Mentor. Saya sedang membutuhkan
mentor. Otak saya terasa semakin tumpul karena jarang diasah. Untuk mengasah
tentu membutuhkan alat. Mentor itu lah alat asah andalan saya selama ini. Sebenarnya
saya punya sih satu mentor andalan, tapi sudah lama sekali saya tidak
berhubungan dengan dia. Penyebabnya dua, KKN dan Exchange Program ini. Mudah-mudahan
sekembalinya saya ke Jogja, saya bisa berdiskusi dan mengasah pikiran lagi
dengan dia.
Ah, tetapi rasanya kesempatan
untuk berdiskusi itu menjadi semakin sedikit karena dia sekarang sudah menikah.
Otomatis waktu luangnya tidak seperti dulu waktu masih bujangan. Sekarang kami
pun sudah tidak satu atap lagi. Dia sudah tinggal dengan istrinya. Dengan begitu,
“diskusi pengantar tidur” pun sudah tidak bisa kami lakukan.
Waduh, kok saya jadi seperti menyalahkan
pernikahannya ya? Itu kan hak dia untuk menikah. Haha.
Tenang, ini bukan ekspresi
kekecewaan atas pernikahan, tapi ekspresi kehilangan. Kehilangan seorang mentor
terbaik. Eh, bukan hilang juga sih, tapi tereduksi. Ya, otomatis perannya
sebagai mentor (dia tidak pernah menasbihkan dirinya sebagai mentor sih, ini
sebutan saya aja) akan tereduksi karena urusan yang akan dia hadapi semakin
banyak. Maka dari itu di kalimat awal saya katakan saya butuh mentor. Saya
butuh pengasah (tau pengasah kan? Itu lho, benda yang digunakan untuk
menajamkan pisau).
“Kalau cuma butuh pengasah, kan
gak harus melalui mentor. Kamu bisa mengasah pikiranmu dari buku atau diskusi
dengan orang lain”
Nah, di situlah peran dia (mentor
terbaik saya), dan sekaligus juga kelemahan saya, terlihat sangat menonjol. Saya sadar, saya agak kesulitan memantik diri saya sendiri dan beberapa tahun ke belakang saya dibantu olehnya memantik pikiran saya. Berdiskusi
dengannya, bisa membuat saya keliling perpustakaan untuk mencari referensi
(studi literatur). Menemui person per person untuk menguak keterangan. Dan akhirnya
mengalami kesulitan tidur karena gagasan yang belum rapi ditulis.
“Wah..wah..hati-hati terjebak
kemusyrikan bro! Jangan sampai menuhankan mentor dan menyangka mentor sebagai penolong.
Allah lah sebaik-baik penolong”
Oh, tidak. Saya sama sekali tidak
menuhankan mentor saya. Justru menurut saya Allah lah yang mengirim mentor itu
untuk membantu saya mengenal-Nya lebih dekat. Pasalnya, bukan hanya
pemikirannya yang brilian, tapi juga akhlaknya. Nih buktinya: Sholatnya 5 waktu
di masjid. Baca al-qur’annya setiap hari. Sedekah setiap hari dan nominal
sedekahnya semakin besar disaat krisis. Pandangannya insyaallah terjaga,
menunduk sewaktu berjalan. Apalagi ya? Banyak deh.
Makanya seperti ada rasa miss
dengan dia beberapa bulan ini. Sayangnya, mentor saya itu termasuk orang yang
konservatif. Dia kurang suka bergaul dengan internet. Facebook gak punya. Email
pun jarang dibuka. Sehingga kami benar-benar lost contact selama ini. Bisa sih
kalau mau tetap berhubungan lewat telepon dan pernah juga saya menelepon dia
dari sini. Tapi tarif teleponnya itu lho, gak nahan banget (ah, dasar gw nya
aja yang pelit).
Anyway, kembali ke kebutuhan untuk
dimentori. Yah, saya hanya berharap semoga dia masih punya waktu untuk
berdiskusi dengan saya walaupun sayanya juga harus tau diri untuk tidak terlalu
merepotkannya karena urusan dia sudah berlipat-lipat. Dan semoga Allah
mengirimkan mentor lagi untuk saya, hehe.
Hmm..jadi teringat doa seorang
alim: “Ya Allah, tunjukkan kepada kami jalan untuk semakin dekat dengan-Mu.
Kalau harus berguru, tunjukkan kepada kami guru yang mana yang harus kami
datangi. Kalau harus membaca buku, buku yang mana yang harus kami baca. Agar
kami tidak tersesat”
NB: Si mentor ini juga yang tidak menyarankan saya untuk menulis di blog karena menurutnya tidak ada tantangannya. Dia menyarankan agar lebih baik mengirimkan tulisan ke media karena dari situ kita bisa mengukur kualitas tulisan kita.
NB: Si mentor ini juga yang tidak menyarankan saya untuk menulis di blog karena menurutnya tidak ada tantangannya. Dia menyarankan agar lebih baik mengirimkan tulisan ke media karena dari situ kita bisa mengukur kualitas tulisan kita.
0 comments:
Post a Comment