July 27, 2014

Safari Ramadhan #3


Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah waktu yang disunnahkan untuk i’tikaf. Saya pun sebenarnya sudah sejak lama punya niatan melaksanakan i’tikaf full 10 hari di masjid, tapi belum kesampaian juga sampai sekarang. Pada Ramadhdan kali ini alhamdulillah saya berkesempatan melaksanakan i’tikaf. Meski tidak full 10 hari di masjid, tapi i’itkaf ini sangat berkesan karena banyak mendapat pengalaman dan ilmu baru. Beberapa masjid yang saya datangi sebagai tempat i’tikaf adalah:
Masjid Nurul Ashri (sumber : google.com)
 21.   Masjid Nurul Ashri Deresan
Malam pertama i’tikaf saya lewati di Masjid Nurash. Sebelumnya, saya juga melaksanakan tarawih di sini. Di Nurash ternyata ada qiyamul la’il (sholat malam) satu juz secara berjamaah. Saya yang tidak mengetahui informasi tersebut terlanjur melaksanakan qiyam la’il sendirian. Jadi saya tidak ikut yang berjama’ah.

Kalau mau i’tikaf di Nurash ada peraturan yang harus ditaati. Diantaranya adalah tidak boleh tidur di ruang utama masjid. Kalau mau tidur, harus di luar masjid (selasar). Di sana panitia telah menggelar tikar/karpet untuk jama’ah yang ingin tidur. Sebenarnya saya kurang setuju dengan peraturan ini karena cuaca di luar itu pasti dingin. Kalau panitia bermaksud menjaga kebersihan ruang utama masjid, maka hal itu sebenarnya bisa disiasati dengan menaruh alas (tikar) di atas karpet ruang utama, sehingga tidak kotor. Seperti yang dilakukan oleh Daarut Tauhid (DT) Bandung. Saya sendiri sempat mendapat teguran ketika tertidur di ruang utama, hehe. Maklum lah, belum biasa bergadang.

Oya, satu lagi, panitia juga menyediakan santap sahur gratis untuk para jama’ah. Jadi jama’ah tidak perlu keluar untuk mencari makan. Mantap dah!

22.   Masjid Salman ITB
Program safari Ramadhan saya merambah Bandung saudara-saudara, haha. Hal ini memang sudah saya niatkan sejak jauh hari. Niat awalnya bahkan saya ingin i’tikaf 10 hari di DT Bandung, tapi karena satu dan lain hal niat itu belum kesampaian. Mudah-mudahan di waktu mendatang bisa terwujud. Aamiin..

Btw saya datang ke Bandung naik kereta eksekutif Argo Wilis. Bukan karena sok-sokan, tapi karena waktu itu dapat tiket promo, ke Bandung cuma 99 ribu, makanya saya beli, hehe. Sampai di Bandung sudah jam 19.30. Saya dijemput oleh Mas Firman di stasiun. Alhamdulillah sampai di ITB, tarawih belum dimulai, penceramah masih memberikan kultum sehingga saya bisa ikut tarawih berjama’ah.

Di Salman ada panitia yang mengurusi pelaksanaan i’tikaf. Tarif i’tikaf di sini adalah Rp 10.000 perhari (untuk mahasiswa, kalau untuk umum 12 ribu). Dengan uang segitu, kita akan mendapatkan konsumsi untuk sahur (kalau berbuka selalu disediakan gratis), notes, tas kecil, pulpen, stiker, pin, dan name tag.

Yang menyenangkan dari Salman adalah kebersihannya yang terjaga, termasuk WC dan tempat wudhu. WC-nya wangi karena ada parfum otomatis. Lantai masjidnya bukan marmer/keramik, melainkan kayu sehingga tidak terlalu dingin. Peserta i’tikaf juga tidak terlalu ramai sehingga masih kondusif.
Ruang utama Masjid Salman dengan lantai kayunya
Nametag peserta i'tikaf



















Di malam hari ada qiyamul la’il satu juz berjama’ah. Meski jama’ah i’tikaf lumayan banyak, tapi yang ikut sholat malam hanya dua shaf saja. Itupun lama kelamaan terpangkas menjadi satu shaf karena sholatnya memang lumayan lama.

Overall, Masjid Salman menjadi salah satu tempat yang recommended untuk i’tikaf. Pantas dulu senior saya bela-belain datang dari Jakarta ke Bandung hanya untuk i’tikaf. Hmm… sepertinya saya juga harus memprogramkan i’tikaf di sini lagi di Ramadhan mendatang.

23.   Masjid Habiburrahman PT DI (Bandung)
Hari kedua di Bandung, sebenarnya saya ingin i’tikaf di DT, tapi karena jarak DT lumayan jauh, sedangkan Mas Firman juga agak sibuk, sehingga saya alihkan ke Habiburrahman. Selain itu, saya juga tertarik ke Habiburrahman karena mendengar cerita teman kampus saya yang orang Bandung (Vera). Dia bilang i’tikaf di Habib selalu ramai, bahkan jama’ah banyak yang memasang tenda, wedew… Saya jadi semakin penasaran.

Saya baru tiba di Habiburrahman selepas Ashar. Pertama kali datang agak kaget juga. Ternyata benar apa yang dikatakan Vera, banyak jama’ah yang mendirikan tenda. Komentar spontan saya waktu itu adalah: ini masjid atau bumi perkemahan? Wkwk.

Ketika saya datang, sedang ada kajian dari Ust. Saiful Islam Mubarok (ini salah satu ustadz cetar di Bandung), tapi kajiannya tidak terlalu lama karena jam 17.00 sudah selesai. Satu hal yang cukup mengherankan saya adalah, masjid ini tidak menyediakan hidangan berbuka, bahkan untuk sekedar takjil. Padahal masjidnya lumayan besar dan jama’ahnya juga sangat banyak. Hmm… mungkin karena itu (jama’ahnya banyak) sehingga panitia kerepotan untuk menyiapkan. Akhirnya saya mencari menu berbuka di luar masjid. Di luar, banyak pedagang yang berjualan aneka macam makanan.

Tarawih dimulai setelah kultum, kira-kira jam 20.00 dan baru berakhir kira-kira jam 21.30 tanpa witir karena witir akan dilaksanakan setelah qiyam la’il jilid dua (fyuuh..). Bacaan surat di sholat tarawih kalau saya perhatikan sepertinya satu juz lebih. Saya tidak bisa menaksir secara pasti karena tarawih selesai di tengah juz dengan waktu yang relatif lama. Kaki saya sampai terasa kemeng (Jawa: pegal, mati rasa).

Setelah selesai sholat, jama’ah dipersilahkan tidur karena akan ada qiyamul la’il lagi pukul 00.30. Sholat jilid dua ini lebih cetar lagi karena bacaannya lebih panjang dan waktunya lebih lama. Bayangkan, sholat dimulai jam 01 kurang dan baru selesai jam 04.00. Masya Allah, 3 jam lebih brooo. Apa gak pada copot tuh baut di kaki? Lah baca doa qunut pas witir terakhirnya saja lebih dari 10 menit, saking panjangnya (alhamdulillah doa qunutnya bukan seperti doa qunut biasa, tapi terdiri dari banyak doa, termasuk mendoakan saudara kita sesama muslim di belahan bumi lain seperti Gaza, Suriah, Irak, Afgan, Myanmar, Pakistan, Uighur, dll). Masya Allah…

Yang menakjubkan adalah, meski bacaan sholatnya panjang dan waktu sholat yang sangat lama, tapi jama’ah antusias mengikuti. Bayangkan, masjid itu hampir penuh dengan jama’ah yang sholat (karena ada juga jamaah yang ikut i’tikaf, tapi tidak ikut sholat malam berjama’ah). Benar-benar cetar nih masjid.

Jama'ah banyak yang mendirikan tenda di selasar masjid

Satu sakelar untuk puluhan hp (tampak bar-bar, haha)


Sayangnya, meski Habiburrahman termasuk masjid yang semarak, tapi kondusifitas masjid kurang terjaga. Banyak hal yang menurut saya harus dievaluasi agar pelaksanaan i’tikaf bisa lebih maksimal ke depannya, diantaranya adalah, pertama, jama’ah terlalu penuh. Menurut saya akan lebih baik jika jumlah jama’ah dibatasi, selain untuk menjaga kondusifitas, juga agar jama’ah bisa i’tikaf di masjid lain sehingga masjid lain juga kebagian semaraknya. Mungkin masjid Jogokariyan bisa menjadi salah satu contoh. Masjid itu membatasi jama’ah i’tikaf 100 orang saja (untuk yang ikhwan, saya kurang tau untuk yang akhwat) sehingga kondusifitas masjid lebih terjaga.

Kedua, terlalu banyak anak-anak. Sebenarnya tidak masalah banyak anak-anak, hanya saja harus ditangani dengan baik. Yang kemarin saya lihat adalah, banyaknya jumlah anak-anak tidak dibarengi dengan pengelolaan yang baik sehingga anak lebih sering bercanda daripada ibadah. Ketiga dan terakhir, kebersihan yang kurang terjaga. Well, ini adalah salah satu konsekuensi membludaknya jama’ah, masjid jadi mudah kotor, terutama bagian belakang (WC dan tempat wudhu). WC dan tempat wudhu masjid Habiburrahman kurang nyaman karena bau dan kotor.

24.   Masjid Istiqlal
Saya di Bandung cuma dua hari. Patut disayangkan sebenarnya mengingat suasana i’tikaf Ramadhan di Bandung yang benar-benar semarak. Sebenarnya saya juga ingin lebih lama lagi i’tikaf di Bandung, tapi karena saya sudah terlanjur beli tiket dan tiketnya tidak bisa dibatalkan, maka akhirnya saya pulang di hari kedua.

Perjalanan dari Bandung ke Jakarta saya tempuh dengan naik kereta. Alhamdulillah saya dapat tiket promo lagi untuk kelas eksekutif, jadi saya bisa turun di Gambir yang bersebelahan dengan Istiqlal. Btw rute kereta Bandung-Jakarta benar-benar indah. Saya terkagum-kagum melihatnya. Ini pertama kalinya saya menempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta naik kereta dan ternyata sangat worth it untuk diulang di kemudian hari.

Karena turun di Gambir, maka saya bisa ke Istiqlal dengan berjalan kaki. Saya sampai di Istiqlal kira-kira jam 15.30 pas adzan Ashar, tapi saya tidak ikut sholat Ashar berjama’ah karena telah saya jamak di perjalanan. Yang saya cari saat itu malah kamar mandi karena seharian ini saya belum sempat mandi. Untunglah ada toilet yang cukup luas dan nyaman untuk dipakai mandi (dan sepertinya memang difungsikan untuk toilet dan kamar mandi).

Selesai mandi, saya sholat tahiyat masjid dan tilawah sejenak, kemudiann istirahat. Ternyata saya ketiduran bablas sampai nyerempet waktu Maghrib. Tepat 5 menit sebelum Maghrib saya bangun dan tepat sesaat setelah saya bangun ada orang yang mengajak berbuka bersama. Ah, nikmatnya hidup, haha.

Istiqlal tampak luar

Istiqlal tampak dalam

Ada sedikit yang berbeda saat sholat tarawih di Istiqlal kemarin. Kalau masjid lain biasanya hanya ada sholat dan kultum, di Istiqlal kemarin ada tambahan tilawah al Qur’an oleh qori nasional. Tarawih juga diimami oleh beliau. Saat itu beliau membaca surat Ar Rahman. Ah, beliau membaca dengan bagus, merdu, dan indah sekali.

Selain itu, ada perbedaan lain yang sangat mencengangkan, yaitu jumlah infaq tarawihnya. Bayangkan bro, satu malamnya jumlah infaq mencapai 33 juta. Masya Allah. Yah, wajar juga sih karena jumlah jama’ahnya juga banyak, mungkin mencapai 10x lipat jama’ah Maskam UGM.

Oya, tarawih di sini dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum. Saya tidak melaksanakan i’tikaf sampai subuh di sini karena saya dijemput oleh Asep, hehe. Kalau dia batal datang, saya niatnya sih mau i’tikaf, tapi ternyata dia memenuhi janjinya, hehe. 


Home Sweet Home

0 comments:

Post a Comment