Bagi sejarah,
dia adalah guru bangsa, negarawan, pejuang, pemikir, penulis, cendekiawan,
budayawan, politikus, pendidik ummat, mujahid da’wah, dan tokoh internasional
yang dihormati.
Bagi ayah
dan ibunya, Anggui dan Uci, dia adalah anak kesayangan. Bagi isterinya, Umi
Nurnahar, dialah suami penuh cinta, partner perjuangan 57 tahun. Bagi
anak-anaknya, Sitti Muchlisah, Abu Hanifah, Asma Faridah, Hasnah Faizah,
Aisyahtul Asriah, Ahmad Fauzie, menantu dan cucu, dia adalah ayah, Aba
panggilan kesayangan, teladan kehidupan sukar tandingan.
Bagi HIS,
MULO, dan AMS, tempatnya bersekolah di Solok, Padang, dan Bandung, dia adalah
murid dari orangtua bukan pegawai terpandang, kecil dalam pendapatan, mencari
kayu untuk memasak makanan, tapi cerdas, pekerja keras, dalam umur sangat muda
menguasai banyak bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Perancis, Latin, dan Arab
bahasa Qur’an, tentu saja.
Bagi
perpustakaan sekolah AMS, dia adalah pembaca buku yang sangat tekun dengan
disiplin luar biasa, satu buku seminggu dia tamatkan, tetap disempatkan di
antara kesibukan menekuni pelajaran rutin keseharian.
Ada seorang
guru Belanda yang mengejeknya karena konversasinya tidak lancer dalam bahasa
Tanah Rendah itu. Natsir jengkel. Dia belajar mati-matian, tapi masih makan
waktu mengejar ketinggalan. Dia ikut deklamasi, baca syair Multatuli, judulnya “De
Banjir”, dengan latihan habis-habisan. Sehabis deklamasi tepuk tangan riuh
sekali, dan Natsir juara pertama, mendapat hadiah buku Westenenk. Guru Belanda
itu juga bertepuk tangan, tapi lambat-lambat dan enggan.
Di kelas 5
AMS ketemu lagi dia dengan guru itu, yang mengajar ilmu bumi ekonomi. Sang guru
sangat sinis pada gerakan politik kebangsaan. Dia menantang murid siapa berani
membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau
Jawa. Yang mengacungkan tangan cuma Natsir. Dia diberi waktu 2 minggu
menuliskannya. Dia pergi ke bibliotik Gedung Sate, cari notulen perdebatan di
Volksraad, menggali majalah-majalah kaum pergerakan, mengumpulkan statistik. Makalah
dibacakannya di kelas 40 menit. Natsir membuktikan bahwa rakyat di Jawa Tengah
dan Jawa Timur tidak mendapat keuntungan dari pabrik gula. Yang untung besar
adalah kapitalis Belanda dan bupati-bupati, yang menekan rakyat menyewakan
tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan rakyat jadi buruh pabrik terikat
upah rendah dan terbelit hutang senantiasa. Seluruh kelas sunyi senyap ketika
Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda itu suram. Dia tidak
menduga sama sekali ada murid kelas 5 AMS, setara dengan siswa kelas 2 SMA
kini, mampu membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.
Tapi Natsir
remaja tidak melulu jadi kutu buku. Di Bandung itu, petang Sabtu sesudah mandi
sore-sore dia memakai baju bersetrika, pantalon panjang dan jas tutup, jalan
kaki dari Cihapit bermalam Minggu. Makan sate Madura di kedai Madrawi depan
kantor polisi. Keliling sebentar di Pasar Baru, pulang lewat Hotel Homann. Di depan
sana dia mendengar orkes hotel melantunkan lagu demi lagu. Mendengar biola
digesek, dia ingin latihan biola lagi, tapi dia tahan hobi yang satu ini,
karena dia masih konsentrasi ingin mendapat angka 9 untuk Bahasa Latin. Dan angka
9 itu tercapai.
Persentuhannya
denga Ustadz Hassan Bandung, risau pada pengaruh literatur Barat pada
teman-teman sebayanya, bergabung dengan Jong Islamieten Bond, perkenalan dengan
Kasman Singodimedjo, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, menyebabkan anak muda
ini tidak tertarik melanjutkan studinya setamat AMS. Padahal yang paling
memukau tamatan AMS adalah menjadi Meester
in de Rechten, S1 ilmu hukum. Natsir tidak tertarik. Dia ingin segera
mendidik bangsa. Dengan hati-hati dia memberi tahu orangtuanya, Anggui dan Uci.
Alhamdulillah ayah dan ibunya setuju pada cita-citanya.
Bagi bangunan
di Bandung, Jalan Lengkong Baru 16, kemudian no 74, cita-cita pendidikan anak
muda ini direalisasikannya dengan susah payah melalui lembaga Pendidikan Islam,
Pendis, yang meliputi TK, HIS, dan MULO selama 10 tahun. Anak muda ini kemudian
melejit dalam interaksinya dengan Soekarno melalui polemiknya yang legendaris,
yang memantapkan orientasi nasionalisme religiusnya, yang membedakannya dari
orientasi nasionalisme sekuler.
Sesama
pejuang masa itu bahu-membahu menentang kolonialisme, tapi sebagian nasionalis
mengejek-ejek poligami, haji, dan fikih dalam Islam, sehingga terjadi
perdebatan besar. Namun Sukarno lawan debatnya, ketika diadili Belanda sebelum
dibuang ke Ende, tetap gigih dibela Natsir.
Di zaman
revolusi dia aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat, tiga kali menjadi
Menteri Penerangan dan sekali menjadi Perdana Menteri. Memimpin Masjumi,
berjuang melalui PRRI melawan sentralisme yang didukung PKI, dan untuk itu
habis-habisan direpresi. Sementara itu di dunia Islam kepemimpinannya luar
biasa dihargai. Memasuki ruangan, Raja Faisal berdiri menyongsong kedatangan
Natsir, menyalami dan memeluknya.
Bagi negara,
dialah yang lebih dari setengah abad yang lewat, selepas pengakuan kedaulatan
di masa gawat, ketika situasi nasional terancam perpecahan, dengan Mosi
Integralnya dia mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan momen 15
Agustus itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia.
Bagi rakyat,
dia adalah Menteri yang jasnya bertambal, mobil pribadinya DeSoto berwarna
kusam dan menggeleng ditawari Chevy Impala, dialah Perdana Menteri yang menolak
kelebihan dana taktis yang disumbangkannya kepada koperasi pegawai, dialah
pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta, Perdana Menteri yang
pernah boncengan naik sepeda dengan sopirnya, yang ahli warisnya tak mampu
membayar pajak rumah peninggalannya di kawasan Menteng.
Bagi kita
sulit memahami sikap terbukanya. Bersama dengan kawan segenerasinya, walau
betapa besar beda pendapat dengan lawan poitik, tidak menghalangi persahabatan
sebagai manusia. Sehabis pidato politik panas tentang dasar negara di Majelis
Konstituante, Natsir dan Aidit duduk makan siang bersama menikmati sate ayam. Begitu
pula Isa Anshary dengan Aidit, Muhammad Rum dengan IJ Kasimo.
Bagi bangsa,
akan sukar sekali mencari teladan kesederhanaan gaya hidup pribadi dan
keluarga, kesantunan dalam setiap lapis pergaulan, kerendahan suara dalam
perdebatan, bersih dan tertib dalam lalu lintas keuangan, dalam masalah materi
tidak mencatat keserakahan, dalam perilaku politik senantiasa menghormati
etika, dalam akhlak segi manapun mendekati sempurna, disimpulkan senyum teduh
di wajah karena getaran kalbu yang Ilahiah.
Rabbana,
Rabbana, Rabbana, jagan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk tibanya
pemimpin-pemimpin bangsa, yang mencerahkan dan bercahaya kilau-kemilau, serupa
beliau.
Murni
disadur dari halaman pengantar (ditulis oleh Taufiq Ismail), buku “100 Tahun Mohammad
Natsir: Berdamai dengan Sejarah”
***
Beberapa tahun
belakangan ini saya menyimpan kekaguman atas sosok Natsir. Saya mengagumi
beliau dari pemikirannya, pribadinya, dan akhlaknya tentu saja. Kekaguman itu
bermula ketika seorang kawan meminjamkan buku Capita Selecta (kumpulan tulisan
M. Natsir) kepada saya. Dari buku itu, saya tau bahwa beliau adalah sosok yang
visioner, konsisten-teguh dalam pendirian, tetapi tetap santun dalam mempertahankan
keyakinannya (berdebat dan berargumen).
Berbeda
dengan para penulis “nasionalis” kebanyakan, ketika membaca tulisan-tulisannya,
kita akan diajaknya berpikir, tetapi tetap menenangkan. Hal yang berkebalikan terjadi
ketika saya membaca tulisan Pram, salah satu penulis yang juga (sempat) saya
kagumi. Tulisan-tulisan Pram (terutama dalam
Tetralogi Buru) memang mengajak pembacanya “berlari” dan berpikir, tapi sarat
dengan emosi (kemarahan), sehingga membuat jiwa tidak tenang. Tenang-tidak
tenang itu yang membuat dua sosok ini sangat jauh berbeda.
Fakta-fakta
di atas saya sampaikan sebagai bahan renungan bagi saya pribadi dan para pemuda
pada umumnya bahwa saya (dan kita) ternyata tidak ada apa-apanya dibanding
sosok beliau. Paparan fakta tentang Natsir dari Taufiq Ismail di atas
benar-benar mengerdilkan saya. Jangankan berorasi dan berargumen di depan
Belanda, di hadapan dosen sendiri aja masih mikir-mikir.
Hmm...tetapi
pengakuan ketidakberdayaan ini seharusnya tidak statis (berhenti) di situ saja dengan
mengakui bahwa kita kalah dengan sosok Natsir. Akan lebih baik lagi jika
pengakuan ini dijadikan sebagai proses yang dinamis sehingga kita selalu berusaha
untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, setara (atau bahkan
melebihi) beliau.
Aba Natsir, Indonesia
(dan ummat) merindukan sosokmu.
0 comments:
Post a Comment