Tidak seperti biasanya, forum
diskusi pekanan Rabu malam kemarin (12/02/14) tidak diisi dengan materi. Sang
pembawa materi menghendaki kami, para peserta diskusi, untuk saling memberi
nasihat dan kritikan satu sama lain, tapi tidak melalui lisan, melainkan
melalui tulisan. Teknisnya, setiap peserta menuliskan poin positif dan negatif
peserta diskusi lain yang jumlahnya tidak lebih dari sembilan orang itu.
Dari beberapa nasihat dan
kritikan yang dituliskan para peserta untuk diri saya, saya menangkap
setidaknya ada tiga poin utama yang menjadi hal negatif dalam diri ini, yaitu
pendiam, pasif, dan kaku. Dari semua poin tersebut, “pendiam” menjadi kata yang
paling banyak muncul.
Hmm… pernyataan mereka bahwa saya
adalah pribadi yang pendiam memang sangat benar adanya. Saya tidak menyangkal
sama sekali. Sedari kecil, saya memang cenderung tidak banyak omong dan tingkah
seperti anak-anak kebanyakan. Kalau anak-anak seumuran saya berjingkrak
kegirangan ketika ingin difoto (dulu, foto termasuk barang mewah), maka
ekspresi saya biasa saja. Pun begitu ketika bertemu dengan orang-orang dewasa,
baik mereka yang sudah saya kenal (misalnya paman/bibi) maupun yang belum kenal
(misalnya teman orangtua), saya cenderung tidak banyak omong dan ekspresi.
Saya ingat betul, pernah suatu
ketika, saat saya masih SD, bibi saya bertanya kepada saya, “Kok sekarang
jarang lewat rumah kalau pulang sekolah”. Biasanya rute pulang pergi saya ke
sekolah memang melalui rumah bibi-bibi saya. Dengan malu-malu, saya menjawab “gak
apa-apa”. Pertanyaan itu kemudian ditanyakan lagi oleh ibu saya, “Fajar emang
gak lewat rumah encing A, B, C kalau pulang-pergi sekolah?”. “Nggak”, jawab
saya singkat. “Emang kenapa?”, Ibu saya mengejar. “Abis kalau lewat rumah
encing A, B, C pasti ditanya”, saya menjawab jujur.
Jangan dibayangkan pertanyaan
bibi-bibi saya itu adalah pertanyaan yang macam-macam, sulit, atau menyakitkan.
Tidak. Sama sekali tidak. Yang biasa ditanyakan bibi saya ketika saya lewat
sebenarnya hanya pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Baru pulang?”, “Mampir
dulu sini”, “Minum dulu sini”. Hanya itu. Ya, hanya pertanyaan sejenis itu.
Tapi karena sifat pendiam dan tidak banyak omong yang sudah kadung, saya jadi
malas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Makanya saya jadi memilih rute
pulang-pergi sekolah yang tidak melalui rumah bibi-bibi saya.
Sifat pendiam dan tidak banyak
omong itu semakin menjadi ketika orangtua saya memutuskan pindah rumah ke
lingkungan yang lebih sepi ketika saya duduk di kelas empat SD. Meski jarak
rumah lama dan rumah baru hanya beberapa ratus meter, tapi perbedaan
lingkungannya sangat kentara. Lingkungan di rumah baru itu masih sangat sepi
karena berada di daerah persawahan. Alhasil, saya semakin rajin berada di rumah
dan semakin jarang berinteraksi dengan orang lain.
Sampai kini, meski tidak
se-ekstrem saat masih kecil dulu, rupanya sifat pendiam dan tidak banyak omong
saya masih melekat. Setidaknya itu yang teman-teman diskusi saya sampaikan.
Akan tetapi, meski sama-sama pendiam, tapi saya menemukan adanya perbedaan antara
diamnya saya saat ini dengan sebelumnya. Saya merasa (baru merasa lho, haha)
“diam” saya sekarang lebih ideologis daripada “diam” saya yang lalu-lalu. Kalau
dulu saya menjadi “pendiam” karena sifat, sehingga dulu saya kurang menyadari
bahwa saya sebenarnya adalah pendiam. Kini, saya merasa (lagi-lagi baru merasa
lho) saya diam karena saya memang memilih menjadi pendiam. Artinya, saya
menyadari betul bahwa saya sedang menjadi pendiam.
Dulu, kalau teman-teman
membicarakan sepak bola, setidaknya saya masih senang untuk merespon karena
saya sendiri termasuk penghobi bola. Tetapi sekarang, kalau mereka membicarakan
hal itu, saya menjadi malas untuk meresponnya karena merasa manfaatnya kurang.
“Kalau tim A juara, lalu apa manfaatnya untuk saya?”, “Kalau si B mencetak gol,
lalu apa untungnya buat saya?”, pertanyaan-pertanyaan seperti itu kini yang
sering hilir mudik di kepala saya. Sehingga saya menjadi semakin irit dalam
berbicara.
Akan tetapi, bukan berarti setiap
saat saya menjadi pendiam. Ada kalanya saya juga banyak omong. Saya bisa banyak
omong kalau sudah menyangkut passion saya. Di luar passion, saya biasanya hanya
bicara sekedarnya saja. Apalagi ketika baru bertemu dengan orang asing (belum
kenal), biasanya saya hanya bicara kalau ditanya. Sekarang ini, saya mendapati
diri saya semakin sulit melontarkan pertanyaan atau membicarakan hal yang
sifatnya basa-basi.
Lha katanya mau jadi dosen dan
psikolog, kok malah gak suka ngomong?
Nah itu dia yang tadi saya bilang
passion. Kebetulan dua profesi itu adalah salah dua passion saya. Jadi saya
senang membicarakan hal tersebut.
Kalau saya refleksikan, pilihan
untuk menjadi pendiam ini sangat banyak pengaruhnya dari kajian yang sering
saya dengar dan datangi. Para ustadz yang sering saya datangi tersebut sangat
menekankan untuk menjaga lisan, mengurangi celetak-celetuk, gurauan, basa-basi,
dan semisalnya. Karena setiap kali kita bergurau dan orang lain tertawa, maka
kita akan ketagihan untuk membuat gurauan lain agar mereka tertawa lagi. Begitu
terus hingga kita tidak sadar apa yang kita guraukan mengandung unsur-unsur
yang tidak baik, misalnya kebohongan, berlebih-lebihan, menyakiti orang lain,
bahkan menjurus ke pornografi.
Alhamdulillah, kini akal semakin
sering menggiring saya untuk berefleksi setiap kali nafsu ingin bergurau dan
celetak-celetuk, “Manfaat apa yang kamu dapat di akhirat dengan ocehanmu itu?”.
Semoga ada hikmah dari semua ini.
#Wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment