January 16, 2012

Surat untuk Seorang Kawan


Kawan, tahukah engkau bahwa aku sangat bergembira ketika mendengar kabar pernikahanmu. Engkau menikah beberapa hari setelah aku berangkat ke Belanda. Ah, mengapa kau tidak mengabarkannya padaku sebelum aku berangkat? Meski dengan mengabarkannya pun aku tetap tidak bisa menghadiri walimahan mu, tetapi setidaknya aku bisa menjabat tangan dan merangkul tubuhmu untuk meluapkan kegembiraanku.

Aku senang kawan. Aku gembira kau telah menikah. Artinya, kau telah mempersempit lubang bagi setan untuk menjerumuskanmu dalam lembah perzinahan. Aku berharap langkahmu segera diikuti oleh teman-teman kita agar mereka (termasuk aku) juga bisa terhindar dari perzinahan. Apalagi kau cukup karismatik di kampung kita. Mereka senang terhadap pribadimu yang supel dan setia kawan. Kau sudah jadi panutan kawan. Ah, aku yakin mereka akan segera mengikuti langkahmu.

Sungguh kawan, aku benar-benar prihatin terhadap fenomena MBA (married by accident) yang sedang melanda negeri kita, termasuk juga kampung kita. Aku sedih sekali ketika mendengar kawan kita, yang juga seumuran dengan kita, terpaksa menikah karena kecelakaan. Tubuhku lemas ketika orang demi orang mengabari bahwa fulan A, fulan B, dan fulan C, yang dulu sering bermain bola bersama kita, harus menikah muda, juga karena kecelakaan. Ah…

Untunglah kamu tidak seperti mereka kawan. Aku sangat yakin kau tidak seperti mereka karena aku mengenalmu dengan baik, setidaknya sampai aku memutuskan untuk kuliah di Jogja 3 tahun yang lalu. Dan aku harap, keputusanmu untuk menikah muda ini menjadi pemutus rantai MBA yang sedang marak. Aku sangat berharap teman-teman kita di kampung segera mengikutimu karena dengan menikah muda, tempo pacaran mereka pun akan semakin singkat.

Ah, sebenarnya aku ingin menghapuskan kata “pacaran” dalam kamus kampung kita kawan, tetapi rasanya tidak segampang itu. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengubah kebudayaan jahil itu. Prosesnya akan sangat panjang. Dan aku yakin, menikah muda ini menjadi bagian dari proses pengikisan budaya jahil itu.

Kawan, kini usia pernikahanmu sudah memasuki bulan ke empat, tentu kau sedang bahagia-bahagianya dengan pernikahanmu. Kau bertanya bagaimana aku tahu? Ah, ini hanya feeling saja kawan. Dan ternyata kau pun membenarkan feelingku.

Kemarin malam, kita sempat bertukar komentar melalui jejaring sosial. Awalnya kita hanya bertegur sapa, saling menanyakan keadaan dan bercerita seputar kehidupan kita masing-masing. Sampai akhirnya kaupun bercerita bahwa kau sudah memiliki putra. Putra kandungmu. Darah dagingmu. Karunia dari pernikahanmu.

Kawan, kau sangat mengagetkanku malam itu. Aku mencoba memastikan bahwa kau tidak sedang bergurau. Dan kau kembali meyakinkanku bahwa kau memang sedang tidak bergurau.

Kawan, tolong jelaskan padaku bagaimana bisa kau sudah memiliki putra padahal usia pernikahanmu baru saja empat bulan? Tolong jelaskan kawan. Aku memaksa.

Belum sempat aku mendengar penjelasan darimu seseorang telah memberikan penjelasan kepadaku tentang dirimu. Dan penjelasan orang tersebut membuatku terpukul. Sangat terpukul hingga membuat tubuhku lemas. Sama lemasnya ketika mendengar berita si fulan A, B, dan C di atas.

Masyaallah…

Mengapa sampai hati kau melakukan hal itu kawan? Setan apa yang merasukimu sampai kau melakukan perbuatan itu? Sudahkah kau memikirkan konsekuensi yang akan kau terima dunia-akhirat dari perbuatanmu itu? Sudahkah kau memikirkan apa yang kemudian terjadi kepada para follower ketika seorang panutan mengambil tindakan? Teman-teman kita kawan. Ah…

Aku kecewa kawan. Sungguh aku kecewa padamu. Aku sudah sangat berhusnudzan kepadamu. Sudah sangat yakin kau menikah dengan “jalur” yang benar. Sudah membayangkan efek-efek positif dari pernikahanmu. Aku sudah banyak bermimpi kawan. Aku sangat yakin kau berbeda dari fulan A, B, dan C, tetapi ternyata kau sama saja dengan mereka.

Ah…

Aku sedih. Aku menangis.

0 comments:

Post a Comment