December 21, 2011

Sekali Lagi, Natsir!

Bagi sejarah, dia adalah guru bangsa, negarawan, pejuang, pemikir, penulis, cendekiawan, budayawan, politikus, pendidik ummat, mujahid da’wah, dan tokoh internasional yang dihormati.

Bagi ayah dan ibunya, Anggui dan Uci, dia adalah anak kesayangan. Bagi isterinya, Umi Nurnahar, dialah suami penuh cinta, partner perjuangan 57 tahun. Bagi anak-anaknya, Sitti Muchlisah, Abu Hanifah, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, Ahmad Fauzie, menantu dan cucu, dia adalah ayah, Aba panggilan kesayangan, teladan kehidupan sukar tandingan.

Bagi HIS, MULO, dan AMS, tempatnya bersekolah di Solok, Padang, dan Bandung, dia adalah murid dari orangtua bukan pegawai terpandang, kecil dalam pendapatan, mencari kayu untuk memasak makanan, tapi cerdas, pekerja keras, dalam umur sangat muda menguasai banyak bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Perancis, Latin, dan Arab bahasa Qur’an, tentu saja.

Bagi perpustakaan sekolah AMS, dia adalah pembaca buku yang sangat tekun dengan disiplin luar biasa, satu buku seminggu dia tamatkan, tetap disempatkan di antara kesibukan menekuni pelajaran rutin keseharian.

Ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena konversasinya tidak lancer dalam bahasa Tanah Rendah itu. Natsir jengkel. Dia belajar mati-matian, tapi masih makan waktu mengejar ketinggalan. Dia ikut deklamasi, baca syair Multatuli, judulnya “De Banjir”, dengan latihan habis-habisan. Sehabis deklamasi tepuk tangan riuh sekali, dan Natsir juara pertama, mendapat hadiah buku Westenenk. Guru Belanda itu juga bertepuk tangan, tapi lambat-lambat dan enggan.

Di kelas 5 AMS ketemu lagi dia dengan guru itu, yang mengajar ilmu bumi ekonomi. Sang guru sangat sinis pada gerakan politik kebangsaan. Dia menantang murid siapa berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Yang mengacungkan tangan cuma Natsir. Dia diberi waktu 2 minggu menuliskannya. Dia pergi ke bibliotik Gedung Sate, cari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah-majalah kaum pergerakan, mengumpulkan statistik. Makalah dibacakannya di kelas 40 menit. Natsir membuktikan bahwa rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak mendapat keuntungan dari pabrik gula. Yang untung besar adalah kapitalis Belanda dan bupati-bupati, yang menekan rakyat menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan rakyat jadi buruh pabrik terikat upah rendah dan terbelit hutang senantiasa. Seluruh kelas sunyi senyap ketika Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda itu suram. Dia tidak menduga sama sekali ada murid kelas 5 AMS, setara dengan siswa kelas 2 SMA kini, mampu membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Tapi Natsir remaja tidak melulu jadi kutu buku. Di Bandung itu, petang Sabtu sesudah mandi sore-sore dia memakai baju bersetrika, pantalon panjang dan jas tutup, jalan kaki dari Cihapit bermalam Minggu. Makan sate Madura di kedai Madrawi depan kantor polisi. Keliling sebentar di Pasar Baru, pulang lewat Hotel Homann. Di depan sana dia mendengar orkes hotel melantunkan lagu demi lagu. Mendengar biola digesek, dia ingin latihan biola lagi, tapi dia tahan hobi yang satu ini, karena dia masih konsentrasi ingin mendapat angka 9 untuk Bahasa Latin. Dan angka 9 itu tercapai.

Persentuhannya denga Ustadz Hassan Bandung, risau pada pengaruh literatur Barat pada teman-teman sebayanya, bergabung dengan Jong Islamieten Bond, perkenalan dengan Kasman Singodimedjo, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, menyebabkan anak muda ini tidak tertarik melanjutkan studinya setamat AMS. Padahal yang paling memukau tamatan AMS adalah menjadi Meester in de Rechten, S1 ilmu hukum. Natsir tidak tertarik. Dia ingin segera mendidik bangsa. Dengan hati-hati dia memberi tahu orangtuanya, Anggui dan Uci. Alhamdulillah ayah dan ibunya setuju pada cita-citanya.

Bagi bangunan di Bandung, Jalan Lengkong Baru 16, kemudian no 74, cita-cita pendidikan anak muda ini direalisasikannya dengan susah payah melalui lembaga Pendidikan Islam, Pendis, yang meliputi TK, HIS, dan MULO selama 10 tahun. Anak muda ini kemudian melejit dalam interaksinya dengan Soekarno melalui polemiknya yang legendaris, yang memantapkan orientasi nasionalisme religiusnya, yang membedakannya dari orientasi nasionalisme sekuler.

