Sepuluh hari terakhir Ramadhan
adalah waktu yang disunnahkan untuk i’tikaf. Saya pun sebenarnya sudah sejak
lama punya niatan melaksanakan i’tikaf full 10 hari di masjid, tapi belum kesampaian
juga sampai sekarang. Pada Ramadhdan kali ini alhamdulillah saya berkesempatan melaksanakan
i’tikaf. Meski tidak full 10 hari di masjid, tapi i’itkaf ini sangat berkesan
karena banyak mendapat pengalaman dan ilmu baru. Beberapa masjid yang saya
datangi sebagai tempat i’tikaf adalah:
Masjid Nurul Ashri (sumber : google.com) |
Malam pertama i’tikaf saya lewati
di Masjid Nurash. Sebelumnya, saya juga melaksanakan tarawih di sini. Di Nurash
ternyata ada qiyamul la’il (sholat malam) satu juz secara berjamaah. Saya yang tidak
mengetahui informasi tersebut terlanjur melaksanakan qiyam la’il sendirian.
Jadi saya tidak ikut yang berjama’ah.
Kalau mau i’tikaf di Nurash ada
peraturan yang harus ditaati. Diantaranya adalah tidak boleh tidur di ruang
utama masjid. Kalau mau tidur, harus di luar masjid (selasar). Di sana panitia
telah menggelar tikar/karpet untuk jama’ah yang ingin tidur. Sebenarnya saya
kurang setuju dengan peraturan ini karena cuaca di luar itu pasti dingin. Kalau
panitia bermaksud menjaga kebersihan ruang utama masjid, maka hal itu
sebenarnya bisa disiasati dengan menaruh alas (tikar) di atas karpet ruang
utama, sehingga tidak kotor. Seperti yang dilakukan oleh Daarut Tauhid (DT) Bandung.
Saya sendiri sempat mendapat teguran ketika tertidur di ruang utama, hehe.
Maklum lah, belum biasa bergadang.
Oya, satu lagi, panitia juga
menyediakan santap sahur gratis untuk para jama’ah. Jadi jama’ah tidak perlu
keluar untuk mencari makan. Mantap dah!
22.
Masjid Salman ITB
Program safari Ramadhan saya
merambah Bandung saudara-saudara, haha. Hal ini memang sudah saya niatkan sejak
jauh hari. Niat awalnya bahkan saya ingin i’tikaf 10 hari di DT Bandung, tapi
karena satu dan lain hal niat itu belum kesampaian. Mudah-mudahan di waktu
mendatang bisa terwujud. Aamiin..
Btw saya datang ke Bandung naik
kereta eksekutif Argo Wilis. Bukan karena sok-sokan, tapi karena waktu itu
dapat tiket promo, ke Bandung cuma 99 ribu, makanya saya beli, hehe. Sampai di
Bandung sudah jam 19.30. Saya dijemput oleh Mas Firman di stasiun.
Alhamdulillah sampai di ITB, tarawih belum dimulai, penceramah masih memberikan
kultum sehingga saya bisa ikut tarawih berjama’ah.
Di Salman ada panitia yang
mengurusi pelaksanaan i’tikaf. Tarif i’tikaf di sini adalah Rp 10.000 perhari
(untuk mahasiswa, kalau untuk umum 12 ribu). Dengan uang segitu, kita akan
mendapatkan konsumsi untuk sahur (kalau berbuka selalu disediakan gratis),
notes, tas kecil, pulpen, stiker, pin, dan name tag.
Yang menyenangkan dari Salman
adalah kebersihannya yang terjaga, termasuk WC dan tempat wudhu. WC-nya wangi
karena ada parfum otomatis. Lantai masjidnya bukan marmer/keramik, melainkan
kayu sehingga tidak terlalu dingin. Peserta i’tikaf juga tidak terlalu ramai
sehingga masih kondusif.
Ruang utama Masjid Salman dengan lantai kayunya |
Nametag peserta i'tikaf |
Di malam hari ada qiyamul la’il
satu juz berjama’ah. Meski jama’ah i’tikaf lumayan banyak, tapi yang ikut
sholat malam hanya dua shaf saja. Itupun lama kelamaan terpangkas menjadi satu
shaf karena sholatnya memang lumayan lama.
