December 19, 2011

Tidak Harus Populer Kok, Tuan

Kurang bertenaga. Saya merasakan kata-kata beliau saat ini kurang bertenaga. Tidak seperti dulu, 2-3 tahun yang lalu ketika baru selesai diterpa badai, suaranya begitu mengena, bertenaga, dan terasa menghujam.

Ketika baru diterpa badai dulu, beliau muncul dengan rupa baru. Semakin mantap, kokoh, dan ajeg. Tidak hanya di luar, tapi juga di dalam. Beliau juga menjadi sangat selektif dalam memilih kata-kata. Tidak lagi mudah mengeluarkan guyonan-guyonan karena beliau menyadari bahwa hal itulah yang mengeraskan hati.

Memang metode ini (meminimalisir guyonan) tidak populer*, apalagi jika diterapkan di masyarakat Indonesia (khususnya di kota-kota besar), tapi entah mengapa saya justru  melihat beliau semakin kokoh ketika meninggalkan guyonan-guyonan itu. Semakin mantap. Semakin menjulang.

Sayangnya sekarang, ketika badai mulai berlalu dan awan cerah mulai bergelayut lagi di kehidupan beliau, saya merasakan perubahan yang justru ke arah sebaliknya pada diri beliau. Beliau terasa mulai mendekati “zona-zona merah”, yaitu zona sebelum periode badai yang menghantam beliau dimulai.

Kemantapan, kekokohan, dan keajegan yang dulu saya lihat dan rasakan, perlahan mulai berkurang. Kata-katanya menjadi tidak sebertenaga dulu. Apakah ini karena beliau mulai mendekati guyonan-guyonan lagi?

Ah ya, saya mulai mendapati beliau mulai asyik melemparkan guyonan-guyonan lagi. Intensitas beliau “membuat orang tertawa” semakin sering. Apalagi kini beliau mulai terlihat aktif lagi menyapa masyarakat luas, khususnya masyarakat Ibu Kota yang sulit diambil perhatiannya dengan cara-cara yang tidak populer.

Ah, jangan. Jangan sampai beliau tergoda lagi kembali ke zona itu. Jangan sampai beliau memenuhi tuntutan pasar untuk memakai cara-cara populer. Saya lebih menyukai cara-caranya yang tidak populer karena lebih terasa kebenarannya. Lebih Menghujam.

Tapi tunggu sebentar, mengapa saya menjadi arogan seperti ini dengan menuduh beliau yang berubah? Jangan-jangan justru saya yang berubah. Sangat boleh jadi diri sayalah yang kualitasnya menurun sehingga tidak mampu merasakan hujaman beliau lagi. Tidak bisa merasakan kata-kata beliau berdentum-dentum lagi di hati dan pikiran saya. Ah, mengapa saya tidak mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain?

*Yang saya maksud dengan metode populer sebenarnya tidak hanya guyonan, tapi ada berderet-deret hal lainnya. Akan tetapi, menurut saya kurang etis jika hal itu dipapar di sini.

0 comments:

Post a Comment