Sesama pejuang masa itu bahu-membahu menentang kolonialisme, tapi sebagian nasionalis mengejek-ejek poligami, haji, dan fikih dalam Islam, sehingga terjadi perdebatan besar. Namun Sukarno lawan debatnya, ketika diadili Belanda sebelum dibuang ke Ende, tetap gigih dibela Natsir.

Di zaman revolusi dia aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat, tiga kali menjadi Menteri Penerangan dan sekali menjadi Perdana Menteri. Memimpin Masjumi, berjuang melalui PRRI melawan sentralisme yang didukung PKI, dan untuk itu habis-habisan direpresi. Sementara itu di dunia Islam kepemimpinannya luar biasa dihargai. Memasuki ruangan, Raja Faisal berdiri menyongsong kedatangan Natsir, menyalami dan memeluknya.

Bagi negara, dialah yang lebih dari setengah abad yang lewat, selepas pengakuan kedaulatan di masa gawat, ketika situasi nasional terancam perpecahan, dengan Mosi Integralnya dia mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan momen 15 Agustus itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia.

Bagi rakyat, dia adalah Menteri yang jasnya bertambal, mobil pribadinya DeSoto berwarna kusam dan menggeleng ditawari Chevy Impala, dialah Perdana Menteri yang menolak kelebihan dana taktis yang disumbangkannya kepada koperasi pegawai, dialah pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta, Perdana Menteri yang pernah boncengan naik sepeda dengan sopirnya, yang ahli warisnya tak mampu membayar pajak rumah peninggalannya di kawasan Menteng.

Bagi kita sulit memahami sikap terbukanya. Bersama dengan kawan segenerasinya, walau betapa besar beda pendapat dengan lawan poitik, tidak menghalangi persahabatan sebagai manusia. Sehabis pidato politik panas tentang dasar negara di Majelis Konstituante, Natsir dan Aidit duduk makan siang bersama menikmati sate ayam. Begitu pula Isa Anshary dengan Aidit, Muhammad Rum dengan IJ Kasimo.

Bagi bangsa, akan sukar sekali mencari teladan kesederhanaan gaya hidup pribadi dan keluarga, kesantunan dalam setiap lapis pergaulan, kerendahan suara dalam perdebatan, bersih dan tertib dalam lalu lintas keuangan, dalam masalah materi tidak mencatat keserakahan, dalam perilaku politik senantiasa menghormati etika, dalam akhlak segi manapun mendekati sempurna, disimpulkan senyum teduh di wajah karena getaran kalbu yang Ilahiah.

Rabbana, Rabbana, Rabbana, jagan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk tibanya pemimpin-pemimpin bangsa, yang mencerahkan dan bercahaya kilau-kemilau, serupa beliau.

Murni disadur dari halaman pengantar (ditulis oleh Taufiq Ismail), buku “100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah”

***

Beberapa tahun belakangan ini saya menyimpan kekaguman atas sosok Natsir. Saya mengagumi beliau dari pemikirannya, pribadinya, dan akhlaknya tentu saja. Kekaguman itu bermula ketika seorang kawan meminjamkan buku Capita Selecta (kumpulan tulisan M. Natsir) kepada saya. Dari buku itu, saya tau bahwa beliau adalah sosok yang visioner, konsisten-teguh dalam pendirian, tetapi tetap santun dalam mempertahankan keyakinannya (berdebat dan berargumen).

Berbeda dengan para penulis “nasionalis” kebanyakan, ketika membaca tulisan-tulisannya, kita akan diajaknya berpikir, tetapi tetap menenangkan. Hal yang berkebalikan terjadi ketika saya membaca tulisan Pram, salah satu penulis yang juga (sempat) saya kagumi. Tulisan-tulisan Pram (terutama dalam Tetralogi Buru) memang mengajak pembacanya “berlari” dan berpikir, tapi sarat dengan emosi (kemarahan), sehingga membuat jiwa tidak tenang. Tenang-tidak tenang itu yang membuat dua sosok ini sangat jauh berbeda.

Fakta-fakta di atas saya sampaikan sebagai bahan renungan bagi saya pribadi dan para pemuda pada umumnya bahwa saya (dan kita) ternyata tidak ada apa-apanya dibanding sosok beliau. Paparan fakta tentang Natsir dari Taufiq Ismail di atas benar-benar mengerdilkan saya. Jangankan berorasi dan berargumen di depan Belanda, di hadapan dosen sendiri aja masih mikir-mikir.

Hmm...tetapi pengakuan ketidakberdayaan ini seharusnya tidak statis (berhenti) di situ saja dengan mengakui bahwa kita kalah dengan sosok Natsir. Akan lebih baik lagi jika pengakuan ini dijadikan sebagai proses yang dinamis sehingga kita selalu berusaha untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, setara (atau bahkan melebihi) beliau.

Aba Natsir, Indonesia (dan ummat) merindukan sosokmu.

0 comments:

Post a Comment