Overall, Masjid Salman menjadi
salah satu tempat yang recommended untuk i’tikaf. Pantas dulu senior saya
bela-belain datang dari Jakarta ke Bandung hanya untuk i’tikaf. Hmm… sepertinya
saya juga harus memprogramkan i’tikaf di sini lagi di Ramadhan mendatang.
23.
Masjid Habiburrahman PT DI
(Bandung)
Hari kedua di Bandung, sebenarnya
saya ingin i’tikaf di DT, tapi karena jarak DT lumayan jauh, sedangkan Mas
Firman juga agak sibuk, sehingga saya alihkan ke Habiburrahman. Selain itu,
saya juga tertarik ke Habiburrahman karena mendengar cerita teman kampus saya
yang orang Bandung (Vera). Dia bilang i’tikaf di Habib selalu ramai, bahkan
jama’ah banyak yang memasang tenda, wedew… Saya jadi semakin penasaran.
Saya baru tiba di Habiburrahman
selepas Ashar. Pertama kali datang agak kaget juga. Ternyata benar apa yang
dikatakan Vera, banyak jama’ah yang mendirikan tenda. Komentar spontan saya waktu
itu adalah: ini masjid atau bumi perkemahan? Wkwk.
Ketika saya datang, sedang ada
kajian dari Ust. Saiful Islam Mubarok (ini salah satu ustadz cetar di Bandung),
tapi kajiannya tidak terlalu lama karena jam 17.00 sudah selesai. Satu hal yang
cukup mengherankan saya adalah, masjid ini tidak menyediakan hidangan berbuka,
bahkan untuk sekedar takjil. Padahal masjidnya lumayan besar dan jama’ahnya
juga sangat banyak. Hmm… mungkin karena itu (jama’ahnya banyak) sehingga
panitia kerepotan untuk menyiapkan. Akhirnya saya mencari menu berbuka di luar
masjid. Di luar, banyak pedagang yang berjualan aneka macam makanan.
Tarawih dimulai setelah kultum,
kira-kira jam 20.00 dan baru berakhir kira-kira jam 21.30 tanpa witir karena
witir akan dilaksanakan setelah qiyam la’il jilid dua (fyuuh..). Bacaan surat
di sholat tarawih kalau saya perhatikan sepertinya satu juz lebih. Saya tidak
bisa menaksir secara pasti karena tarawih selesai di tengah juz dengan waktu
yang relatif lama. Kaki saya sampai terasa kemeng (Jawa: pegal, mati
rasa).
Setelah selesai sholat, jama’ah
dipersilahkan tidur karena akan ada qiyamul la’il lagi pukul 00.30. Sholat
jilid dua ini lebih cetar lagi karena bacaannya lebih panjang dan waktunya
lebih lama. Bayangkan, sholat dimulai jam 01 kurang dan baru selesai jam 04.00.
Masya Allah, 3 jam lebih brooo. Apa gak pada copot tuh baut di kaki? Lah baca
doa qunut pas witir terakhirnya saja lebih dari 10 menit, saking panjangnya
(alhamdulillah doa qunutnya bukan seperti doa qunut biasa, tapi terdiri dari
banyak doa, termasuk mendoakan saudara kita sesama muslim di belahan bumi lain
seperti Gaza, Suriah, Irak, Afgan, Myanmar, Pakistan, Uighur, dll). Masya Allah…
Yang menakjubkan adalah, meski
bacaan sholatnya panjang dan waktu sholat yang sangat lama, tapi jama’ah
antusias mengikuti. Bayangkan, masjid itu hampir penuh dengan jama’ah yang
sholat (karena ada juga jamaah yang ikut i’tikaf, tapi tidak ikut sholat malam
berjama’ah). Benar-benar cetar nih masjid.
Jama'ah banyak yang mendirikan tenda di selasar masjid |
Satu sakelar untuk puluhan hp (tampak bar-bar, haha) |
Sayangnya, meski Habiburrahman
termasuk masjid yang semarak, tapi kondusifitas masjid kurang terjaga. Banyak hal
yang menurut saya harus dievaluasi agar pelaksanaan i’tikaf bisa lebih maksimal
ke depannya, diantaranya adalah, pertama, jama’ah terlalu penuh. Menurut saya
akan lebih baik jika jumlah jama’ah dibatasi, selain untuk menjaga
kondusifitas, juga agar jama’ah bisa i’tikaf di masjid lain sehingga masjid lain
juga kebagian semaraknya. Mungkin masjid Jogokariyan bisa menjadi salah satu
contoh. Masjid itu membatasi jama’ah i’tikaf 100 orang saja (untuk yang ikhwan,
saya kurang tau untuk yang akhwat) sehingga kondusifitas masjid lebih terjaga.
Kedua, terlalu banyak anak-anak. Sebenarnya
tidak masalah banyak anak-anak, hanya saja harus ditangani dengan baik. Yang
kemarin saya lihat adalah, banyaknya jumlah anak-anak tidak dibarengi dengan
pengelolaan yang baik sehingga anak lebih sering bercanda daripada ibadah. Ketiga
dan terakhir, kebersihan yang kurang terjaga. Well, ini adalah salah satu
konsekuensi membludaknya jama’ah, masjid jadi mudah kotor, terutama bagian
belakang (WC dan tempat wudhu). WC dan tempat wudhu masjid Habiburrahman kurang
nyaman karena bau dan kotor.
24.
Masjid Istiqlal
Saya di Bandung cuma dua hari. Patut
disayangkan sebenarnya mengingat suasana i’tikaf Ramadhan di Bandung yang benar-benar
semarak. Sebenarnya saya juga ingin lebih lama lagi i’tikaf di Bandung, tapi karena
saya sudah terlanjur beli tiket dan tiketnya tidak bisa dibatalkan, maka akhirnya
saya pulang di hari kedua.
Perjalanan dari Bandung ke Jakarta
saya tempuh dengan naik kereta. Alhamdulillah saya dapat tiket promo lagi untuk
kelas eksekutif, jadi saya bisa turun di Gambir yang bersebelahan dengan Istiqlal.
Btw rute kereta Bandung-Jakarta benar-benar indah. Saya terkagum-kagum
melihatnya. Ini pertama kalinya saya menempuh perjalanan dari Bandung ke
Jakarta naik kereta dan ternyata sangat worth it untuk diulang di kemudian
hari.
Karena turun di Gambir, maka saya
bisa ke Istiqlal dengan berjalan kaki. Saya sampai di Istiqlal kira-kira jam
15.30 pas adzan Ashar, tapi saya tidak ikut sholat Ashar berjama’ah karena
telah saya jamak di perjalanan. Yang saya cari saat itu malah kamar mandi
karena seharian ini saya belum sempat mandi. Untunglah ada toilet yang cukup luas
dan nyaman untuk dipakai mandi (dan sepertinya memang difungsikan untuk toilet
dan kamar mandi).
Selesai mandi, saya sholat tahiyat
masjid dan tilawah sejenak, kemudiann istirahat. Ternyata saya ketiduran bablas
sampai nyerempet waktu Maghrib. Tepat 5 menit sebelum Maghrib saya bangun dan
tepat sesaat setelah saya bangun ada orang yang mengajak berbuka bersama. Ah,
nikmatnya hidup, haha.
Istiqlal tampak luar |
Istiqlal tampak dalam |
Ada sedikit yang berbeda saat sholat
tarawih di Istiqlal kemarin. Kalau masjid lain biasanya hanya ada sholat dan
kultum, di Istiqlal kemarin ada tambahan tilawah al Qur’an oleh qori nasional. Tarawih
juga diimami oleh beliau. Saat itu beliau membaca surat Ar Rahman. Ah, beliau
membaca dengan bagus, merdu, dan indah sekali.
Selain itu, ada perbedaan lain yang
sangat mencengangkan, yaitu jumlah infaq tarawihnya. Bayangkan bro, satu
malamnya jumlah infaq mencapai 33 juta. Masya Allah. Yah, wajar juga sih karena
jumlah jama’ahnya juga banyak, mungkin mencapai 10x lipat jama’ah Maskam UGM.
Oya, tarawih di sini dilaksanakan 11
raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai
kultum. Saya tidak melaksanakan i’tikaf sampai subuh di sini karena saya
dijemput oleh Asep, hehe. Kalau dia batal datang, saya niatnya sih mau i’tikaf,
tapi ternyata dia memenuhi janjinya, hehe.
Home Sweet Home
0 comments:
Post a Comment