Kawan, tahukah engkau bahwa aku
sangat bergembira ketika mendengar kabar pernikahanmu. Engkau menikah beberapa
hari setelah aku berangkat ke Belanda. Ah, mengapa kau tidak mengabarkannya
padaku sebelum aku berangkat? Meski dengan mengabarkannya pun aku tetap tidak
bisa menghadiri walimahan mu, tetapi setidaknya aku bisa menjabat tangan dan
merangkul tubuhmu untuk meluapkan kegembiraanku.
Aku senang kawan. Aku gembira kau
telah menikah. Artinya, kau telah mempersempit lubang bagi setan untuk
menjerumuskanmu dalam lembah perzinahan. Aku berharap langkahmu segera diikuti
oleh teman-teman kita agar mereka (termasuk aku) juga bisa terhindar dari
perzinahan. Apalagi kau cukup karismatik di kampung kita. Mereka senang terhadap
pribadimu yang supel dan setia kawan. Kau sudah jadi panutan kawan. Ah, aku
yakin mereka akan segera mengikuti langkahmu.
Sungguh kawan, aku benar-benar
prihatin terhadap fenomena MBA (married by accident) yang sedang melanda negeri
kita, termasuk juga kampung kita. Aku sedih sekali ketika mendengar kawan kita,
yang juga seumuran dengan kita, terpaksa menikah karena kecelakaan. Tubuhku
lemas ketika orang demi orang mengabari bahwa fulan A, fulan B, dan fulan C,
yang dulu sering bermain bola bersama kita, harus menikah muda, juga karena kecelakaan.
Ah…
Untunglah kamu tidak seperti
mereka kawan. Aku sangat yakin kau tidak seperti mereka karena aku mengenalmu
dengan baik, setidaknya sampai aku memutuskan untuk kuliah di Jogja 3 tahun
yang lalu. Dan aku harap, keputusanmu untuk menikah muda ini menjadi pemutus
rantai MBA yang sedang marak. Aku sangat berharap teman-teman kita di kampung
segera mengikutimu karena dengan menikah muda, tempo pacaran mereka pun akan semakin
singkat.
Ah, sebenarnya aku ingin menghapuskan
kata “pacaran” dalam kamus kampung kita kawan, tetapi rasanya tidak segampang
itu. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengubah kebudayaan jahil itu.
Prosesnya akan sangat panjang. Dan aku yakin, menikah muda ini menjadi bagian
dari proses pengikisan budaya jahil itu.
Kawan, kini usia pernikahanmu
sudah memasuki bulan ke empat, tentu kau sedang bahagia-bahagianya dengan
pernikahanmu. Kau bertanya bagaimana aku tahu? Ah, ini hanya feeling saja
kawan. Dan ternyata kau pun membenarkan feelingku.
Kemarin malam, kita sempat
bertukar komentar melalui jejaring sosial. Awalnya kita hanya bertegur sapa,
saling menanyakan keadaan dan bercerita seputar kehidupan kita masing-masing. Sampai
akhirnya kaupun bercerita bahwa kau sudah memiliki putra. Putra kandungmu. Darah
dagingmu. Karunia dari pernikahanmu.
Kawan, kau sangat mengagetkanku
malam itu. Aku mencoba memastikan bahwa kau tidak sedang bergurau. Dan kau kembali
meyakinkanku bahwa kau memang sedang tidak bergurau.
Kawan, tolong jelaskan padaku
bagaimana bisa kau sudah memiliki putra padahal usia pernikahanmu baru saja
empat bulan? Tolong jelaskan kawan. Aku memaksa.
Belum sempat aku mendengar
penjelasan darimu seseorang telah memberikan penjelasan kepadaku tentang
dirimu. Dan penjelasan orang tersebut membuatku terpukul. Sangat terpukul
hingga membuat tubuhku lemas. Sama lemasnya ketika mendengar berita si fulan A,
B, dan C di atas.
Masyaallah…
Mengapa sampai hati kau melakukan
hal itu kawan? Setan apa yang merasukimu sampai kau melakukan perbuatan itu? Sudahkah
kau memikirkan konsekuensi yang akan kau terima dunia-akhirat dari perbuatanmu
itu? Sudahkah kau memikirkan apa yang kemudian terjadi kepada para follower ketika
seorang panutan mengambil tindakan? Teman-teman kita kawan. Ah…
Aku kecewa kawan. Sungguh aku kecewa
padamu. Aku sudah sangat berhusnudzan kepadamu. Sudah sangat yakin kau menikah
dengan “jalur” yang benar. Sudah membayangkan efek-efek positif dari
pernikahanmu. Aku sudah banyak bermimpi kawan. Aku sangat yakin kau berbeda
dari fulan A, B, dan C, tetapi ternyata kau sama saja dengan mereka.
Ah…
Aku sedih. Aku menangis.
0 comments:
Post a Comment