuk menghadapi
resiko-resiko yang kemungkinan akan dihadapi. Saya salut kepada mereka berdua
karena mereka tidak menjadi pasangan yang pengecut, yang memuaskan diri
bermesra-mesra sebelum ijab kabul dilantunkan.
Memang, dewasa ini terlalu
banyak pasangan muda-mudi yang pengecut, yang bersembunyi dibalik tembok “pacaran”
untuk melakukan hubungan layaknya suami-istri. Pacaran sudah begitu dimaklumi
oleh masyarakat. Bahkan mereka seolah sepakat bahwa sebelum menikah, ya harus pacaran
dulu, agar bisa saling mengenal. Ckckck…
Meskipun demikian, saya yakin
bahwa orangtua sebenarnya tidak terlalu mengetahui bagaimana liarnya gaya anak
muda sekarang dalam berpacaran. Kalau mereka tahu, mungkin mereka memiliki
sikap yang lebih keras terhadap pacaran.
Oleh karena itu, saya sangat
mengapresiasi dan salut kepada mereka (cowok-ccewek) yang menikah di usia muda
karena dengan begitu (insyaallah) dosa maksiat dan zina dapat terminimalisir.
Hikmatnya Akad
Pada saat akad nikah sepupu
saya itu, saya menyengaja diri menghadirinya. Sejujurnya, ini adalah kesempatan
pertama saya menyaksikan akad nikah secara langsung dan full. Sebelumnya, saya
belum pernah menyaksikan prosesi “serah terima” mempelai wanita seperti ini
secara langsung.
Akad nikah dilangsungkan di
kediaman mempelai wanita. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah saya. Hanya
berjarak sekitar satu kilometer. Saya datang bersama Dayat dan abangnya, sepupu
saya yang lain. Dayat diminta bantuan
oleh Dian untuk menjadi fotografer.
Pada saat kami datang, prosesi
akad belum dimulai. Tidak lama setelah itu, hujan rintik mulai turun mengiringi
akad yang akan segera dimulai.
Penghulu di pernikahan Dian
rupanya sangat komunikatif. Meskipun masih muda (usianya mungkin masih di bawah
35 tahun), tapi beliau sepertinya sudah sangat berpengalaman. Beliau tidak
jarang melemparkan joke kepada calon pengantin dan tamu yang hadir untuk
mencairkan suasana yang agak tegang tersebut, terutama bagi calon pengantin.
Tidak lupa penghulu memberikan
nasihat dan petuah-petuah bijak untuk kedua calon pengantin. Hati saya
tiba-tiba terhenyak ketika penghulu mengucapkan kata-kata yang kurang lebih
redaksinya seperti ini: “Bapak (berbicara kepada orangtua mempelai wanita),
kewajiban Bapak dan Ibu sebagai orangtua sudah tuntas sampai di sini.
Berikutnya, suami anak Bapak lah yang memiliki kewajiban untuk mengurusnya.
Segala dosa dan kesalahan anak Bapak nantinya akan menjadi tanggung jawab
suaminya.”
Subhanallah… mata saya
berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Saya membayangkan betapa beratnya tugas dan
tanggung jawab seorang suami. Dia menjadi pihak yang berdiri di garis paling
depan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan istri dan anak-anaknya di dunia.
Beruntunglah dia ketika mendapati istri dan anak-anaknya menjadi insan yang
solih-solihah. Sebaliknya, celakalah dia ketika mereka membangkangi ketentuan
Allah.
Mata saya semakin merembes
ketika ijab kabul mulai dilantunkan. Saya membayangkan sosok umi saya.
Bagaimana nanti pilunya akad pernikahan saya ketika umi tidak hadir mendampingi
saya. Saya tidak bisa mencium tangannya. Memohon restunya. Dan meminta maaf
atas kesalahan saya. Masya Allah…
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment