February 13, 2014

Pendiam? Ya, Memang


Tidak seperti biasanya, forum diskusi pekanan Rabu malam kemarin (12/02/14) tidak diisi dengan materi. Sang pembawa materi menghendaki kami, para peserta diskusi, untuk saling memberi nasihat dan kritikan satu sama lain, tapi tidak melalui lisan, melainkan melalui tulisan. Teknisnya, setiap peserta menuliskan poin positif dan negatif peserta diskusi lain yang jumlahnya tidak lebih dari sembilan orang itu.

Dari beberapa nasihat dan kritikan yang dituliskan para peserta untuk diri saya, saya menangkap setidaknya ada tiga poin utama yang menjadi hal negatif dalam diri ini, yaitu pendiam, pasif, dan kaku. Dari semua poin tersebut, “pendiam” menjadi kata yang paling banyak muncul.
Sumber : medium.com

Hmm… pernyataan mereka bahwa saya adalah pribadi yang pendiam memang sangat benar adanya. Saya tidak menyangkal sama sekali. Sedari kecil, saya memang cenderung tidak banyak omong dan tingkah seperti anak-anak kebanyakan. Kalau anak-anak seumuran saya berjingkrak kegirangan ketika ingin difoto (dulu, foto termasuk barang mewah), maka ekspresi saya biasa saja. Pun begitu ketika bertemu dengan orang-orang dewasa, baik mereka yang sudah saya kenal (misalnya paman/bibi) maupun yang belum kenal (misalnya teman orangtua), saya cenderung tidak banyak omong dan ekspresi.

Saya ingat betul, pernah suatu ketika, saat saya masih SD, bibi saya bertanya kepada saya, “Kok sekarang jarang lewat rumah kalau pulang sekolah”. Biasanya rute pulang pergi saya ke sekolah memang melalui rumah bibi-bibi saya. Dengan malu-malu, saya menjawab “gak apa-apa”. Pertanyaan itu kemudian ditanyakan lagi oleh ibu saya, “Fajar emang gak lewat rumah encing A, B, C kalau pulang-pergi sekolah?”. “Nggak”, jawab saya singkat. “Emang kenapa?”, Ibu saya mengejar. “Abis kalau lewat rumah encing A, B, C pasti ditanya”, saya menjawab jujur.

Jangan dibayangkan pertanyaan bibi-bibi saya itu adalah pertanyaan yang macam-macam, sulit, atau menyakitkan. Tidak. Sama sekali tidak. Yang biasa ditanyakan bibi saya ketika saya lewat sebenarnya hanya pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Baru pulang?”, “Mampir dulu sini”, “Minum dulu sini”. Hanya itu. Ya, hanya pertanyaan sejenis itu. Tapi karena sifat pendiam dan tidak banyak omong yang sudah kadung, saya jadi malas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Makanya saya jadi memilih rute pulang-pergi sekolah yang tidak melalui rumah bibi-bibi saya.

Sifat pendiam dan tidak banyak omong itu semakin menjadi ketika orangtua saya memutuskan pindah rumah ke lingkungan yang lebih sepi ketika saya duduk di kelas empat SD. Meski jarak rumah lama dan rumah baru hanya beberapa ratus meter, tapi perbedaan lingkungannya sangat kentara. Lingkungan di rumah baru itu masih sangat sepi karena berada di daerah persawahan. Alhasil, saya semakin rajin berada di rumah dan semakin jarang berinteraksi dengan orang lain.

Sampai kini, meski tidak se-ekstrem saat masih kecil dulu, rupanya sifat pendiam dan tidak banyak omong saya masih melekat. Setidaknya itu yang teman-teman diskusi saya sampaikan. Akan tetapi, meski sama-sama pendiam, tapi saya menemukan adanya perbedaan antara diamnya saya saat ini dengan sebelumnya. Saya merasa (baru merasa lho, haha) “diam” saya sekarang lebih ideologis daripada “diam” saya yang lalu-lalu. Kalau dulu saya menjadi “pendiam” karena sifat, sehingga dulu saya kurang menyadari bahwa saya sebenarnya adalah pendiam. Kini, saya merasa (lagi-lagi baru merasa lho) saya diam karena saya memang memilih menjadi pendiam. Artinya, saya menyadari betul bahwa saya sedang menjadi pendiam.

Dulu, kalau teman-teman membicarakan sepak bola, setidaknya saya masih senang untuk merespon karena saya sendiri termasuk penghobi bola. Tetapi sekarang, kalau mereka membicarakan hal itu, saya menjadi malas untuk meresponnya karena merasa manfaatnya kurang. “Kalau tim A juara, lalu apa manfaatnya untuk saya?”, “Kalau si B mencetak gol, lalu apa untungnya buat saya?”, pertanyaan-pertanyaan seperti itu kini yang sering hilir mudik di kepala saya. Sehingga saya menjadi semakin irit dalam berbicara.

Akan tetapi, bukan berarti setiap saat saya menjadi pendiam. Ada kalanya saya juga banyak omong. Saya bisa banyak omong kalau sudah menyangkut passion saya. Di luar passion, saya biasanya hanya bicara sekedarnya saja. Apalagi ketika baru bertemu dengan orang asing (belum kenal), biasanya saya hanya bicara kalau ditanya. Sekarang ini, saya mendapati diri saya semakin sulit melontarkan pertanyaan atau membicarakan hal yang sifatnya basa-basi.

Lha katanya mau jadi dosen dan psikolog, kok malah gak suka ngomong?
Nah itu dia yang tadi saya bilang passion. Kebetulan dua profesi itu adalah salah dua passion saya. Jadi saya senang membicarakan hal tersebut.

Kalau saya refleksikan, pilihan untuk menjadi pendiam ini sangat banyak pengaruhnya dari kajian yang sering saya dengar dan datangi. Para ustadz yang sering saya datangi tersebut sangat menekankan untuk menjaga lisan, mengurangi celetak-celetuk, gurauan, basa-basi, dan semisalnya. Karena setiap kali kita bergurau dan orang lain tertawa, maka kita akan ketagihan untuk membuat gurauan lain agar mereka tertawa lagi. Begitu terus hingga kita tidak sadar apa yang kita guraukan mengandung unsur-unsur yang tidak baik, misalnya kebohongan, berlebih-lebihan, menyakiti orang lain, bahkan menjurus ke pornografi.

Alhamdulillah, kini akal semakin sering menggiring saya untuk berefleksi setiap kali nafsu ingin bergurau dan celetak-celetuk, “Manfaat apa yang kamu dapat di akhirat dengan ocehanmu itu?”. Semoga ada hikmah dari semua ini.

#Wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment