Ketika baru diterpa badai dulu,
beliau muncul dengan rupa baru. Semakin mantap, kokoh, dan ajeg. Tidak hanya di
luar, tapi juga di dalam. Beliau juga menjadi sangat selektif dalam memilih
kata-kata. Tidak lagi mudah mengeluarkan guyonan-guyonan karena beliau menyadari
bahwa hal itulah yang mengeraskan hati.
Memang metode ini (meminimalisir
guyonan) tidak populer*, apalagi jika diterapkan di masyarakat Indonesia
(khususnya di kota-kota besar), tapi entah mengapa saya justru melihat beliau semakin kokoh ketika meninggalkan
guyonan-guyonan itu. Semakin mantap. Semakin menjulang.
Sayangnya sekarang, ketika badai
mulai berlalu dan awan cerah mulai bergelayut lagi di kehidupan beliau, saya merasakan
perubahan yang justru ke arah sebaliknya pada diri beliau. Beliau terasa mulai
mendekati “zona-zona merah”, yaitu zona sebelum periode badai yang menghantam
beliau dimulai.
Kemantapan, kekokohan, dan
keajegan yang dulu saya lihat dan rasakan, perlahan mulai berkurang. Kata-katanya
menjadi tidak sebertenaga dulu. Apakah ini karena beliau mulai mendekati
guyonan-guyonan lagi?
Ah ya, saya mulai mendapati
beliau mulai asyik melemparkan guyonan-guyonan lagi. Intensitas beliau “membuat
orang tertawa” semakin sering. Apalagi kini beliau mulai terlihat aktif lagi
menyapa masyarakat luas, khususnya masyarakat Ibu Kota yang sulit diambil
perhatiannya dengan cara-cara yang tidak populer.
Ah, jangan. Jangan sampai beliau
tergoda lagi kembali ke zona itu. Jangan sampai beliau memenuhi tuntutan pasar
untuk memakai cara-cara populer. Saya lebih menyukai cara-caranya yang tidak
populer karena lebih terasa kebenarannya. Lebih Menghujam.
Tapi tunggu sebentar, mengapa
saya menjadi arogan seperti ini dengan menuduh beliau yang berubah? Jangan-jangan
justru saya yang berubah. Sangat boleh jadi diri sayalah yang kualitasnya
menurun sehingga tidak mampu merasakan hujaman beliau lagi. Tidak bisa
merasakan kata-kata beliau berdentum-dentum lagi di hati dan pikiran saya. Ah, mengapa
saya tidak mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain?
*Yang saya maksud dengan metode
populer sebenarnya tidak hanya guyonan, tapi ada berderet-deret hal lainnya.
Akan tetapi, menurut saya kurang etis jika hal itu dipapar di sini.
0 comments:
Post a Comment